Harusnya malam itu Adhisty ada janji kencan dengan seorang pria. Tapi ayahnya mendesak agar lekas pulang. Mengetahui sejarah sang Papi yang pernah menderita serangan jantung, perempuan itu pun pulang dalam keadaan panik. Sesampainya di rumah, ia langsung menyesali keputusannya.
Seandainya ia tahu bahwa hal yang mendesak bagi Pak Hutama adalah mempertemukannya dengan Taru, ia tak akan mau terburu-buru pulang.
"Kamu ini loh, weekend begini keluar-keluar aja kerjanya. Anteng sedikit di rumah kenapa?" tanya Pak Hutama tak lama setelah melihat wajah jengah Adhisty kepada Taru.
"Kan lagi nyari calon menantu buat Papi," jawab Adhisty kesal.
"Lah, ini calonnya sudah di rumah!" kata Pak Hutama sambil menunjuk Taru. Adhisty pun memelototi ayahnya.
"Papi apaan sih?! Norak banget jodoh-jodohan..." kata perempuan itu kesal. Ia sudah jengah mendengar Papinya membicarakan Taru, kini bahkan sosok itu muncuk di ruang tamunya.
"Ini orang apa jin sih?!," batin Adhisty.
"Pak, kalau boleh, saya ingin bicara berdua dengan Adhisty," dengan sopan, Taru meminta izin untuk mendapatkan privasi kepada Pak Hutama.
"Boleeehhh... di halaman belakang saja ya? Biar nyaman ngobrolnya," kata Pak Hutama dengan hangat dan sedikit bersemangat. Adhisty berjalan malas ke arah halaman belakang rumahnya. Taru mengikutinya dalam diam dari belakang.
Halaman belakang rumah keluarga Hutama lebih mirip padang bunga daripada sebuah halaman. Dari arah tempat duduk, orang dapat bersantai menikmati indahnya bunga dengan beragam jenis di sebuah halaman yang sangat luas. Terdapat pula jalan setapak jika ingin melihat bunga-bunga dari dekat. Pun di malam hari, halaman itu masih dapat memamerkan keindahannya karena seluruh taman dilengkapi penerangan yang cukup.
"Pinter ya, mendekati Papi untuk menjebak aku?" kata Adhisty setelah menyalakan lampu-lampu halaman belakang.
"Saya nggak menjebak. Saya cuma mau ketemu," balas Taru.
"Aku nggak mau ketemu, makanya kamu jebak biar ketemu. Mengelak aja sih, Ru?" Adhisty melepas malas sepatunya dan memakai sandal halaman belakang. Ia melenggang ke jalan setapak di halaman belakang, meninggalkan Taru yang kebingungan karena tak ada sandal lagi di sana.
Tapi Taru tahu kesempatan ini tak akan datang dua kali. Maka ia nekat melangkah menggunakan sepatunya.
"Apa yang membuat kamu nggak mau menikahi saya?" tanya Taru sambil berusaha berjalan sedekat mungkin dengan Adhisty.
Adhisty tertawa mengejek, "Kamu serius nanya?"
"Serius. Saya mau berusaha berubah kalau ada sikap saya yang kurang berkenan untuk kamu."
Adhisty berbalik dan menatap Taru. Tatapan pria di hadapannya yang sungguh-sungguh serta sikapnya yang lebih baik dari ketika terakhir 'melamar' membuat Adhisty memicingkan matanya. Ia tak langsung percaya, tapi juga penasaran.
Belum pernah ada laki-laki yang berkata rela berubah demi mendapatkan Adhisty dengan nada semeyakinkan Taru. Tentu saja hal ini membuat Adhisty ingin tahu kenapa pria ini bersikukuh membujuknya.
"Kenapa sih kamu ngotot banget mau menikahi aku?" tanya Adhisty.
"Ibu saya yang meminta."
"Ibu?"
Taru mengangguk, "Ibu saya bilang, dia pernah ketemu kamu. Lalu dia ingin saya menikahi kamu."
"Segampang itu?" tanya Adhisty nyaris tak percaya.
"Segampang itu. Saya akan lakukan apa saja demi dia," jawab Taru tegas.
Lagi-lagi, ini pertama kalinya Adhisty menemukan laki-laki yang mengutamakan orang tua setelahnya sejak pertama kali bertemu. Kebanyakan laki-laki yang dikencani Adhisty kerap menganakemaskannya dan bersikap tak sopan pada orang tua sendiri. Jika dipikir-pikir, nilai Taru di matanya menjadi sedikit lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlovable Husband [DIHAPUS SEBAGIAN]
RomanceHidup Adhisty harusnya sempurna, dengan kesuksesan karirnya dan kenyataan bahwa Ayahnya termasuk ke dalam lima besar orang terkaya se-Indonesia. Tapi setelah menginjak usia 34 tahun, seorang pria datang ke dalam hidupnya dan mengacak-acak kebahagiaa...