"Run."
"Hm?"
"Gimana sih waktu lo ngelamar Utami?"
Arun yang tengah makan kue kering di ruang tamu rumahnya langsung tersedak. Ia mengambil gelas minum dan meneguk cepat air di dalam sana.
Seharusnya malam ini Arun dapat menikmati waktu luang bersama istrinya, Utami. Rumah baru, suasana baru, banyak ruangan yang masih ingin ia eksplorasi fungsinya bersama perempuan yang ia cintai. Tinggal di apartemen Utami selama enam bulan terakhir membuatnya tak sabar untuk segera pindah ke rumah ini. Keputusan ini diambil karena Arun dan Utami sama-sama menginginkan pengalaman hidup di tempat baru dalam rumah tangga mereka.
Tapi tentu saja pengalaman itu harus tertunda sedikit karena kedatangan seorang tamu penting.
Taru Bagus Darmawan alias Mas Taru, rekan bisnis sekaligus orang yang sudah dianggap kakak sendiri, manusia paling aneh tapi paling tak pernah menghakimi sifat Arun di masa-masa kelam sekaligus pendukung utamanya dalam meraih kebahagiaan, tiba-tiba datang berkunjung. Ini saja sudah membuatnya merasa aneh. Taru nyaris tak pernah sekalipun mengunjungi Arun ke tempat tinggalnya dulu.
Lalu yang lebih aneh lagi adalah tujuan Taru mendatangi kediaman Arun. Pria itu ternyata datang untuk mempertanyakan cerita lamaran Arun kepada Utami. Hal ini jelas jauh berada di luar dugaan Arun.
Sebelum hari ini, tepatnya saat Arun sedang begitu bersemangat menceritakan kisah bersejarah bagi hidupnya itu, Taru hanya berkata sambil terus bekerja di depan laptop, "Cerita aja, tapi gue nggak terlalu merhatiin ya? Nggak tertarik soalnya."
"Ada apaan nih, Mas, nanya lamar-lamaran?" tanya Arun curiga. Matanya memicing, berusaha mencari informasi dari wajah datar Taru. Nihil. Arun memang bukan tipe orang yang pandai membaca pikiran orang lain.
"Ceritain buruan," ujar Taru. Mau seangkuh dan segalak apapun Arun dalam menghadapi orang lain, ia akan dengan mudah menurut tiap mendengar nada tegas Taru.
"Jadi... waktu gue sama dia baru pacaran, gue tiba-tiba kepengen banget beli cincin tunangan buat dia..." Arun pun mulai bercerita.
"Impulsif banget," komentar Taru.
"Waktu akhirnya gue mutusin buat ketemu dia habis putus, gue tahu gue nggak mau sekadar ngajak dia balikan. Gue mau ngajak dia nikah."
"Reckless banget," lagi-lagi Taru berceletuk tak acuh.
"Setelah ketemu, kita ngomong dan gue ngeyakinin dia buat terima gue sebagai suami," penjelasan terakhir ini membuat Taru memperhatikan Arun lebih dari sebelumnya.
"Coba bagian itu didetailin lagi," kali ini bukan komentar yang Taru lemparkan, melainkan minat.
"Bagian mana, Mas?" tanya Arun bingung.
"Bagian lo ngeyakinin dia. Itu gimana caranya?"
"Ya... kayak biasa orang ngelamar," Arun menggaruk-garuk kepalanya. Taru bisa menjadi sangat brilian dalam membaca dan memetakan strategi sampai sepuluh langkah ke depan, tapi jika sudah bicara tentang cara berhubungan dengan perempuan, pria yang sudah cukup matang itu masih saja seperti sebuah permainan lama; mundur tiga langkah. Maka Arun pun mencoba menggambarkan secara detail momen lamarannya itu, "Gue berlutut, minta ke dia buat jadi pendamping gue, dan bilang bahwa gue cuma bisa ngehadepin masalah gue kalau ada dia di sisi gue."
"Wah, susah juga ya..." Taru terlihat berpikir sangat keras. Hal ini membuat Arun semakin penasaran.
"Susah apaan sih?" tanya Arun.
"Kalau gue ngerasa bisa ngehadepin masalah dengan ataupun tanpa dia, gue bilangnya apa dong?" tanya Taru, terlihat sungguh-sungguh.
Hening sesaat, Arun berusaha mencerna tiap makna dibalik pertanyaan Taru. Sampai akhirnya kepalanya tak mampu menemukan kesimpulan masuk akal di balik semua ucapan tadi, Arun bertanya dengan nada frustrasi, "Mau lo tuh sebenernya apa sih, Mas?!"
***
[Enam Bulan Lalu]
Adhisty keluar dari lift gedung dengan penuh emosi. Untung hari ini ia diantar supir Papinya, rasanya terlalu emosi untuk menyetir sendiri setelah bicara dengan pria aneh di lantai paling atas gedung ini. Ia pun menghubungi supirnya dan menunggu dijemput di lobi.
Otaknya mencari cara untuk keluar dari permasalahannya tanpa bantuan pria menyebalkan yang baru ia ajak bicara. Taru benar-benar pria yang tak berhati, malah berpotensi membuat makan hati. Adhisty telah bodoh menganggap pria itu dapat membantunya keluar dari urusan perjodohan konyol yang diatur sang ayah.
Konsentrasi Adhisty buyar saat melihat seorang ibu-ibu penyandang disabilitas yang menaiki tangga. Ibu tersebut digendong dengan susah payah oleh supirnya dan satpam gedung.
Sang supir terpeleset dan ibu-ibu itu terjatuh. Adhisty pun merasa panik bukan main melihatnya.
"Bu, nggak apa-apa?! Saya bantu, Pak," kata Adhisty yang langsung memapah sang ibu dari belakang. Tubuh ibu tersebut memang sedikit besar sehingga mungkin supir dan satpam di sana tidak kuat menggendongnya berdua.
"Eh, nggak usah, Nak," kata ibu itu dengan wajah segan.
"Udah, Bu. Ayo," kata Adhisty yang langsung ambil bagian untuk membantu menggendong sang ibu-ibu tadi. Melakukan Pilates setiap hari memang membuat keseimbangan dan kekuatan tubuh Adhisty menjadi prima. Meskipun terkesan lemah karena tubuhnya ramping, tapi ia masih dengan mudah mengangkat beban seberat tubuhnya.
Setelah sampai di atas, Adhisty kembali memapah ibu itu sementara sang supir membawakan kursi roda.
"Terima kasih banyak, Nak, ibu jadi nggak enak," kata ibu tadi. Adhisty memperhatikan penampilan ibu tersebut. Sederhana tapi sangat elegan. Pakaiannya polos berwarna merah dan hitam. Perhiasan di telinga dan leher serta mobilnya yang merupakan keluaran merek mewah menandakan bahwa dia bukan berasal dari status sosial kelas bawah.
Tapi Adhisty begitu tak tega melihat sikap ibu tersebut yang terkesan minder dan rendah diri.
"Yang harusnya nggak enak itu pemilik gedung perusahaan ini, Bu," kata Adhisty sambil mengingat pria yang baru saja ia ajak bicara itu.
"Ehm..." Pak satpam memandang Adhisty dan ibu-ibu itu bergantian. Tapi saking kesalnya dengan pria bernama Taru, ekspresi salah tingkah satpam itu pun luput.
"Pak, bilangin bos-nya di atas tuh, sediakan jalur untuk kursi roda di lobi. Perusahaan besar-besar kok inconsiderate banget..." keluh Adhisty. Ia menumpahkan segala kekesalannya pada Taru lewat keluhan itu.
"Jangan gitu, Nak, ibu nggak enak. Masa' demi satu orang cacat segedung jadi di renovasi?" ujar si ibu. Adhisty menatap mata tua itu dengan senyun dan sentuhan yang penuh perhatian.
"Bukan ibu yang cacat, tapi fasilitanya yang perlu diperbaiki. Kalau ada jalanan yang berlubang dimana-mana, pengendara yang lewat nggak akan berpikir bahwa kendaraan mereka yang rusak, kan?" kata Adhisty. Ibu tua itu termangu, lalu perlahan tersenyum melihat semangat perempuan muda yang membelanya itu.
Tak lama, Adhisty pun menyadari bahwa mobilnya tengah berjalan mendekat. Nada yang tadi tegas melembut ketika ia menatap sang ibu di atas kursi roda, "Bu, saya sudah dijemput. Hati-hati ya, Bu."
"Terima kasih banyak, Nak..." ucap sang ibu.
Adhisty melempar senyumnya dan segera berlalu. Saat mobil Adhisty sudah tak kelihatan, supir ibu tersebut bertanya, "Kenapa ibu nggak bilang kalau ibu adalah orang tua yang punya gedung?"
Sang ibu tersenyum lebar dan menjawab, "Karena yang satu ini nggak boleh kabur."
(((Bersambung)))
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlovable Husband [DIHAPUS SEBAGIAN]
Roman d'amourHidup Adhisty harusnya sempurna, dengan kesuksesan karirnya dan kenyataan bahwa Ayahnya termasuk ke dalam lima besar orang terkaya se-Indonesia. Tapi setelah menginjak usia 34 tahun, seorang pria datang ke dalam hidupnya dan mengacak-acak kebahagiaa...