#Bab8_Perjalanan2

373 12 0
                                    

Hari semakin larut malam. Rasa resah, gelisah dan hawatir diteror dedemit menjadi momok menakutkan. Aku takut keluar dari rumah. Berada di dalam membuatku merasa lebih aman.

"Parni, kita menginap dulu di sini. Anak-anak pasti capek," lirihku.

"Iya, Pak. Aku setuju. Anak-anak juga sudah tidur, tapi perutku lapar," ucapnya sedih.

"Aku juga lapar. Anak-anak pasti lapar juga. Di mana kita bisa mendapat makanan?" kataku bingung.

Mana mungkin ada penjual makanan di tempat terpencil begini. Untuk keluar saja aku tak berani.

"Oh, ya ... tadi aku lihat ada pohon pisang yang berbuah sudah masak, Pak. Ambilkan, ya?" selorohnya.

"Nggak, lah. Aku takut," tolakku spontan.

"Kita ambil bareng-bareng yuk! Bapak yang ambil, tuh ada golok nyelip di geribik dapur," tawar Parni

"Lha kamu ngapain?" sahutku.

"Aku yang nyenterin. Ayok, ah." Parni berkacak pinggang mulai tak sabar.

Aku juga lapar, tapi takut.

Terpaksa aku memberanikan diri. Bayangan mengerikan itu benar-benar membuatku takut. Sebelum keluar rumah, Parni kusuruh berjalan di depan.

"Ayo, to, Pak. Nggak ada apa-apa!" serunya dari luar.

Aku mengintip dari celah rajutan geribik bambu. Sepertinya aman.

Berbekal golok aku melangkah keluar. Tak berani lagi aku mendongak ke atas. Aku berlari mengejar istriku yang pemberani.

Setandan pisang gadis sudah kami dapatkan. Bahagia sekali, pisangnya sudah masak.

Saat hendak kembali ke rumah tiba-tiba aku kembali mencium bau anyir bercampur bunga kantil dan melati. Sungguh perpaduan memuakkan.
Buru-buru aku berlari dengan memanggul setandan pisang.

Aku lupa, Parni masih di luar. Tak lama terdengar jeritan histeris istriku.

"Aaaa!! Tolooong se-settaaan!!"

Buru-buru aku kembali keluar rumah. Kudapati istriku telah pingsan. Wajahnya penuh darah, menjijikkan. Ada bekas cakaran. ''Pasti ini ulah Sundari!'' gumamku dalam hati.

Kubopong tubuhnya ke rumah. Untung saja istriku tidak terlalu gemuk.

"Biarkan saja, Mas ... biarkan saja dia. Dia wanita jelek yang selalu menghalangi kita." Tiba-tiba ada bisikan dari arah belakangku. Kupercepat langkah, tak kuabaikan suara itu.

Anak-anak terbangun setelah mendengar pintu belakang kututup kuat-kuat.

"Bapak ...." panggil Sri dengan menguap.

Kudekati Sri setelah memindahkan setandan pisang ke atas meja kamarnya.

"Ada apa? Kamu lapar? Ini, ada pisang." Kusodorkan satu buah pisang di depanya.

Sri menggeleng dan menjawab, "kebelet pipis, Pak...."

Gawat, mana berani aku keluar ke sumur. Bambang yang masih terlelap tidur terpaksa kubangunkan.

"Mbang, Bambang. Anterin adekmu ke sumur. Dia kebelet pipis. Nanti sekalian wudhu trus solat Isya. Emak, bapak sudah solat. Nanti sekalian bawain air segayung buat Emak. Emakmu pingsan."

Untung sekali Bambang mau bangun. Lega sekali rasanya. Aku percaya, mahluk itu tidak akan berani mengganggu anakku. Bambang anak yang pemberani dan pandai mengaji.

Bambang kembali dengan air dalam gayung di tanganya. Aku segera membersihkan darah yang hampir mengering di wajah istriku. Luka ini esok pagi biasanya akan menghilang dengan sendirinya.
****
Pagi telah menyapa, sang surya melenyapkan segala kehawatiran dalam gelapnya malam.

Perjalanan dilanjutkan. Sisa pisang semalam dijadikan sarapan pagi.

Beberapa kilo meter dari gubuk, terdapat pemukiman warga. Kami sempat berhenti di kedai warung makan untuk mengisi perut.

Ahirnya kami sampai di rumah almarhum ke dua orang tuaku tepat pukul 14:30.

Krieet ..., pintu kubuka. Rumah yang lama kosong terlihat begitu kotor sekali. Daun-daun dari pohon mangga sampai berserakan hingga ke teras rumah. Kami bahu membahu membersihkan rumah. Aku mempunyai adik perempuan namanya Paijah, tapi dia juga sudah meninggal kala wabah DBD itu menyerang. Meski Kampung ini nampak banyak pemukimanya, tapi tidak semua rumahnya berpenghuni.

Parni dan Sri meyapu rumah. Aku dan Bambang membersihkan debu yang menempel di mana-mana. Terahir tinggal di pel.

"Pak, belikan sabun buat mandi sama sabun cuci buat ngepel lantai biar nggak bau," titah Parni dengan menyodorkan uang dua ribu rupiah.

Aku mengehentikan aktifitasku. Berpikir sejenak. Uang kami makin menipis, sedangkan panen padi masih lama.

"Tokonya jauh, di Kampung sebelah, coba pakai jeruk nipis di pekarangan samping rumah, buahnya lebat. Campurkan jeruk nipis dalam air buat ngepel, pasti lebih keset dan segar." Aku memberi ide bagus.

"Mbang, petikkan Emakmu jeruk nipis di pekarangan samping rumah," perintahku pada Si sulung yang dibalas dengan anggukan.

Rumah sudah bersih. Lelah sekali dan haus bercampur lapar menjadi satu. Anak-anak langsung tidur istirahat. Parni nampak sibuk memasak di dapur.
Aku menghampirinya lantas bertanya, "Masak apa, sayangku?"

Parni membalas dengan senyuman. Dibukanya priuk kecil. Asap mengepul dari dalam.

"Masak singkong rebus, Pak," jawabnya.

"Oh. Bapak pergi dulu, ya? Mau beli kebutuhan yang diperlukan. Mau titip apa saja?" kataku.

"Lho, katanya mau ziarah makam? Habis makan kita ziarah bersama-sama," sahutnya sambil meniriskan singkong rebus ke atas piring.

"Besok saja. Lagi pula, kita belum mencari bunga tabur. Nanti bapak sekalian beli," tolakku.

"Ya, wis. Aku nitip garam, trasi, sabun mandi, sabun cuci sama minyak lampu buat obor nanti malam. Listriknya mati. Pasti karena lama tak dibayar." Parni mengamati bohlam 5watt yang telah rusak.

"Lilin saja, ya? Uangnya nggak cukup. Oh, ya, ada lilin dua buah di laci kamar hehe," bujukku sembari meperlihatkan isi kantong. Hanya sisa sepuluh ribu.
****
Diam-diam aku membohongi Parni. Aku mengayuh sepeda kuat-kuat menuju kediaman Ki Ageng. Rumahnya lumayan dekat, di ujung perbatasan Kampungku dan sudah memasuki Kampung tetangga.

Tok ... tok ... tok
"Assalamu'alaikum, Ki?" sapaku.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Muncul Ki Ageng yang nampak sudah begitu tua. Rambutnya dipenuhi uban, jalanya sudah membungkuk dan harus dibantu tongkat kayu.

"Sampian sopo?" tanyanya dengan mengamati wajahku. Rupanya beliau sudah pikun.

"Kulo Paiman, Ki. Ajeng maturaken riyen jenengan nate nyukani amalan. Pripun kersane saget ucul. Kulo sampun mboten kiyat," keluhku.

Beliau manggut-manggut, lalu berucap, "Kowe ora iso ucul songko khodam kui selawase kejobo lak mok wariske marang turunmu."

Aku terperanjat. Bagaimana mungkin, aku akan mewariskan Sundari kepada Bambang. Itu tidak mungkin.

Setelah berpamitan, aku pun pulang. Tak lupa membeli pesanan Parni. Hari semakin gelap dan aku lupa belum melaksanakan shalat Ashar.

''Ah. Sial! Kenapa terasa berat sekali sepedaku?" Pikirku.

Semakin kuat aku menggoes, malah terasa semakin berat. Sepertinya aku membonceng seseorang setelah melewati pohon bambu tadi. Ingin berhenti, tapi tak berani.
Aku menoleh dengan hati-hati.
Benar dugaanku, aku membonceng dedemit. Ada kuntilanak yang tertawa melihatku ketakutan. Dia langsung terbang melesat jauh ke rumah kosong. "Dasar setan gak punya ikhlik. Gak ada terima kasih langsung pergi!"

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang