Ini hari Senin, tepat tanggal tujuh belas Agustus. Entah kenapa aku menyukainya. Seperti sekolah-sekolah pada umumnya, pasti dilaksanakan upacara peringatan kemerdekaan. Untuk tahun ini, akulah yang akan menjadi protokol dalam upacara nanti. Ada rasa gugup sedikit untukku saat ini, takut-takut nanti ada kesalahan dalam pemvokalanku. Tapi sepertinya itu tak berlangsung lama karena rasa antusiasku yang melebihi rasa gugup.
Oh iya, sampai lupa, namaku Aras, Arasha Dwi Chandra. Iya, terdengar seperti nama cowok. Aku juga tidak tahu kenapa orang tuaku memberi nama itu. Asha, adalah nama panggilanku dirumah. Hanya bunda, ayah, Pram, dan kerabat-kerabat dekat yang memanggilku demikian.
Jika kalian bertanya mengenai hobiku, seperti gadis pada umumnya aku suka membaca novel, mendengarkan musik ataupun podcast, kadang juga menonton drama korea jika aku bosan membaca novel.
Menjadi penyiar radio, itu keinginanku saat SMP dulu. Dan sekarang, aku lebih ingin menjadi seorang reporter. Entah kenapa cita-citaku sejenis itu, tapi itu wajar bukan? Daripada menjadi guru, dokter, perawat maupun polwan, sama sekali tidak terpikirkan bagiku untuk menjadi salah satu diantaranya. Padahal, bunda seorang dokter.
Adikku, Pram, Pramasta Agam Chandra namanya. Selisihnya hanya satu setengah tahun dariku. Untungnya, kami tidak satu sekolah bersama karena akan sangat merepotkan jika nantinya aku satu sekolah dengannya. Menggangguku adalah rutinitasnya sehari-hari, sungguh dia sangat menyebalkan. Apalagi tampangnya yang sok ganteng walaupun dalam hati aku mengakuinya. Dia seorang youtuber jika kalian mau tahu. Subscribernya cukup banyak, entah konten apa saja yang dia buat, aku tidak peduli. Hanya saja ada untungnya juga yang aku dapat dari profesinya sebagai youtuber, karena biasanya dia suka memberikan barang-barang yang dia dapat dari hasil endorse. Lumayan.
Bunda seorang dokter spesialis, hanya saja setelah menikah dengan ayah, bunda sudah tidak bekerja di rumah sakit lagi, bunda memutuskan untuk membuka praktik kecil kecilan dirumah agar bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri untuk mengurus rumah dan juga kami. Sedangkan ayahku adalah seorang tentara yang kini telah menapaki gelar letnan.
Seorang dokter dan tentara, tentu setelah mendengarnya akan terlintas pikiran tentang kisah dari sebuah drama yang kini cukup legendaris.
Descendants of the sun.
Ayolah, kisah bunda dan ayahku tentu saja berbeda jauh dari drama itu. Dari cerita yang kudengar dari bunda, mereka bertemu di sebuah stasiun yang pada saat itu bunda tengah menjemput kepulangan om Andra, kakaknya, bertepatan dengan kepulangan ayah dari tugas di Batam. Waktu itu ayah salah orang dengan merangkul pundak bunda yang dikira sepupunya dari belakang. Kejadian yang cukup memalukan, tapi setelahnya mereka mengobrol panjang lebar dan berakhir di sebuah rumah makan tidak jauh dari stasiun. Kebetulan sekali kepulangan om Andra katanya diundur dua jam setelahnya dan juga ayah segera mengabari sepupunya supaya tidak perlu menjemput.
Tiga bulan setelahnya, mereka menikah."Siap, gerak!" komando dari pemimpin upacara terdengar menggelegar memenuhi lapangan.
Terdengar bisik-bisik berupa pujian kepada pemimpin upacara yang berdiri tegak didepan sana, salah satunya, "duh, gantengnya!"
Aku menghembuskan napas malas mendengarnya karena setelahnya bisik-bisik lain yang serupa kembali terdengar silih berganti dari mulut ke mulut, apalagi perempuan. Heran, kenapa mereka tidak bisa diam jika melihat mahluk tuhan berjenis 'cogan'.
Setelah melewati tahap bagian-bagian dalam upacara, kini tiba saatnya pengibaran bendera. Pasukan paskibra didepan sana terlihat serempak dibawah teriknya sinar matahari.
Aku mengangkat tangan kanan hormat kepada sang saka kala paduan suara Indonesia Raya dimulai khidmat. Namun alunan para paduan suara lama-lama terdengar mendengung di telinga. Kepalaku juga terasa berat. Pandangan mataku memburam hingga akhirnya menggelap bersamaan dengan tubuhku yang melemas dan berakhir ambruk. Samar-samar aku mendengar pekikan dari sebelah,
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeda
Teen FictionPada pertemuan yang menjadi titik mula dipenuhi oleh canda tawa, kupikir, takdir mungkin kiranya sedang bercanda. Karena pada dasarnya, pertemuan hanyalah awal bagi perpisahan yang berujung luka. Namanya Aras. Hanyalah gadis biasa pada umumnya.