17. Perasaan Taru

10.3K 1.3K 96
                                    

Adhisty terdiam cukup lama sampai akhirnya ia tertawa sinis, "Apa maksud kamu dengan belum yakin?"

"Kamu berbeda dari perempuan lain di hati saya. Tapi saya belum yakin untuk mendefinisikannya sebagai cinta," jawab Taru lugas.

Di luar dugaan, dada sebelah kirinya terasa nyeri setelah mengucapkan jawaban itu.

Segala sesuatu tentang Adhisty terasa membingungkan bagi Taru. Ia tahu bahwa dirinya bisa hidup tanpa Adhisty, tapi ia tak mau begitu. Ia tahu bahwa ia tak ingin melihat Adhisty dengan pria-pria yang tak jelas di luar sana, tapi rasanya ia tak akan cemburu jika perempuan itu menemukan laki-lali baik yang ingin menikahinya.

Taru menginginkan kebaikan untuk Adhisty, tapi entah apakah perasaan itu bisa ia namakan cinta atau sekadar perhatian.

Bagi Taru, cinta itu seperti apa yang Arun dan Utami miliki. Begitu kuat, pekat, dan menggebu. Ia tidak punya semua itu untuk Adhisty. Sementara perempuan itu, sepertinya kepekatan yang Adhisty miliki untuknya hanyalah rasa kesal.

Saat ini pun ucapan Taru tadi sepertinya langsung memancing kembali kekesalan di hati Adhisty.

"Kamu nggak menikahi seseorang dalam keadaan belum yakin dengan perasaan kamu Taru!" seru Adhisty.

"Tapi saya yakin dengan keputusan saya menikahi kamu," balas Taru cepat.

"Untuk apa?! Kalau bukan karena kamu, saya masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan cinta dari pria lain! Kamu menutup harapan saya untuk berumah tangga dengan orang yang bisa saya ajak berbagi rasa tahu nggak?!"

Taru diam. Adhisty sangat marah dan ia tak ingin memperkeruh keadaan. Taru tidak punya pembelaan, tidak ingin melakukan pembenaran.

Di lubuk hatinya, Taru memang menyimpan ketakutan. Ia takut bahwa dirinya memang salah langkah.

"Kamu kan tahu sejak awal bahwa aku menginginkan cinta. Terus kalau kamu nggak yakin bahwa kamu cinta sama aku, kenapa harus nikahin aku?! Kenapa harus nyiksa aku begini? Kenapa?!"

Taru kembali tak menjawab. Ia tahu dirinya salah dan menerima semua amukan istrinya.

Adhisty putus asa. Setelah semua yang terjadi di antara mereka, ia merasa hampa.

"Aku benci sama kamu." Ucapan lemah itu terlontar sebelum Adhisty beranjak ke kamar mandi dan menangis semalaman di dalam sana.

***

Pagi hari itu terasa begitu hambar di kediaman Taru. Adhisty tak berhenti menerawang sepanjang sarapan. Mata sembap perempuan itu begitu menyiksa Taru.

Lima belas menit perjalanan menuju kantor pun mereka lalui tanpa bicara, baik satu sama lain maupun dengan telepon mereka masing-masing seperti biasa.

"Saya minta maaf kalau kamu tersinggung atas sikap dan perkataan saya." Taru mencoba memulai percakapan. Untuk beberapa detik, Adhisty tidak membalasnya. Tapi kemudian ia menghela napas.

"You were so sure... so persistent... for a moment I thought you were serious about us..." ucap Adhisty lemah.

"I am serious about us," kata Taru, tegas dan yakin.

"How could? Kamu bahkan nggak paham dan nggak mau paham dengan apa yang benar-benar penting bagi saya untuk sebuah hubungan..." balas Adhisty.

"Saya... saya..." Taru mulai kehilangan konsentrasi. Perut dan dadanya bergolak tak nyaman mendengar Adhisty bicara begitu formal kepadanya.

"Kamu tahu kenapa saya nggak mau dijodohin sama Arun?" Adhisty tidak menunggu pria yang duduk di sebelahnya untuk kembali bicara. Taru menghela napas, lalu menggeleng lemah.

Unlovable Husband [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang