***Kehadiran Farel memang menjadi pemanis dalam kehidupan mereka. Setelah berkelana dalam perjalanan yang benar-benar membuat lupa bagaimana rasa bisa mengubah dunia.
Tentang bagaimana mata memandang dunia yang amat luas bagi mahluk yang kecil, dan dunia yang kecil bagi mahluk yang berpikir besar.
Pandangannya kini tertuju pada ponsel yang tidak disentuhnya selama beberapa hari. Setelah sekitar satu minggu ia di rawat di rumah sakit.
Pikirannya masih bergemelut dengan argumen hebat yang menusuk otaknya untuk berpikir keras.
Jessica melempar gelas berisi air yang ada di nakas untuk meluapkan emosinya. Sontak seorang dokter yang tak jauh dari ruangan memasuki kamar Jessica untuk melihat keadaan.
Pandangannya heran, sedangkan pandangan gadis di hadapannya kosong. Ia melambai-lambai tangan di depan wajah Jessica. Namun nihil hasilnya.
Dokter menepuk pundak Jessica, "Apa yang kamu pikirkan, bisa kamu ungkapkan pada saya?" tanyanya dengan nada lembut.
Jessica melihatnya sekilas, sembari memutar bola matanya malas.
"Tidak ada yang bisa mengerti rumitnya masalah seseorang kecuali dirinya sendiri. Hanya ada dua kenyataan ketika orang lain bertanya. Mereka kasihan atau hanya penasaran," ungkap Jessica dengan tegas saat kondisinya sudah mulai pulih. Apa tidak salah ia mengucapkan hal tersebut pada seorang dokter?
"Kamu mendapat argumen tersebut dari internet?" tukas dokter yang tidak bertugas menangani Jessica. "Kamu salah orang untuk mengucapkan hal itu."
"Kamu dokter? Tapi kamu tidak bertugas menangani saya," kilahnya.
"Lagipula saya bukan bukan dokter yang bertugas di sini."
"Kalau begitu kenapa ada di sini?"
"Tidak ada yang bisa mengerti rumitnya masalah seseorang kecuali dirinya sendiri. Hanya ada dua kenyataan ketika orang lain bertanya. Mereka kasihan atau hanya penasaran," timpal dokter.
"Saya bertanya bukan untuk memperdulikan anda!" tukas Jessica kesal.
Berdebat dengan seorang dokter adalah hal bodoh yang baru saja Jessica lakukan.
"Kamu butuh teman?"
Apa yang dia maksud?
"Argumen tadi seakan-akan tidak mungkin bagi saya untuk peduli pada kamu," ucap dokter. "Bukan begitu?"
Lelaki berjas putih khas dokter itu tersenyum hangat.
"Saya yang tidak peduli." Jessica memalingkan wajahnya. "Kamu bisa keluar." Ia menunjuk pintu keluar tanpa rasa bersalah.
"Saya permisi, nanti saya kembali lagi," jawab dokter.
"Gak usah!" timpal Jessica kasar.
Dokter itu tersenyum tipis, ia lalu keluar meninggalkan Jessica yang sedari tadi memang seharusnya sendirian.
_______Lagi-lagi. Kecurigaan Fisya pada mang Ujang harus hilang begitu saja. Kesaksiannya saat Jessica dicekik di rumahnya sendiri, tak menghasilkan apa-apa.
Mang Ujang bilang dia melihat Jessica sudah terkapar dengan keadaan mengenaskan kemudian menelpon Fisya untuk segera di atasi.
Bertanya langsung siapa pelakunya memang tidak masuk akal. Bisa jadi mang Ujang berbohong dan menyembunyikan kebenarannya.
Sekarang, ia hanya bisa menunggu hasil pengintaian polisi. Fisya tak bisa lagi mempercayai mang Ujang karena setiap kali dia ada di rumah, kesialan selalu menimpa lebih parah dari sebelumnya.
Ia dan Farel bergegas ke rumah sakit karena sudah berjam-jam meninggalkan Jessica sendirian.
Fisya membawakan makanan kesukaannya. Disimpannya makanan itu di nakas. Kemudian mengusap pelan kepala Jessica yang rupanya sudah lelap tertidur.
Farel menatap keduanya iba.
Dua gadis cantik di hadapannya tumbuh dewasa tanpa bimbingan orang tua. Keduanya sangat mandiri dan tidak manja. Terbiasa melewati hiruk-pikuknya kehidupan yang tidak dapat mereka bayangkan sebelumnya.
Bahkan bersama masalalu yang diketahuinya sejak lama, namun memilih diam agar semua terlihat baik-baik saja.
Kala itu... bersama rahasia yang selalu diceritakan tanpa jeda. Bahkan setelah terpisah tiga tahun lamanya.
_______Mentari sudah memperlihatkan auranya. Mataku terbuka sedikit demi sedikit, melihat Fisya dan Farel yang terlelap di kursi, keduanya terlihat kelelahan dan tertidur pulas dalam keadaan duduk.
Merepotkan orang lain adalah hal yang selalu ingin kulewatkan. Namun seakan tak pernah, aku terus saja melakukannya.
Kulihat sudah ada makanan di nakas, kuyakini itu makanan semalam. Lalu aku berdiri, dan hendak membuangnya ke tong sampah.
"Hey!" Fisya melotot saat melihatku hampir menjatuhkan makanannya.
"Fisya rela-relain beli buat lo dan malah dibuang? Wah hebat," ucapnya. "Emang banyak duit ya lo?" katanya sambil berdiri dan memalingkan badan.
Aku tahu Fisya kecewa, terlebih lagi dia marah karena baru saja bangun tidur. Emosinya belum terkendali.
"Tapi ini udah semalam, jadi gue buang aja."
"Yaudah buang aja."
Aku membuangnya tanpa rasa bersalah. Karena memang sudah sepatutnya di buang saja.
"Keterlaluan banget si?" ucapnya sinis, "Fisya masih mau kok makan itu! Lagian gak murah dan gak basi!"
"Fisya cukup deh! Lagian tadi lo bilang buang aja kan."
"Bego banget gak ngerti kek gitu."
Sejak kapan Fisya berani mengatur tindakanku?
"Udah kalian jangan ribut!" Farel meredakan emosi Fisya. Ia memegang pundaknya untuk menenangkan. Sedangkan aku berdiri, menatap sayu keduanya.
Perlahan kakiku menuju ke luar. Mencari udara segar untuk jiwa yang terpenjara dalam sel tak kasat mata. Juga jeritan masalalu yang menghantui setiap langkahku kedepannya.
__________
Maaf karena ga serem sama sekali, tapi InsyaAllah. Karena gak niat bikin horor sih, niatnya misteri gitu tapi ya kalau nulis sengalirnya aja.
Kalau suka boleh di vote.
Terima kasih!Instagram penulis nsfauziah17

KAMU SEDANG MEMBACA
ABSTRAK
KorkuSejak 40 hari kematian ibu tirinya. Rumahnya terasa mencekam dan penuh kejanggalan. Jesicca sering merasa ada ular di toiletnya. Seperti mangsa yang ingin mengambil kerhomatannya. Ketika masa lalu mengungkap Jesicca bukan sepenuhnya korban, sebab da...