#Bab3_Janji

523 16 1
                                    

Aku pulang dengan rasa gembira. Ucapan Tarjo membuatku bangga, "Wah. Hebat kamu, Man. Menang terus!"

Langkah terhenti di depan rumah sahabatku itu.

"Man, aku sudah sampai rumah, kamu pulang sendiri berani kan?"

"Iyo, berani." Aku melangkah cepat meski sebenarnya penakut, tapi harus bagaimana lagi. Terpaksa pulang sendirian. Jarak menuju rumahku lumayan jauh, harus melewati jalan persawahan, ini jalan satu-satunya.

Di tengah jalan tiba-tiba tercium harum aroma bunga melati, semerbak wanginya sampai menusuk hidung.
Aku mencari sumber bau dengan memberanikan diri menoleh ke kanan dan ke kiri. ''Tak ada siapapun'' gumamku.

Langkah kupercepat tanpa peduli arah. Sinar rembulan nun redup menjadi teman. Hingga tiba-tiba kakiku menyandung sebuah batu.
Bruk! Aku jatuh tersungkur.

Bibirku meringis. Ada luka di bagian lutut. Pedih, tapi tidak berdarah. Mataku terpejam menahan sakit. Seketika ada desiran lembut seolah atmosfir bumi telah terganti.

Mata terbuka. Semua menjadi terang. Aneh sekali. Kenapa hari sudah pagi?

Dan di manakah aku saat ini? Aku sudah berada dalam ruangan yang luas mirip istana zaman kuno. Seketika bulu kudukku merinding.

"Mas...," bisik halus menggoda imajinasi liarku. Tiba-tiba kurasakan jemari dingin menyentuh pundakku lembut. Aku menoleh ke arahnya dengan rasa takut menggelayuti fikiranku.
"Kamu si-si-siapa?" tanyaku gemetar.

"Aku Sundari, aku istrimu, Mas." dia langsung mengalungkan tangan lembutnya ke leherku. Jantungku berdegub kencang. Kutelan saliva untuk menghilangkan rasa takut.

"Istri? Istriku adalah Parni. Jangan mengaku sebagai istriku," jawabku gemetaran.

Sundari melepas tanganya dari leherku lalu mengusap dadaku. Membangkitkan jiwa lelakiku.

"Kamu sudah setuju untuk menikahiku, setiap hari akulah yang selalu berusaha memenuhi harapanmu," ucap Sundari dengan mengedipkan sebelah matanya.
Benar-benar hantu cantik yang menggoda.

"Dengan membaca do'a dari Ki Ageng, sama saja kamu menikahiku, Sayang." Sundari mengelus pipiku.

Sekarang, aku baru paham.

"Baiklah. Aku setuju engkau menjadi istriku, asal jangan kau suruh aku menceraikan Parni, dia adalah ibu dari anak-anakku," jawabku.

"Baiklah, Mas. Aku setuju. Ingat kata Ki Ageng. Jangan ceritakan pada siapapun, atau kau akan terima akibatnya," ancam Sundari.

Setelah perjanjian, kami meneguk manisnya cinta. Rupanya, hantu wanita lebih menggairahkan dibanding manusia. Tubuhnya nyaris sempurna.

Mataku terbuka. Aku kaget bukan kepalang. Kenapa tiba-tiba aku sudah ada di kamarku? Apakah aku bermimpi lagi? Lalu siapa yang membawaku pulang ke rumah? Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan dalam fikiranku.

Aku merasa ada yang aneh, aku menengok ke bagian bawah celana panjangku. Sial. Basah. Sudah jam tiga, aku segera mandi sebelum Parni tau.

Selama mandi, yang kubayangkan hanyalah wajah Sundari. Kehadiranya telah menjadi candu cinta dalam kepuasan tak tersentuh dalam nyata.

"Parni, apa kamu tahu kenapa aku sudah tidur di kamar?" tanyaku sambil menyesap kopi nikmat buatanya.

"Maksudmu opo, to? Semalam kan sampian tidur setelah Tarjo pulang. Aku selesai ngaji trus nemenin tidur. Tidurmu nyenyak sekali seperti mayat." Parni menjawab santai.

Aku menjadi bingung, semua tak masuk akal bagiku. Berarti ada yang mengubah wujud menyerupaiku lalu menemani Parni tidur. Atau memang semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi?

"Hehe ... bapak lupa. Yo wis, mana bekal makanku? Aku mau berangkat kerja."

Parni tak merasa ada yang janggal. Aku terpaksa diam, ini lebih baik. Aku tidak ketahuan main judi semalam. Perasaanku semalam benar-benar pergi dan main judi dengan sahabatku itu.

Tanganku coba merogoh celana panjang yang kupakai semalam. Terlanjur aku mencucinya dan menjemurnya.
Beberapa lembar uang masih utuh. Hanya basah karena tercuci. Artinya, aku memang keluar rumah.

"Parni, tolong jemur uang ini. Nanti buat belanja kamu. Tadi kecuci. Bapak lupa he he," ucapku sembari mengulurkan lembaran uang yang belum sempat kuhitung jumlahnya.

"Wah. Alhamdulillah. Banyaknya, Pak." Dengan senang hati diterimanya uang itu.

"Ini bekalnya," ucap Parni meletakkan bekal makanku ke dalam tas.

"Bapak, sii minta endong," Si bungsu menarik tanganku yang hendak melangkah keluar rumah.

"Bapak mau kerja, nduk. Jangan di gangguin," cegah Parni.

"Biarin lah, waktunya masih panjang," sahutku.

Seketika mata bulatnya berkaca-kaca. Sebelum dia menangis, aku memanggulnya di atas tengkuk lalu mengajaknya lari mengitari halaman rumah.
Sri tertawa-tawa sampai
Bambang yang menyaksikan kemanjaan adik perempuanya langsung berteriak meledek.

"Awas nanti ngompol kamu Sri!"

"Bapak sudah capek, turun, ya?"

Sekarang giliran Bambang dan Parni yang di ganggu. Aku mengejar mereka lalu menggelitik badanya. Kami berkejaran. Dua lawan satu.
***
Baru sampai di area perkebunan tebu, Tarjo tiba-tiba memanggiku "Man, pak Supri manggil kamu."

Aku berjalan menemui mandorku.

"Ada apa, Pak?" tanyaku.

"Kamu Paiman, katanya kamu bisa baca tulis, mulai hari ini gantikan posisi saya, saya mau di pindah tugaskan ke cabang yang lain," jelasnya seraya menyerahkan lembaran kertas buku dan pena.

"Baik, Pak. Saya harus tulis apa?" tanyaku belum paham.

"Kamu mengabsen pekerja dan tugasmu juga menulis berapa jumlah tebu yang di angkut ke mobil. Tiap satu ikatnya para pekerja mendapat upah dua ribu rupiah. Tapi saya mau ajari kamu. Bilang saja pada pekerja bahwa harganya seribu lima ratus rupiah. Nanti yang lima ratus bisa buat kamu. Kamu paham?"

"Iya, Pak. Paham," jawabku mengangguk.

Aku mulai menghitung dan menulis gaji pekerja. Bila lima ratus rupiah dikalikan seratus orang maka aku akan mendapat tambahan lima puluh ribu rupiah. Luar biasa. Gajiku sebagai mandor saja sudah seratus lima puluh ribu ditambah bonus menjadi dua ratus ribu.

Senyum kepuasan terus mengembang di bibirku.

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang