Dua

54 12 9
                                    

"Hayoo!! Mikir apa kamu, Ras?" aku tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba Alan menggebrak mejaku.

"Bikin kaget ae kamu, Lan!" sahut Dena disebelahku kesal.

Alan mencebikkan bibirnya kesal dihadapanku.

"Nggak usah sok cute deh," Amel yang baru datang langsung menoyor kepala Alan pelan.

"Ayo, Ras, pulang." ajak Dena.

Aku mengangguk, kemudian menyampirkan tas ransel hitamku dipundak. Kami bertiga --aku, Dena, dan Amel -- berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Mereka berdua ini adalah temanku. Dena duduk sebangku denganku, sedangkan Amel dibelakang kami dengan Wanda. Aku mengenal mereka berdua sejak kelas sebelas setelah rolling kelas, bisa dikatakan aku dekat dengan mereka berdua disekolah.

Tidak, sebenarnya aku hanya dekat dengan Dena. Gadis yang sedikit tomboy, blak-blakan, dan juga kasar. Sedangkan Amel itu anaknya pendiam, bukan, sedikit pendiam. Singkatnya, tidak banyak bicara. Kadang-kadang dia memang sering ikut dengan kami berdua, mungkin karena Dena temannya SMP dulu.

Amel sendiri tidak terlalu dekat dengan Wanda yang notabene adalah teman sebangkunya sendiri, mungkin karena Wanda yang lebih suka bergaul dengan anak kelas lain. Aku juga tidak tahu.

Sesampainya didepan sekolah, kami berpisah. Dena pulang bersama pacarnya, Amel dijemput papanya.

Aku mengeluarkan handphone dari saku rok, lalu segera mencari kontak seseorang. Jangan berpikir aku akan menelpon pacar, tidak, aku tidak punya pacar. Bukan tidak punya sih, lebih tepatnya aku tidak mau punya. Beda ya, tolong digaris bawahi, beda. Lagipula ayah juga melarang keras untukku dan Pram supaya tidak berpacaran. Jadi kalau sampai ada yang menyebutku jomblo, sangat tidak bisa diterima. 

"Halo, dengan Pramasta ganteng disini, ada yang bisa saya bantu?" sapa seseorang dengan tingkat kepedean diatas rata-rata begitu sambungan telepon tersambung, siapa lagi kalau bukan Pram.

"Nggak usah sok iya deh, buruan jemput." iya, setiap hari memang aku diantar jemput Pram. Andai aku boleh membawa motor sendiri oleh bunda.

"Sok iya apaan sih, Sha? Kan emang iya, ganteng."

Aku memutar bola mata malas, "kak, Pram. Kakak." peringatku.

"Ailah, cuma beda setaun setengah. Lagian kan banyak yang ngira aku kakaknya."

"Iya kan wajah kamu udah tua."

"Enak aja! Ganteng gini kok."

"Udah deh, buruan jemput."

"Iya iya, otw nih."

Sambungan terputus. Aku mengedarkan pandangan, lalu memutuskan berjalan menuju mini market tidak jauh dari sekolah, tempat langgananku menunggu Pram. Sebenarnya tidak masalah jika aku menunggu Pram di gerbang sekolah. Hanya saja, Pram itu seorang youtuber, sekaligus selebgram. Banyak anak sekolahan yang mengenalnya. Aku malas berurusan dengan itu.

Sebelum menyebrang, aku melihat seseorang, dari wajahnya terlihat tidak asing. Sosok berperawakan tinggi, kulit sedikit gelap tapi manis, dan juga hidung mancung. Sepertinya aku pernah melihatnya. Oh iya, cowok yang tadi. Siapa namanya? Duh, mendadak aku jadi pelupa.

Samuel!

Nah iya, namanya Samuel. Aneh.

Cowok itu, Samuel, memasuki sebuah mobil diseberang sana sebelum akhirnya mobil itu melaju dan menghilang di belokan jalan.

Tunggu.

Aku menggelengkan kepala pelan, lalu segera menyebrang ke mini market. Lagipula, untuk apa aku mengamati Samuel?

JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang