#Bab6_Teror2

425 13 1
                                    

Hari ini, Bambang libur sekolah. Aku mengajaknya pergi memancing.
Dengan berbekal alat pancing dan umpan cacing, kami berangkat usai sarapan.
Parni juga membawakan bekal minum untuk kami.

"Hati-hati, ya, Pak. Pesenku jangan mancing di sungai deket kuburan Kampung Kembang Kantil. Kata orang-orang di sana banyak hantunya," pesan ibu dua anak ini saat kami hendak keluar dari pintu rumah.

"Tapi, kata temen-temenku, di- sana, tuh, banyak ikanya, Mak," sahut Bambang.

"Jangan takut, kita tidak boleh takut sama setan. Betul kan, Le?"

Bambang manggut-manggut. Parni mendengkus kesal melihat anaknya malah setuju.

Aku memang akan ke sungai pinggir kuburan. Tak perlu hawatir, ada Sundari di manapun aku pergi. Seolah telah menyekutukan Tuhan penguasa alam. Semua urusan kuserahkan pada setan.

Kami menyusuri jalan kecil di belakang rumah. Setelah melewati area sawah, barulah sampai di Kampung Kembang Kantil.

"Pak, lewat jalan lain, sih." Bambang menarik bajuku bagian belakang.

"Ini jalan satu-satunya. Le...."

Kugandeng tanganya yang begitu dingin. Bambang nampak takut.
Perlahan kami memasuki jalan kecil yang begitu gelap karena tingginya pohon-pohon bambu.

Sret! Sekelebat bayangan hitam melintas di depanku. Ah, semoga itu hanya hayalanku saja.

"Pak... kok, di pinggir sungai gelap begini? Kan, masih jam sembilan. Pulang saja, ya?" Bambang mulai gelisah. Aku juga merasa ada yang aneh. Bahkan hembusan angin tak lagi terasa, hanya ada hawa lembab dan panas padahal gelap.

Kami terus berjalan sampai ahirnya menemukan tempat yang nyaman untuk memancing.

"Pak, lihat. Kita ada temen mancing juga," ujar putraku sambil menunjuk ke arah lain yang berjarak dua puluhan meter.

Aku memperhatikan orang yang diam saja dengan fokus memancing. Pakaianya serba hitam. Aneh sekali.

Kail pancing sudah dilempar ke sungai. Bambang nampak tak nyaman, tetapi berusaha tenang.

Benar kata Bambang, baru sebentar kami mancing, tapi ikan yang didapat cukup banyak dan besar-besar.

"Sudah banyak, Le. Ayok pulang," ajakku.

"Iya, Pak. Lho, orang yang di sana kok sudah nggak ada?" tanya Bambang heran.

"Mungkin sudah pulang. Kan banyak ikan." Kumasukkan ikan dalam kantong plastik lalu mengikatnya.

Kembali kami menyusuri jalan gelap di bawah rimbunya pohon bambu. Suasana mencekam terus membuat nyali menciut.

Ahirnya sampai di jalan perbatasan Kampung. Anehnya saat hendak melangkah meninggalkan Kampung Kembang Kantil, kaki terasa berat untuk melangkah. Saat kepalaku menoleh ke belakang, aku dikagetkan dengan penampakan wanita berbaju merah yang wajahnya begitu seram. Wanita itu berada jauh dariku, tapi semakin mendekat seolah ingin mencekikku membunuhku.

"Ada setan. Pasti itu nyi Kembang Kantil. Sundari tolong aku," gumamku.

"Bapak kenapa?" Bambang berbalik arah.

"Aduh, Le ... kaki bapak nggak bisa digerakin. Seperti ada yang narik kuat banget," keluhku dengan berusaha keras melangkahkan kaki.

Benar. Terlihat tangan pucat muncul dari tanah dengan kuku hitam panjang menarik kakiku.
"Aaa!!" jeritku takut

Bambang mulai panik, tapi dia tidak melihat apa-apa. Keringat dingin mengucur deras membanjiri tubuhku. Tangan itu tak juga melepaskan kakiku.

"Sini, Pak. Tak bantuin," tawarnya.
Sekuat tenaga Bambang menarik kakiku, tapi hasilnya sia-sia.
Bambang sejenak berpikir setelah menengok ke kanan kiri jalan yang hanya dipenuhi rumput ilalang, pohon kantil dan beberapa makam tua. Selesai berpikir dia pun memegang kakiku seraya berucap, " Siapapun kamu, jangan halangi langkah kami."

Aku mencoba melangkah lagi.
"Masih susah, Le," keluhku. Hampir saja aku pingsan karena tak tahan melihat tiba-tiba muncul kepala dari bawah tanah. Senyumnya menyeringai. Matanya melotot. Wajahnya hancur dipenuhi darah.

"Se-settaaan!!" pekikku.
Bambang tetap tidak dapat melihatnya.
"Mari baca do'a, Pak. Minta pertolongan Allah," titah Bambang, menyadarkan ku bahwa tidak ada kekuatan apapun yang mampu melawan Tuhan.
Bambang membaca ayat Kursy sembari mengelus kakiku.

Tak disangka, tangan itu langsung masuk ke dalam tanah lagi. kaki ini benar-benar terasa ringan seketika itu.

"Alhamdulillah ...." ucap kami kompak.

Tanpa aba-aba, kami lari sekencang-kencangnya supaya menjauh dari Kampung itu.

Kejadian aneh ini membuatku trauma, besok aku tidak akan ke sana lagi.

***

"Pak!!" Parni tiba-tiba saja teriak histeris. Aku terbangun lalu menatap wajahnya. Wajahnya dipenuhi luka cakar.

"Apa kamu garuk-garuk muka sewaktu tidur?" tanyaku heran.

"Lihat, mana mungkin aku menggaruknya, kuku saja pendek semua," ucapnya menunjukkan kukunya yang pendek.

"Nanti habis mandi kita obatin, ya?" tawarku sambil mengamati wajah manisnya yang kini berubah mengerikan.

"Pasti pedih, Pak, kalau kena air," keluhnya dengan meringis kesakitan.

Bagaimana mungkin, apa ini kelakuan Sundari? Ah, tapi Sundari sudah berjanji tidak akan menyakiti keluargaku.

Aku ingat betul, semalam sebelum aku menghabiskan malam dengan Parni, wajahnya baik-baik saja.

Parni tengah mandi, sesekali dia merintih keaakitan. Kasihan sekali.

"Hey, Sundari. Apa yang telah kau lakukan pada istriku?" Ucapku dengan menghadap cermin pada meja rias.

Sundari muncul, raut wajahnya buruk sekali. Rambutnya berantakan dan mukanya nampak pucat.

"Aku tidak suka!" Gertaknya dengan menunjukkan gigi taring yang menyeringai.
'Oh Tuhan, kenapa aku bodoh telah menikahi jin'

Parni muncul dan tiba-tiba saja Sundari lenyap. Wajah Parni masih penuh luka cakar. Anehnya, jika dilap tidak nampak adanya darah.

Kami bergantian mandi.

Usai shalat Subuh berjama'ah dengan istri dan anak-anakku. Aku berniat menceritakan tentang Sundari pada Parni. Anak-anak kusuruh belajar di kamarnya.

"Parni, ada yang ingin kuceritakan padamu."

Parni menoleh, matanya menatapku serius. Aku merasa gugup, jantungku terasa berdetak tak beraturan. Yang kukhawatirkan adalah kemarahan Parni.

"Cerita apa, Pak?" tanyanya.

Semilir angin dari balik jendela yang terbuka tiba-tiba masuk begitu kencang. Ada bisikan aneh yang kudengar, "jangan cerita pada siapapun, atau kau akan menyesal."

"Eng... enggak ada, Parni. Kemarin mancing dapat banyak ikan, sudah dimasak belum?" Kali ini aku gagal bercerita. Keraguan kian menghantui, mengingat Parni sangat pencemburu.

"Oh... masih dalem kulkas, Pak. Kemarin masih banyak lauk. Ya, sudah, tak masak dulu." Parni beranjak dari duduknya, menggantungkan mukenah lalu pergi ke dapur.

"Aaaa!!" Parni menjerit.

Aku menyusulnya ke belakang dapur.
"Ada apa, Parni?" tanyaku. Parni tampak ketakutan setelah melihat hasil memancingku.

Perlahan kubuka plastik hitam. Bau anyir dan busuk menyeruak menusuk hidung.

"Astaghfirullah!" Segera kulempar plastik ke sembarang arah.
Aku yakin, kemarin aku mendapat ikan besar-besar. Mengapa isinya belatung semua.

'Huek' Parni sampai muntah-muntah. Aku menuntunya masuk rumah.

Keanehan demi keanehan membuatku geram. Esok aku harus mencari Ki Ageng untuk meminta tolong agar teror ini segera dihentikan. Namun, untuk menuju ke rumah Ki Ageng, lagi-lagi harus melewati jalan Kampung Kembang Kantil. Pikiranku menjadi bimbang.

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang