#bab15_Ancaman

379 14 3
                                    

Kabut putih menyelimuti bumi. Memeluk erat gugusan-gugusan kuncup kembang malam. Dingin yang syahdu mengusik indahnya mimpi.

Kueratkan pelukan 'tuk hangatkan badan. Ah, lagi-lagi istriku terasa dingin. Aku sudah biasa. Mungkin dia kedinginan.

Azan subuh berkumandang dari surau yang letaknya lumayan jauh, tapi cukup mengganggu kupingku. Jiwaku merasa benci suara itu. Kesal sekali. Pun dengan Rukmini. Dia langsung bangun dan pergi entah ke mana.

Bantal tebal nun lembut kutarik untuk menutupi telingaku. Suara itu telah berakhir. Tidur kembali nyenyak dalam mimpi baru. Dalam mimpi, tampak seorang wanita berbaju merah yang menyeramkan. Wajahnya hancur berantakan. Matanya menyala merah. Kali ini nyaliku menciut. Dia mendekat dan mengarahkan kuku hitam panjang ke arah kejantanan yang kubangga-banggakan.

"Ampuun Sundari!" mohonku dengan gemetar ketakutan.

Taringnya keluar sangat menakutkan.

"Berani-beraninya kau menikahi wanita sundal itu!" bentaknya bersulut-sulut.

"Ma-ma'afkan aku," mohonku sambil mengatupkan kedua tangan.

'Sreet!' Darah mengucur di balik celana kolorku. Bahkan sisa pergulatan semalam masih tertinggal di sana, tapi ditambahi darah merah mengerikan.

"Aaaa!!!" jeritku. Sakit dan takut.

Tiba-tiba sekelebat kain putih membungkus tubuhku. Aku terbangun dengan nafas yang sesak.

Rukmini sudah ada di sisiku dengan membawakan air minum. "Minumlah agar lebih baik," titahnya. Aku menurut. Airnya bau kembang kantil, membuatku ingin muntah.

"Telan!" serunya. Seperti terhipnotis, aku menurut.

Benar saja, badanku langsung terasa lebih baik.
***
Sore menjelang Magrib. Di ambang pintu yang tak 'kan pernah ada tamu. Suasananya nyaman sekali. Namun, jiwaku terasa kosong merongrong. Ibarat seekor anjing yang melolong. Ya. Aku ingin teriak. Ada apa dengan hidupku. Pernikahan yang tak bahagia selayaknya orang-orang. Mengapa?

"Mas, melamun ya?" Rukmini memeluk dari belakang. Aku berbalik dan menyentuh pinggulnya yang indah.

"Iya. Kapan kita punya anak ya?" bisikku di telinganya. Rukmini terpejam menikmati.

Bibirku beralih pada lehernya yang jenjang. Kulitnya kuning langsat meningkatkan gairah di hari sore.

"Ayo masuk rumah," ajakku sambil menggendongnya masuk rumah dan melemparkan tubuh indahnya ke atas kasur. Aku begitu buas bagai harimau lapar.

'Tok ... tok ... tok' terdengar suara ketukan menghentikan panasnya hasrat yang belum tuntas.

"Tunggu sebentar ya sayang. Mas buka pintunya," ucapku sambil bangkit meraih kaos gambar wayang.

Pintu kubuka perlahan. Tak ada siapa-siapa di luar. Pintu kututup kembali. Namun, tiba-tiba angin kencang berhasil membuka pintu. Aku berusaha menutupnya. Nihil, pintu kembali terbuka. Anginnya sangat kencang. Mungkin akan turun hujan. Benar saja, kilat menyambar-nyambar diiringi tetes hujan yang begitu derasnya.

Sepedaku masih di luar. Cepat-cepat kubawa masuk ke dalam. 'Krieet' pintu rumah tertutup rapat. Kudorong kuat-kuat, tapi seperti dikunci dari dalam.

"Rukmini, bukakan pintu. Jangan dikunci," panggilku.

"Iya, Mas!" serunya. Dia mendekat ke arah pintu dan tiba-tiba jari-jari hitam dengan kuku panjang hitam mencengkeram leherku dari belakang dan menyeret tubuhku hingga ke semak-semak. Nafasku tersengal sesak.

"Tol-looong!" teriakku sebisaku. Hingga tampak beberapa warga yang tak sengaja lewat mengarahkan senternya ke arahku. Seketika tangan itu hilang lenyap.

"Pak!" panggil salah seorang warga. Aku terkulai lemas.

"Ayo kita bawa dia ke rumahnya," ajak beberapa warga sambil membopong tubuhku. Aku tak mampu membuka mata maupun bicara, tapi masih bisa mendengar.

"Mungkin ini ulah istrinya!" tuduh seorang warga.

"Memangnya mereka bertengkar?" tanya yang lain.

"Bukan. Istrinya kan setan,"

"Hus! Jangan bilang begitu."

"Iya, kata orang-orang yang pernah lihat pas di pos ronda itu, istrinya itu setan sundel bolong!"

"Astaghfirullohal adzim. Jangan begitu bapak-bapak. Ayo kita sudah hampir sampai, tuh istrinya nyariin" timpal seorang warga.

"Buk ini pak Paiman. Pingsan di kebun saya."

"Terima kasih bapak-bapak. Mari antarkan ke kamar," jawab Rukmini.

Aku diletakkan di atas kasur. Mereka langsung pulang. Awas saja besok. Kurang ajar sekali mengatai istriku setan.

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang