"See you next week."
Esok harinya, esoknya lagi, dan esoknya lagi, Sam tidak terlihat lagi. Aku baru memahami kalimatnya hari itu. Sepertinya dia tidak masuk sekolah. Aku juga tidak ada niatan untuk mencari ke kelasnya.
Siapa dia, sampai aku harus mencari karena merasa kehilangan.
Justru aku merasa lebih tenang. Setidaknya aku tidak perlu merasa diikuti ataupun diperhatikan lagi. Bukannya geer ya, tapi itu memang benar. Ini sudah hari kelima setelah hari itu.
Langkah ringanku bersama Dena membawa kami ke kantin. Kami duduk di meja bersama kumpulan Alan, ada Rayhan juga Satya disana. Aku tidak tahu sejak kapan kami mulai perlahan akrab. Hanya ikut saja kemana Dena pergi.
"Bentar lagi dies natalis sekolah, bakal ada apaan, ya?" Satya membuka obrolan.
"Halah, palingan juga gitu-gitu aja. Osis sini mana aktif, ya, kan. Goblok semua?" balas Dena dengan mulut tanpa remnya.
Aku hanya diam mendengarkan.
Rayhan melirik, "nggak semua juga kali, ya." dia tertawa dibuat.
"Tahun kemarin seru tau, Den. Ada festival colourfunnya" tambah Alan menyenggol bahu Dena. Dena hanya mengangguk-angguk.
Kami semua sibuk dengan kegiatan masing-masing setelahnya. Seperti aku yang hanya meminum jus alpukat, Dena yang menyantap siomaynya, Alan yang sibuk dengan ponselnya, juga Rayhan dan Satya yang membicarakan sesuatu yang tidak ku mengerti.
Dalam keheningan yang tercipta, tiba-tiba Alan memekik. "Njir!"
"Katanya dies natalis tahun ini mau ngundang Reemar!"
"Reemar siapa?" tanyaku.
"Yang bener aja kamu nggak tau Reemar, Ras?!" tanya Rayhan membelalak seakan tidak percaya, aku mengangguk.
"Tapi beneran, nih, ngundang Reemar? Yang bener aja!"
"Alah, palingan juga boong. Udah jelas gak mungkin juga, si Alan kan tukang percaya hoax." Dena menyeletuk di tengah kehebohan anak cowok, membuat mereka mendengus kecewa.
Aku diam menyimak. Selain karena tidak terlalu mengerti apa yang mereka ributkan, aku juga kurang tertarik. Masa bodoh dengan siapa undangan dies natalis tahun ini, lagipula masa jabatanku untuk menjadi penyelenggara itu juga telah habis, biarkan penerus selanjutnya yang kali ini akan sibuk pusing dengan rangkaian kegiatannya nanti.
Untuk saat ini aku hanya perlu fokus belajar, mendapatkan nilai yang memuaskan supaya tidak sulit untuk masuk ke universitas tujuan, itu saja. Memang itulah rencana yang sudah kususun rapi. Tidak ada hal lain lagi yang akan menjadi celah kecuali hal-hal kecil yang mungkin memang ingin kulakukan.
Masih diam menyimak, aku mengedarkan pandangan mengelilingi penjuru kantin. Pandanganku tertuju pada satu objek di halaman belakang.
Sepi. Tempat itu sepi, tidak ada yang pergi kesana. Mungkin karena adanya pohon beringin yang menjulang di pinggiran halaman itu, menciptakan suasana angker yang membuat siapa saja merinding untuk berdiam diri lama-lama disana. Ada satu bangku panjang tua disana, letaknya di pinggir dekat pohon beringin sedikit menjorok ke tengah halaman belakang sekolah ini. Aku berpikir andai saja aku tidak takut hantu, mungkin akan menyenangkan setiap waktu istirahat pergi kesana membawa novel bacaanku juga duduk di---
"Ras!" tepukan di bahu kiri menyentakkanku. Aku menoleh ke kiri dimana Dena si pelaku yang menepuk bahuku tadi. "Dipanggil Amel, tuh!"
Kepalaku berputar menoleh ke kanan, terdapat Amel berdiri kaku disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda
Teen FictionPada pertemuan yang menjadi titik mula dipenuhi oleh canda tawa, kupikir, takdir mungkin kiranya sedang bercanda. Karena pada dasarnya, pertemuan hanyalah awal bagi perpisahan yang berujung luka. Namanya Aras. Hanyalah gadis biasa pada umumnya.