Chapter 9

51 6 0
                                    

- Edgar hidup kembali -

- Edgar hidup kembali -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Edgar, aku kembali.

Entah apa yang merasuki ku malam ini, entah karena surat Deva, rasa hampa, atau mungkin rasaku yang sempat tumbuh untuk orang seperti Edgar.

Itu semua membuatku datang, mengisi kursi di salah satu sudut kedai kopi tempat Edgar bekerja, hingga setelah senja, suara vespa terdengar. Ia memulai shift malamnya, mengambil celemek cokelat yang tergantung di tembok tembok, dan berkutat dengan kopi yang baru saja dipesan.

Hingga ketika ia selesai melayani pembeli, netra kami tak sengaja bertemu, tak ada yang bergerak untuk sekedar memutuskan garis pandang, seakan satu sama lain perlu waktu untuk saling memandang.

Dunia terus berputar namun kami sama-sama tenggelam, aku pada netranya, dan ia pada netraku, tak peduli mereka yang tertawa dipojok ruangan yang lain, atau orang-orang berlalu lalang diantara kami.

Dan disinilah kami berakhir, di taman alun-alun kota, terlarut dalam keramaian malam minggu, dimana orang-orang tengah beristirahat dari rutinitas yang membosankan.

Dengan aku yang berhasil membuang jauh-jauh rasa ego untuk menemuinya, dan ia yang akhirnya tak menolak setelah aku meminta waktu untuk berbicara.

"Edgar sekarang kita bukan siapa-siapa, aku bukan siapa-siapa kamu, dan kamu bukan siapa-siapa aku. Jadi sekarang kasih tau aku, kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu, sampai kamu jadi kaya gini?" Aku membuka pembicaraan disaat Edgar tengah memperhatikan anak kecil yang berlari mengejar anak yang lainnya.

Tak ada suara, seakan ia tak ingin membagi apa yang ia rasakan.

Aku tetap menatapnya yang memeluk lututnya sendiri, kami duduk di rumput yang dingin karna suhu malam. Aku tepuk pundaknya, membuat ia menoleh padaku.

"Edgar, kamu baik-baik aja?"

Maniknya sedikit bergetar seakan hatinya telah lama menanti pertanyaan itu, lantas ia membuang pandangan dan menghela nafas.

"Apa kamu baik-baik aja?"

Tanyaku lagi, sedang ia lebih memilih menunduk dibanding membalas tatapanku. Benar 'kan, Edgar itu orang yang mengajariku kebahagiaan dan ketulusan, lantas ia tak bisa membohongi dirinya sendiri.

"Edgar, kamu tau bentuk pupil kambing?"

Tanyaku membuat kedua ujung bibirnya sedikit tertarik keatas, begitu pula milikku, Edgar berdehem dan memejamkan matanya seraya tetap menunduk.

Aku menepuk lagi pundaknya, dan ia menoleh memperlihatkan kedua netra yang selama ini aku rindukan, "Persegi panjang" Netra kami sama-sama terperangkap pada satu sama lain.

"Tapi kenapa punya kamu bulat ya Gar, harusnya kan persegi panjang"

Senyum kembali terukir di wajah Edgar, sedang ia menengadah dan menatap langit menahan kekehan kecil yang mungkin keluar dari bibirnya.

Edgar itu orang yang sederhana, bahkan gurauan dariku mampu membuatnya tertawa dihari sulit sekalipun.

Hingga setelahnya suhu diantara kami perlahan menghangat.

"Aku takut, Senja" Ucap Edgar yang akhirnya bersuara.

Ia menjamahi langit malam yang bercahaya karna terangnya bulan, "Aku takut kehilangan diri aku sendiri"

Malam itu, Edgar akhirnya menceritakan perihal apa yang terjadi padanya. Tentang dia yang hampir kehilangan dirinya semenjak Deva meninggal.

"Deva yang hilang, tapi kenapa aku yang dipaksa pergi"

Edgar bercerita, bagaimana keluarganya berharap ia hidup menjadi Deva, mulai dari mereka yang tak lagi menyebut nama Edgar dirumah itu, melainkan Deva. Ia dipaksa membuang jati dirinya. Saat itu ia mulai mempelajari dunia diluar dunia, sebagaimana itu adalah kecintaan Deva, ia mulai berpakaian seperti Deva, bahkan dipaksa mengejar mimpi Deva dan berakhir di kampusku, lalu bertemu denganku, yang katanya adalah orang berharga bagi Deva.

Aku yang katanya orang berharga bagimu, Puja.

"Malam itu, waktu aku berhasil nebak konstelasi Lyra, tiba-tiba aku ngerasa aku bukan aku" Ucapnya sembari menatap jemarinya sendiri, sedang aku tak henti menatap netranya.

"Aku takut, Senja"

"Aku takut Edgar bener-bener bakal mati"

Bisiknya tak kala maniknya bergetar seraya kata-kata keluar dari bibir tipis yang kering itu, sirat rasa takut yang begitu jelas itu membuatku turut bersedih.

Apa ketika ia bersamaku pun, ia merasa kehilangan jati diri?

"Aku bisa nyebutin puluhan perbedaan kamu sama Deva dimata aku" Ucapku, membuatnya menatapku.

"Kamu bener - bener beda Gar, kamu yang ngajarin aku kaya apa bentuk pupil kambing, ngajarin aku rasa pahit dari kopi kesukaan kamu, kamu yang bikin aku tau rasanya ngebut pake vespa kamu yang berisik, kamu yang ngenalin aku ke temen-temen tongkrongan kamu di caffe"

"Buat aku kamu punya jati diri kamu sendiri, kamu ga hilang Edgar, kamu ga mati, kamu ada"

"Bukan si cadangan, bukan si pengganti, kamu bukan Deva Puja Pangestu"

"Kamu Edgar Puja Pangestu"

"Dan kamu Puja yang aku suka"

Malam itu Edgar mengecup pipiku. Katanya berkat aku ia hidup.

__________

Vote & comment juseyo
Next will be the last chapter

Edgar Puja Pangestu [MYG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang