3 - Permainan

26 5 0
                                    


***

Jalanan desa yang rusak sempat menghalangi perjalanan kami menuju rumah mang Ujang untuk menanyakan mengapa sumurnya masih tertutup tanah.

Di sana, mang Ujang benar-benar menyatakan kejujurannya bahwa ia sudah menggalinya sekitar 5 meter. Bukan juga aku tidak ingin mempercayai mang Ujang. Tetapi, sebelum 'ia' menunjukkan rupa aslinya.

Keesokannya tanah dan semen yang dipesan sudah datang. Kami membujuk mang Ujang agar tetap bekerja dengan membawa temannya.

Anehnya, belakangan ini orang yang aku anggap kakak sekaligus adik sendiri terlihat lebih pendiam dari biasanya. Ya, Fisya, siapa lagi kalau bukan dia. Orang yang sangat-sangat aku sayangi melebihi orang tuaku. Dia adalah satu-satunya yang kupunya di dunia ini.

"Jess?" Fisya mengawali pembicaraan hari ini, saat kami berdua tengah merapikan lemari usang milik almarhumah ibu kandungku.

"Iya, lo lagi ada pikiran ya, Sya?" tanyaku.

"Hm." Fisya tersenyum miring. "Kemaren sore sebelum kita cari toilet umum, Fisya liat sesuatu di kamar mandi rumah ini," kata Fisya dengan wajah yang sedikit cemas.

"Mungkin dia mulai nunjukin rupa aslinya."

"Fisya yakin 'dia' yang selalu neror lo. Tapi 'dia' gak berani nunjukin rupa aslinya ke lo. Cuma ke Fisya. Tapi dia gak ganggu Fisya, Jess."

Aku mulai menanggapi pernyataannya dengan serius. Fisya terlihat cemas. Sesuai dengan ucapannya tadi, sepertinya Fisya malah menkhawatirkanku.

"Lo tahu sendiri, kemaren Fisya ke kamar mandi gak ngerasain sesuatu. Cuma lo, Jess."

"Bentuknya kek ular gak?" ucapku sambil memilah barang-barang rusak yang akan di buang.

"Fisya cuma lihat kepala belakangnya aja," ucapnya sembari mengikutiku memilah barang-barang.

"Warna item? Bersisik?"

"Tepat banget!" Fisya terlonjak kaget. "Lo tahu Jess?"

"Engga sih, dia emang bener-bener gak nunjukin rupa aslinya ke gue."

"Terus kok lo bisa tahu?"

"Gue pernah nanya orang pinter."

"Owh," ucapannya terhenti. Rasa penasarannya terhadap ucapanku hilang. Fisya memang tidak suka jika aku bertanya pada orang pintar.

"Maaf gue gak kasih tahu lo. Karena waktu itu lo bantuin bi Wati, pengurus panti asuhan itu," kataku.

"Iya, gapapa."

Fisya memisahkan diri, ia menuju ke ranjang. Duduk sebentar kemudian menatap layar ponselnya yang jarang ia pegang jika sedang bersamaku.

"Soal tante Ineu, gue udah siap buat nyelidikin dia."

"Jangan!" ucap Fisya seketika. "Jangan sendiri!"

"Sama lo lah, emangnya lo mau kemana?" Aku menutup pintu lemari, pekerjaanku sudah selesai. Aku duduk di sofa kecil dekat kasur.

Fisya terlihat masih sibuk dengan ponselnya. Ia seperti kaget bukan main. Tangannya dengan cepat mengetik huruf per-huruf di keyboard.

Ia meraih tas di nakas, "Panti kebakaran! Barusan Hana SMS. Fisya pergi dulu ya, Jess?"

"Gue anter, ya." Akupun meraih tas. Berpamitan sambil berteriak pada mang Ujang karena Fisya sangat terburu-buru.
_______

Setelah kuantar ke panti asuhan tempatnya dulu tinggal. Fisya memutuskan untuk menemani bi Wati, hanya satu hari saja. Sahabatku itu tidak bisa membiarkanku sendirian dengan beribu kekhawatirannya terhadapku.

Ia meninggalkan SMS. Mengingatkanku untuk tidak melakukan apapun dan tetap ke toilet umum, selama dia masih mengurus pengajuan pembangunan panti asuhan yang sudah hangus terbakar demi masa depan anak-anak yatim piatu di sana.

Kembali. Suara desis ular terdengar lagi. Aku mengendap-endap menuju kamar mandi untuk melihat keadaannya. Tinggal satu langkah menuju pintu.

"Gak ada apa-apa?" Aku mengernyitkan dahi. Kemudian mendekati toilet biasa tanpa tangki. Rupanya kulit ular lagi. Padahal seminggu yang lalu, aku sudah memanggil penyedot wc.

"Tolong kalian muncul saja di hadapan saya. Jangan menjadi pengecut!" Aku tidak peduli bila mang Ujang dan satu pekerjanya akan mendengar ucapanku, terlebih lagi di kamar mandi suaraku lebih menggema.

Tiba-tiba saja di depan mataku. Sedikit demi sedikit keran air mulai menyala. Beberapa cacing-cacing kecil mulai keluar dari pengaliran air. Geli atau bahkan mengerikan. Bagiku, tidak boleh ada rasa takut. Mereka hanya menganggu, tidak akan sampai membunuhku. Aku tidak akan membiarkan nasibku sama seperti Dira.

"Kalian penunggu rumah ini? Atau kiriman seseorang?" ucapku setengah gemetar. "Atau kalian adalah simpanan Dira? Beritahu saya, saya mohon!"

Sesosok hitam, persis seperti mahluk yang kulihat saat Dira meninggal. Dia muncul di cermin toilet. Hanya sedikit, tangannya saja, kukunya sedikit tajam, namun keriput.

"Aaa!!" seseorang mencekikku dari belakang. Tangannya kotor, urat-urat tangannya persis seperti mahluk di cermin itu. Aku kesulitan bernafas. Tolong, Fisya...

_______

"Gangguan itu bukan milik saya. Itu milik kamu. Karena kamu berhak mendapatkannya."

"Apa yang lo maksud? Hah!?" Aku memegang keras dagunya. Mengangkat pandangannya pada mataku.

"Hey, tenang dulu. Saya hanya ingin mengingatkan kamu mengenai satu hal."

"Apa?!" aku semakin menarik dagunya. Dira berusaha melawan.

"Saya belum mati!"

Aku melempar wajahnya dari pandanganku. Tubuhnya yang kurus dan sedikit lebih pendek dariku, membuatku lebih leluasa menyakitinya.

"Apa yang kamu lakukan pada saya adalah cerminan diri kamu yang sesungguhnya."

"Cukup!"

"Hey sadar! Jangan hanya bisa mengingat dosa orang lain. Memangnya kamu suci? Tidak punya dosa begitu?!" Matanya menghitam, tatapannya seperti harimau yang akan menerkam mangsa.

"Cukup, Dira, cukup!"

Ia tertawa sumbang, "Kamu gak bakal lepas! Darah haid kamu pernah jadi makanan mereka!"
________

Kalau suka boleh di vote.
Terima kasih!

Instagram penulis nsfauziah17

ABSTRAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang