#Bab13_Kunjungan_Tengah_Malam

383 14 3
                                    

Hidupku terasa menyenagkan. Mungkin setiap pria memimpikan bernasib sepertiku.

Tanpa harus lelah bekerja. Uang sisa penjualan rumah masih ada. Rukmini juga tidak pernah menyuruhku membanting tulang.

Rutinitasku hanya berada di atas kasur. Bersenang-senang dengan Rukmini. Kami jarang keluar rumah hususnya Rukmini. Pagi sampai sore hari hanya berada di dalam rumah. Kadang dia keluar rumah hanya di waktu malam hari atau selepas Maghrib.

"Mas. Mari makan dulu," ajak Rukmini dengan senyuman manis yang tak pernah luntur.

"Iya, sayang. Masak apa?" tanyaku.

"Mie goreng dan ayam kecap."

Aku menuju ke meja makan. Anehnya, aku tidak pernah melihat Rukmini masak. Tiba-tiba makanan sudah ada. Seperti ada yang tidak beres. Coba sekali-sekali aku tanyai dia, "Kapan masaknya? Kok sudah matang?" Rukmini tersenyum sambil mengambilkan nasi beserta lauk ke atas piring.

"Tadi ... Mas kan masih tidur," jawabnya.

"Oo ..."

Kumasukkan nasi dan potongan daging ayam ke dalam mulut. Lagi-lagi rasanya lezat. Hanya saja sedikit bau anyir.

Rukmini mengambil nasi dan lauk ke atas piringnya. Dia makan begitu lahap.

"Aku kangen sama anak-anak," ucapku di sela-sela makan. Rukmini menatap mukaku datar.

"Bolehkah aku menengok mereka?" sambungku.

Rukmini bangkit berdiri membuatku was-was. Takut dia marah.

"Aku ikut," jawabnya singkat. Kutelan makanan dalam mulut. Segelas air kuteguk sampai habis. Tak mungkin aku membawa istri baruku pulang. Bagaimana dengan Parni. Apa dia bisa menerima?

Sudah pukul 20:00 Sepeda jengki yang paling trendy mengantarkan kami menuju kediaman yang lama kutinggalkan. Membayangkannya saja rasanya sungguh tak sanggup. Aku sudah berusaha membatalkan niatku menemui anak dan istriku, tapi Rukmini memaksa.

"Katakan saja yang sejujurnya bahwa kita telah menikah," ucap Rukmini di tengah perjalanan. Aku mengangguk pasrah. Biarlah, kalau memang Parni marah, toh aku masih punya istri cadangan.

Kami telah sampai di depan halaman rumahku yang nampak sepi. Dulu, halaman ini menjadi tempat bermainku dengan anak-anak. Berjuta memory indah kembali terpampang di dalam ingatan. Rindu. Aku sangat merindukan keluarga kecilku.

Tok ... tok ... tok ....
"Assalamu'alaikum."

Terdengar jawaban dari dalam rumah diiringi derup langkah, "Wa'alaikum salam."

Jantungku berdegub. Keringat dingin bercucuran. Aku benar-benar gugup.

Kriet .... pintu terbuka. Seorang wanita berkulit sawo matang dengan mukena putih membungkus kepala. Manik mata indahnya masih saja sama. Kali ini aku takut sekali berhadapan dengannya. Matanya terbelalak kaget melihat kedatangan kami. Tanpa mempersilahkan masuk, pintu ditutup kembali.

Aku terkejut. Perlakuannya menyadarkan egoku. Pantas dia bersikap begitu untuk seorang pria yang tega meninggalkannya selama dua tahun. Tanpa kabar apa pun. Bahkan melalaikan kewajiban memberi sesuap nasi pada istri dan darah dagingnya sendiri.

Air mataku meleleh seperti bongkah batu es disiram air panas. Tubuhku menjadi lemah tak berdaya. Nafasku tersengal menahan nyerinya rasa penyesalan.

"Sudah, ayo pulang!" ajak Rukmini menyeret tanganku.

"Tidak! Aku mau ketemu Bambang sama Sri!" elakku. Pintu segera kugedor dengan memanggi nama anak-anakku, "Bambang!Sri! Ini Bapak. Bapak kangen sama kalian!"

Tak lama suara gaduh terdengar dari dalam rumah, "Mak. Itu suara Bapak. Kenapa gak dibuka pintunya?" tanya Sri.

"Bapakmu menikah lagi sama setan. Jangan kau buka pintunya kalau tak mau celaka!" jawab Parni dengan memelankan suara, tapi masih dapat kudengar.

"Setan?" sahut Bambang dan Sri bersamaan.

Dug! Jantungku tiba-tiba berdegub. Apa kata Parni? Rukmini setan? Aku tak percaya, dia tega menfitnah seperti itu.

"Ssst. Ayo masuk kamar," lirih Parni. Kemudian semua kembali sepi.

Aku menoleh pada Rukmini. Dia berdiri kaku menatap kosong ke arahku. Apa benar kata Parni? Memang Rukmini sedikit aneh, tapi sewaktu-waktu dia benar-benar lembut. Bahkan aku dibuatnya mabuk asmara.

Aku membonceng Rukmini dengan perasaan takut. Jangan-jangan benar kata Parni. Atau dia hanya menakut-nakuti anak-anak agar tidak membuka pintu.

"Apa kamu takut padaku, Mas?" tanya Rukmini sambil mengeratkan pegangannya pada pinggangku.

"Eng-enggak," jawabku gugup. Sekilas aku melirik jari jemarinya dan kulitnya yang semakin pucat diterpa sinar rembulan.

"Kudengar, istrimu mengataiku setan," ujarnya. Aku gugup kemudian meneguk saliva kuat-kuat. Keringat mulai mengucur, padahal baru saja menempuh lima puluh meter perjalanan.

"Dia pernah datang ke rumah pas siang hari. Mas masih tidur. Aku hanya membuka pintu sebentar lalu menutupnya lagi. Kulitku bisa terbakar karena alergi matahari. Itulah sebabnya dia mengataiku setan," jelasnya. Aku sedikit lega, meski masih ragu-ragu.

Perjalanan terasa begitu lambat. Atau mungkin hanya perasaanku saja karena dihantui rasa takut.

Kami melewati pos ronda. Bapak-bapak tengah duduk berjaga sambil meminum kopi.

"Monggo, Pak," sapaku.

Mereka menoleh dan langsung menjerit dengan lari tunggang- langgang, "Setaaan! Ada setan!"

Apa mereka pikir, istriku setan? Rukmini memang senang memakai baju putih, dan rambutnya tergerai hitam panjang. Tapi bukan berarti dia setan. Kesal sekali rasanya.

"Sudahlah, Mas. Jangan diambil hati. Ayo kita pulang," ucap Rukmini.

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang