23. Degupan Yang Berbeda

10.6K 1.1K 51
                                    

Mereka terdiam selama beberapa saat, lalu Adhisty memutuskan untuk mengatakan sesuatu.

"I'm sorry. I shouldn't bring it up," ujarnya.

"Nggak apa-apa, Dhis. Aku cuma..." Taru berhenti bersuara. Ia tak mampu mencari kata-kata yang masuk akal untuk menjelaskan rasa ngilu yang muncul mendadak saat Adhisty berkata bahwa mereka tidak saling jatuh cinta.

"Aku berusaha untuk nggak terlalu berharap soal cinta lagi, Ru," Adhisty duduk dan bersandar di sofa sambil memandang langit-langit ruang tamunya, "You try your best, so I shouldn't make a big deal about it..."

"Adhisty..." ngilu di dada Taru semakin dalam menyesap ulu hatinya. Ia tak bisa berkata apapun untuk menghibur perempuan itu padahal seharusnya Taru mampu melakukan sesuatu di situasi itu.

"Jodoh itu tricky ya, Ru. Yang cinta malah nggak bersama, giliran nggak saling cinta malah bisa sampai terikat kayak kita," ujar Adhisty sambil tertawa kecil. Matanya menerawang, membuat Taru menyimpan tanya tentang siapa yang tengah perempuan itu bayangkan.

"Kadang yang kita inginkan belum tentu yang terbaik buat kita, Dhis," kata Taru. Adhisty tersenyum meskipun merasa pahit.

"Ternyata sulit mendapatkannya. Hubungan dengan laki-laki yang mencintai aku." Perlahan tapi pasti, isi hati Adhisty mengalir begitu saja dari bibirnya.

Ia tak pernah benar-benar bercerita tentang impiannya akan pernikahan dan cinta kepada seseorang selain Taru. Kali ini pun pria itu lagi yang ia percaya untuk mendengarkannya.

Taru tak pernah menganggapnya lemah ataupun lembek karena begitu menginginkan cinta. Adhisty belum pernah mendapatkan kenyamanan seperti saat bersama Taru. Meskipun dingin, pria itu selalu mampu menyelimuti sisi lembutnya dengan rasa aman.

"Kamu tahu itu nggak benar. Kamu tahu laki-laki berlomba untuk mendapatkan kamu," hibur Taru sambil mengulang apa yang sering Arun ucapkan kepadanya tentang Adhisty.

"Then why was I be single for thirty four years?"  tanya Adhisty. Dia tidak berusaha menantang, hanya ingin mencari jawaban. Mungkin Taru punya jawaban itu. Tapi sang suami hanya diam. Sejujurnya, Taru tak mengerti mengapa Adhisty yang begitu sempurna di matanya tidak kunjung menikah kalau alasannya bukan karena perempuan itu memilih demikian.

Adhisty adalah anak dari keturunan yang baik, memiliki paras menawan dan sikap kerja yang begitu profesional. Mungkin terkadang memang sedikit kekanakan, tapi dengan kegigihannya dalam membuktikan diri, Taru tak berharap ada perempuan yang begitu sempurna hadir di muka bumi.

Bagi Taru, Adhisty adalah kesempurnaan yang masuk akal. Karena itulah Taru sering merasa tersiksa karena ia yakin semua pandangan itu tak akan membuat Adhisty senang. Taru tahu apa yang bisa membuat Adhisty benar-benar bahagia dan ia masih belum yakin untuk memberikannya saat ini.

Tidak setelah Taru pernah merasakan hancurnya memberi cinta sepenuh hati kepada orang yang salah.

Adhisty tersenyum. Bahkan Taru si serba tahu pun tak bisa menjawabnya. Ia kembali menatap layar televisi yang masih menyala tapi tanpa suara, "Bukan mauku nggak menikah sampai usia segitu. Bukan mauku gonta-ganti teman kencan. Bukan juga mauku bermain-main dalam hubungan. Aku mencari yang pasti. Mencari yang menawarkan cinta buat aku."

Taru menatap Adhisty tanpa berkedip. Semua tentang perempuan ini selalu membuatnya tak tenang. Membuatnya kepikiran.

"Tapi mungkin cinta adalah kemewahan yang nggak bisa aku gapai selamanya," kata Adhisty. Binar matanya semakin redup.

"Saya nggak tahu bagaimana cara menghibur perempuan di situasi seperti ini. Peluk lagi?" Taru yang paham bahwa istrinya sudah merasa semakin sendu mencoba menghibur.

Adhisty terkekeh geli dan menerima tawaran itu. Ia membenamkan tubuhnya dalam dekapan Taru sementara mereka berbaring di atas sofa.

"Apa yang aku ceritain malam ini, keep it between us ya, Ru," pinta Adhisty.

"Saya bukan tukang gosip," balas Taru tak terima.

"Tapi kan kamu sering sharing sama Arun. Please just don't tell him about how cringy I am.

"Nggak akan."

"Pede banget, awas aja kalau bocor."

"Not this one, because it's mine," Taru menarik Adhisty semakin melesak dalam dekapannya, "That way I have something I know about you that no one knows."

Jantung Adhisty berdebar mendengarnya. Taru tak pernah mudah ditebak, tak terkecuali saat ini. Mengapa pria ini bisa membuatnya berubah emosi begitu cepat. Dari marah, bergairah, malu, sedih... sampai saat ini.

Ada perasaan baru yang membingungkan tentang Taru, muncul tiba-tiba di hati Adhisty dan membuatnya semakin menikmati aroma tubuh pria yang tengah memeluknya.

Degupan jantungnya saat berada di dekat Taru terasa berbeda. Semakin menggebu, semakin membuat ujung bibirnya ingin melebar dan membentuk lengkungan manis di wajahnya.

***

Taru terheran melihat Adhisty telah bangun lebih pagi dari dirinya. Biasanya, Taru bangun sebelum matahari terbit dan berolahraga. Setiap bangun, Adhisty selalu terkapar di sebelahnya. Sedang pulas-pulasnya di alam mimpi. Tapi kini sisi ranjang itu kosong.

Taru ke ruang olahraga dan tidak menemukan Adhisty di sana. Ia lalu ke bawah, dan aroma makanan hangat meruak, menusuk hidungnya dan membangkitkan selera makannya. Taru menuju dapur dan menemukan Adhisty di sana.

"Hai! Kamu udah bangun?" tanya Adhisty. Taru mengerjap menyadari keajaiban terjadi pagi ini.

Adhisty Kania Putri, Putri Mahkota kerajaan media yang besar di Indonesia, seorang perempuan yang paling antipati dengan memasak yang pernah Taru kenal, kini berada di dapur dan memasak makanan.

"Ehm... kamu ngapain, Dhis?" tanya Taru bingung.

"Nggak tahu nih, bangun-bangun kepengen masak," jawab Adhisty sambil mengoseng nasi goreng yang cukup untuk memberi makan sepuluh kuli. Taru menelan ludah. Hormon kehamilan itu benar-benar membuat ibu hamil jadi sulit terprediksi.

"Dhis..." Taru mendekat dan mengusap bahu istrinya, "Ibu hamil nggak boleh capek-capek. Masa' pagi buta gini kamu bangun dan masak sebanyak ini? Nbanti jam sembilan kamu kan masih harus kerja. Kalau capek gimana?"

Bukannya langsung menjawab, Adhisty malah terlihat gagu sambil menghadap Taru. Ia seperti salah tingkah, atau tak tahu harus bicara apa. Perlahan Adhisty mundur sambil mengalihkan pandangannya dari sang suami.

"Ibu hamil juga harus happy. Ini aku happy banget masaknya," Adhisty kembali menghadap wajan dan mengaduk nasi goreng buatannya, "Sekarang kamu olahraga dulu aja gih. Nanti pas sarapan kamu cobain ya."

Taru mengernyit, tapi seulas senyum muncul di wajahnya. Tak pernah ia membayangkan pengalaman dibuat masakan oleh istri sejak pertama kali ia melamar Adhisty. Ia tahu tak ada gunanya mengharapkan itu dan ia pikir hal itu tidak penting baginya.

Tapi dimasaki makanan oleh Adhisty saat perempuan itu bisa mendelegasikannya ke asisten rumah tangga membuat Taru tersanjung. Entah kenapa ia jadi merasa penting dan diperhatikan Adhisty.

"Pasti kumakan sampai habis," jawab Taru sambil mengusap rambut Adhisty dsri belakang. Ia kembali ke atas untuk berolahraga. Semangatnya terpompa setelah mengetahui perut kosongnya akan dipenuhi masakan sang istri di jam sarapan nanti.

Di dapur, sendirian, Adhisty tersenyum lebar. Ia mencoba menghentikannya dengan menggigiti bibir, tapi gagal. Senyumnya tetap tersungging.

Degup jantungnya terus mengalihkan darah ke wajah perempuan itu sehingga kini memerah.

Degupan yang menyenangkan, membuatnya bersemangat...

(((Bersambung)))

***

Eh bisa double up! Hahahaa... syukurlah kalau gitu.

Yang mikir Taru marah, nggak lah, Mas-ku sabar banget itu 😝

Semoga suka yaa...

P.S.: maaf tadi kelupaan judul jadi unpublish lagi. Huehehee.

Unlovable Husband [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang