"Ngaku aja, kamu ngikutin aku, kan?"
Aku berbalik menatap Sam yang berdiri tidak jauh dariku. Jujur saja aku menyadarinya, sejak saat aku mengembalikan celana olahraga yang kupinjam ke kelasnya, cowok itu selalu ada di mana pun aku berada asal masih area sekolah.
Menaikkan kedua bahunya acuh, Sam menjawab. "Nggak, tuh."
"Kamu nguntit, ya?" wajar saja jika aku menuduhnya sebagai penguntit. Ini sudah hampir seminggu sejak aku mengembalikan celananya.
Sam menaikkan alisnya, kemudian tersenyum miring. Tangan kanannya menaikkan sebuah buku tinggi-tinggi.
"Gue mau ngembaliin buku ke perpus nih."
Sam berlalu melewatiku hingga siluetnya menghilang ditelan ruang perpustakaan yang berjarak tidak lebih dari sepuluh meter dari tempatku berdiri.
Tapi sebelum itu aku mendengarnya berujar pelan, "dasar, geer banget jadi cewek."
Hei!
Sejak kapan dia membawa buku itu?!
Jelas-jelas aku melihat daritadi dia hanya berjalan dengan tangan kosong!
Seketika aku merinding.
Lalu bagaimana dengan hari-hari kemarin di mana aku terus melihatnya?
Aku segera melangkah cepat menuju kelasku meninggalkan koridor perpustakaan yang sepi. Waktuku terbuang sia-sia hanya untuk meladeni cowok aneh itu.
***
"Muka kamu kok pucet, Ras? Kamu sakit?" tanya Dena pelan begitu aku duduk di kursiku setelah meletakkan lembaran kertas hasil ulangan di meja guru.
Aku menggeleng kemudian menidurkan kepalaku diatas lipatan tangan yang ditutupi buku tulis, supaya tidak terlihat oleh guru.
Setelah meninggalkan koridor perpustakaan tadi, sampai sekarang aku masih merinding. Belum lagi di sudut lorong sebelum menaiki tangga, aku yakin sekali bahwa aku melihat seseorang memasuki gudang dengan kepala penuh darah. Mau tidak mau membuatku mengaitkannya dengan gosip yang beredar tentang 'penghuni' lain sekolah ini.
"Sssttt.. Sssttt.." Alan bersuara dari bangku di sebelah Dena.
Dena tidak menyahut.
Tidak lama, aku merasakan lemparan kertas yang dibulatkan kecil-kecil mengenai lenganku. Dari posisi kepala yang masih telungkup ke samping, terlihat kaki Alan yang bergerak mendorong dorong kaki Dena di bawah meja, membuat emosi Dena tersulut.
"Apa sih anjing?!"
Ini dia kasar yang kumaksud dari Dena. Walaupun begitu, aku tahu, Dena memang tomboy, kasar, dia memang blak-blakan. Tapi justru itu, dia tidak bermuka dua. Daripada teman-teman ku yang sebelum sebelumnya, aku percaya bahwa Dena berbeda. Yah, tinggal aku yang harus mengingatkan jika dia bertindak lebih sekarang.
"Dena!" seru bu Lilis yang sedang menerangkan di depan dari tadi. "Tolong, kamu tutup pintu dari luar."
Permintaan telak itu seperti kesempatan terakhir yang telah disia-siakan pada pelajaran bu Lilis.
Tutup pintu dari luar, semua yang mendengarnya pasti tahu, itu bukan permintaan. Sangat jelas jika itu sebuah perintah hukuman keluar dari kelas.
Satu sekolah juga tahu, bu Lilis merupakan guru paling disiplin. Maka dari itu, Alan segera menundukkan kepalanya supaya tidak ikut terseret ke kedisiplinan bu Lilis.
Sebelum keluar dari kelas, Dena sempat melotot kearah Alan sambil mulutnya berkata tanpa suara, "awas kamu, nanti!"
Pelajaran kembali dilanjutkan setelah keluarnya Dena. Karena ini jam-jam mendekati waktu istirahat, dapat dilihat hampir setengah dari penghuni disini mulai tidak konsentrasi dengan apa yang dibicarakan bu Lilis di depan. Bahkan beberapa menit yang lalu sempat terdengar teriakan cacing perut dari pojokan kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda
Teen FictionPada pertemuan yang menjadi titik mula dipenuhi oleh canda tawa, kupikir, takdir mungkin kiranya sedang bercanda. Karena pada dasarnya, pertemuan hanyalah awal bagi perpisahan yang berujung luka. Namanya Aras. Hanyalah gadis biasa pada umumnya.