Tiga

52 13 12
                                    


"Kantin, yuk!"

Bel istirahat baru saja terdengar. Dan, Dena sudah antusias mengajakku ke kantin. Menyenangkan jika menjadi Dena, anak itu walaupun makan sebakul pun tidak akan gendut. Terbukti diantara kami, Dena yang paling suka makan. Badannya tetap langsing, hanya saja pipinya yang sedikit cubby.

"Kalian duluan aja, nanti aku nyusul." ujarku kepada Dena yang beralih pergi bersama Alan dan teman-temannya tanpa menolehkan kepalaku dari buku catatan, bergantian dengan papan tulis di depan yang penuh dengan rumus kimia.

Melihatnya, Alan berdecak, "disambung nanti aja kali, Ras. Nggak bikin peringkat kamu turun kok."

"Nggak deh, nanggung nih. Kalian duluan aja," tolakku.

"Yaudah."

Kelas sepi sepeninggalan Dena dan rombongannya, karena teman sekelasku yang lain juga satu persatu keluar, mungkin ke kantin juga.

Hening beberapa saat hingga aku menghembuskan napas lega menyelesaikan catatanku. Rasanya seperti ada yang mengganjal jika aku tidak mencatat materi yang baru diterangkan oleh guru.

Aku mengedarkan pandanganku menyapu kelas. Hanya ada Angga yang tidur di pojok kelas dan juga Satya yang bermain game di ponselnya.

Merapikan buku dan alat tulis ku di kolong meja, aku melangkahkan kaki menyusul Dena ke kantin. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, sepanjang koridor, mau adik kelas sampai teman seangkatan sekalipun seperti menoleh kearahku dengan tatapan aneh.

Kepalaku mulai berpikir memutar ada kejadian apa hari ini, sembari terus berjalan menuju kantin. Hingga aku berjengit kaget kala terdapat sepasang tangan bertengger di pundakku, mendorongku berjalan dari belakang.

Aku merasa risih saat kudapati Samuel, cowok yang kutemui di perpustakaan kemarin berdiri terlalu dekat di belakang ku, sambil terus mendorongku berjalan dari belakang entah menuju ke mana.

"Udah diem aja," cowok itu berucap saat aku hendak melayangkan kalimat protes.

Sampai berbelok di koridor kelas IPS, Samuel tetap berjalan mendorong pundakku, seakan menutupi tubuhku dari belakang. Aku hanya pasrah saja karena sedari tadi tatapan mata yang sangat ingin dicolok itu terus mengarah kepada kami berdua.

Kami berhenti didepan toilet perempuan. Sebenarnya bukan kami sih, hanya saja kakiku ikut berhenti saat langkah Samuel juga berhenti mendorongku sesampainya di depan toilet.

"Tunggu sini bentar," katanya.

Aku mengerutkan kening bingung. Sebelum sempat aku bertanya, cowok itu sudah berlalu pergi setengah berlari meninggalkanku seperti orang bodoh di depan toilet.

Masih dengan kebingunganku sedari tadi, aku menengok kebelakang mencoba melihat apa yang berusaha ditutupi oleh Samuel tadi.

Astaga!

Aku segera masuk kedalam toilet sambil tanganku menutup wajah, malu. Sangat sangat malu.

Kenapa, harus datang bulan disaat yang tidak tepat?!

Yang lebih menyebalkan lagi, kenapa warna roknya juga harus putih! Ini membuat noda merahnya semakin terlihat jelas.

Aku merutuki sekolah ini yang memilih almamater kotak-kotak biru navy dengan bawahan kain putih untuk siswa-siswinya.

Sungguh sangat sial!

***

Rasanya aku ingin menangis saja. Bagaimana aku keluar dari sini dengan rok bernoda seperti bendera Jepang ini? Sambil menggigiti kuku jariku, aku terus berpikir. Ingin rasanya aku mengirim pesan kepada Dena untuk datang kesini, sayangnya ponselku tertinggal di tas.

JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang