15. Tentang Yang Spesial

12.1K 1.2K 73
                                    

Adhisty segera menahan wajah Taru yang hendak menyerangnya saat dia baru keluar dari kamar mandi.

"Taru, please. Nanti kita harus cuti lagi hari ini," kata Adhisty.

"Well, I don't mind that," Taru menarik tangan Adhisty dan mengecup leher perempuan itu.

Dengan susah payah dan sambil menahan napas, Adhisty kembali mendorong Taru sambil berkata, "Tapi aku mau kerjaaa." 

Pria itu benar-benar tidak ada matinya. Sejak Adhisty memberinya jatah pertama, Taru semakin giat mengajak untuk bergulat di atas ranjang. Sialnya, tak peduli seberapa lelahnya Adhisty dan seberapa nyeri tubuhnya setelah mereka melakukan ronde sebelumnya, gairahnya mudah tergelung naik saat Taru mendekap tubuhnya.

Tak terasa, sudah enam bulan berlalu sejak momen pertama itu. Taru semakin lihai, Adhisty semakin mudah ia buat terkulai. Hubungan mereka kian menghangat dan cekcok semakin jarang terjadi.

Pernikahan mereka benar-benar mengarah ke tempat yang lebih baik dari sebelumnya. Tinggal satu hal yang kurang, benih hasil bergelut dalam malam-malam penuh pergulatan panas mereka.

"Ukh... nanti malam?" tanya Taru dengan wajah kecewa.

"Enak ya?" tanya Adhisty jail. Taru malah mendekat, menempelkan hidungnya ke wajah perempuan itu, dan menggoda dengan tiga kecupan di pipi. Adhisty kembali menjaga kontrol dirinya meskipun kecupan sang suami terasa begitu hangat dan menggoda.

"Banget," bisik Taru sabelum menggigit daun telinga sang istri. Adhisty terpekik dan mendorong mundur pria yang kini sudah pandai menjahilinya.

"Wow... Am I good or what?" Adhisty tertawa, "Tapi banyak deal yang udah numpuk untuk kubicarakan. Hari ini aku harus ngantor dan nggak tahu bisa pulang cepat atau nggak."

Taru mengerutkan alis, "Emang nggak bisa dikerjain Sony atau Arila?"

"Nggak bisa dong Taru. Kamu kayak nggak tahu aja deh."

"Nggak tahu sih, aku kalau punya tangan kanan ya kupakai terus. Arun, Tami-"

"Hey, emang aku nggak tahu? Kamu kan lebih sering kerjain semuanya sendiri," Adhisty menertawakan suaminya seolah pria itu baru mengucapkan hal yang paling konyol yang pernah ia dengar.

Taru mengangkat bahu, "Well, it's fun to do it all."

Adhisty menggelengkan kepalanya. Taru terlihat seperti atasan yang senang mendelegasikan pekerjaan, tapi ia tahu persis bahwa pria itu kerap turun tangan untuk mengerjakan proyek-proyek penting. Dua perusahaan, beragam permasalahan, belum lagi jika Arun berulah dan perusahaan ketiganya mengalami goncangan, hidup Taru seolah tak pernah lepas dari pekerjaannya.

Tapi kini Taru rela melakukan delegasi. Demi Adhisty? Apakah itu artinya Adhisty telah menjadi bagian penting dalam hidupnya?

"Adhisty, kok bengong?" Tanpa disadari, Taru sudah berdiri di hadapan sang istri yang tengah melamun, "Ayo."

Taru yang lembut dengan senyuman lebar dan mata ramah, Adhisty percaya ekspresi ini tidak pernah dinikmati perempuan lain.

"Jangan capek-capek ya hari ini. Sisain tenaga untuk nanti malam," bisik Adhisty sebelum beranjak mendahului Taru menuju mobil.

Dari luar kamar, Adhisty dapat mendengar seruan kemenangan Taru. Ia hanya terkekeh dan menggelengkan kepalanya.

***

"Eh, maaf ya, aku jadi ganggu kalian ngumpul." Adhisty menerima senyuman kompak tiga perempuan di hadapannya.

"Nggak apa-apa lagi, Mbak. Malah kita sempat bingung, mbak kok mau-maunya ngumpul sama kita," kata Utami terkekeh

Unlovable Husband [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang