"Enak nggak?" tanya Adhisty sambil menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja makan.
"Enak." jawab Taru sebelum menyuapkan kembali nasi uduk ke dalam mulutnya.
"Mau lagi?" tanya Adhisty lagi.
Taru mengangguk, "Boleh."
Adhisty meminta piring Taru sementara pria itu memandanginya penuh tanya sambil memberikan piring itu. Taru tak berhenti memandangi sang istri saat perempuan itu melengos ke dapur dan mengambilkan Taru nasi uduk, suiran ayam, tempe orek, dan telur dadar iris buatannya.
Sudah lewat dua minggu sejak Adhisty pertama kali memasakkan Taru nasi goreng. Entah ketagihan masak atau memang hasil mengidam, sejak saat itu Adhisty tak pernah absen membuatkan suaminya sarapan. Bahkan di akhir pekan pun ia tetap melakukannya.
Dari semua hal, yang mengejutkan Taru adalah Adhisty ternyata begitu pandai memasak. Meskipun tak pernah memasak seumur hidupnya, Adhisty mengaku mudah mengikuti resep makanan yang sempat ia cari di internet. Mungkin dirinya sedikit tak terampil dalam memotong atau mencincang, tapi sampai sekarang tak ada satupun hasil makanannya yang tak dilahap habis oleh Taru saking enaknya.
Kini Taru merasa salah tingkah. Begitu ganjil rasanya dilayani tuan putri seperti Adhisty. Ia tahu bahwa istri kerabat-kerabatnya tak ada yang memasakkan suaminya makanan. Untuk apa? Mereka bisa masak hasil masakan chef ternama setiap minggu jika mau.
Tapi dirinya tak bisa merasa biasa saja setelah dibuatkan sarapan selama dua minggu oleh Adhisty. Taru merasa spesial, dan Adhisty terlihat semakin sempurna di matanya.
"Ehm, makasih." Pikiran Taru buyar saat perempuan itu berdiri di sebelahnya dan meletakkan sepiring nasi uduk di hadapannya.
"Aku mandi dan ganti baju, baru kita berangkat ya," ucap Adhisty. Ia landaskan sebuah kecupan di tulang pipi Taru sebelum beranjak.
Taru memejamkan mata. Aneh, kecupan Adhisty seolah beriak dan membuat detak jantungnya terasa lebih kuat. Ia dapat merasakan wajahnya memanas dan senyumnya terangkat.
Rasa senang dan bangga menyatu di hatinya. Saat itulah Taru menyadari bahwa pesona sang istri benar-benar luar biasa.
***
Taru menatap heran perempuan yang sudah duduk menunggu di ruangannya.
"Kenapa tiba-tiba datang, Dhis?" tanya Taru. Ia segera memeriksa jam tangannya, pukul setengah dua belas.
"Emang nggak boleh kalau istri sekaligus partner bisnis kamu ini mampir?" Sindir Adhisty.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Taru lagi. Kali ini ia memijat pangkal hidungnya. Adhisty ingin merajuk karena kedatangannya seolah sangat mengganggu sang suami, tapi ia urungkan segera niat itu. Keseharian Taru memang sangat sibuk sehingga ia paham kalau acara yang tiba-tiba dapat mengacaukan mood dan jadwal pebisnis itu.
"Tiba-tiba inginnya Taru... aku mau ditemani kamu cari maternity clothes. Baju-bajuku sudah nggak nyaman dipakai," jawab Adhisty tanpa basa-basi. Membuang waktunya dan suami di jam kerja bukanlah hal yang bijaksana.
Taru mendesah panjang, "Kasih aku waktu sebentar."
Taru keluar, bergantian dengan asistennya yang sempat Adhisty dengan diinstruksikan Taru untuk menemani Adhisty.
"Bapak lagi sibuk ya?" tanya Adhisty penasaran.
Si asisten kikuk itu menyeringai lebar, "Bapak sebenarnya ada lunch meeting dengan bos dari perusahaan klien. Ini mungkin agak lama perginya. Ibu mau dibawakan minum apa?"
"Air putih anget aja, aku lagi agak mual," ucap Adhisty sambil memberikan senyumnya.
"Oh iya!" Seru asisten itu, membuat mata Adhisty terbelalak, "selamat atas kehamilannya, Bu! Semoga sehat selalu ya, Bu Dhisty..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlovable Husband [DIHAPUS SEBAGIAN]
RomansaHidup Adhisty harusnya sempurna, dengan kesuksesan karirnya dan kenyataan bahwa Ayahnya termasuk ke dalam lima besar orang terkaya se-Indonesia. Tapi setelah menginjak usia 34 tahun, seorang pria datang ke dalam hidupnya dan mengacak-acak kebahagiaa...