#Bab4_Penari_Hantu

484 14 1
                                    

Meski aku banyak uang. Namun, hati dan jiwa ini terasa kosong. Entahlah apa yang salah. Yang terpenting, anak dan istriku merasakan hasil jerih payahku. Hanya saja mereka tidak tahu, bahwa aku bisa seperti ini, berkat amalan dari Ki Ageng.

Rumah kami sudah direnovasi menjadi lebih besar. Tak ada lagi istilah tunggakan SPP. Aku juga sudah bisa membeli dua sepeda, untuk sekolah Bambang dan sepeda untuk Parni ke pasar.

Aku tetap melakukan kebiasaan burukku, main judi. Main judi seolah menjadi tradisi kebiasaan buruk yang menjangkit warga kampungku.

"Man, ayo ikut kami!" ajak Tarjo dan kawan lain usai kami bermain kartu remi sampai pukul dua malam.

"Kemana? Aku mau pulang, nanti Parni nungguin." Aku menolak, tak enak hati meninggalkan Parni tidur sendirian.

"Alah, man, kali ini saja. Ada tari jaipong di Kampung Kembang Kantil," bujuk Tarjo.

"Di sana ada banyak perempuan cantik, man. Buat apa kamu punya banyak duit, kalau nggak buat seneng-seneng?" Gelak tawa teman-temanku menggelegar mengejekku.

"Yo wes, lah. Karepmu!" (Ya sudah, lah. Terserah kamu)

Kami berjalan menembus gelap malam. Kampung Kembang Kantil terkenal seram, tapi sering mengadakan pesta tari jaipong di tengah malam. Konon gadis penarinya cantik-cantik.

Mataku menatap ke arah kanan dan kiri jalan. Hanya kuburan dengan di tumbuhi pohon-pohon bunga kantil.

Untuk menghilangkan rasa takut, aku menatap lurus ke depan. Tiba-tiba mataku menangkap sosok wanita berbaju merah di pinggir jalan.

"Jo-Jo, ada perempuan cantik tuh di pinggir jalan, ayo kita deketin, mungkin dia juga mau lihat jaipongan," lirihku pada Tarjo.

"Wah... ini bagianku, man." Tarjo mempercepat langkah. Teman yang lain malah terlihat bingung, seolah mereka tidak melihat apa-apa.

"Eh, nggak bisa, Jo. Kamu bawahanku, mau tak pecat kamu?" ancamku. Aku berlari menyusulnya. Tarjo kalah cepat.

Semakin perempuan itu kudekati, aroma wangi bunga kantil menyeruak menusuk hidung. Aku mulai ragu, tapi aku penasaran ingin melihat wajahnya dari dekat. Rambutnya disanggul dengan hiasan bunga kantil berjajar rapi. Wajahnya terus menatap ke arah pemakaman.

Tanpa pikir panjang, aku menyapanya.
"Neng, nungguin siapa?"

"Nungguin kamu, Mas," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.

Aku seperti kenal suara itu, tapi aku lupa.

"Nungguin saya?" tanyaku heran.

Seketika perempuan itu menoleh ke arahku. Matanya merah menyala dan mukanya penuh darah dengan beberapa belatung.
"Aaaaa! Se-se-setaaaan!!" Aku lari terbirit-birit. Tarjo dan kawan yang lain juga lari mengikutiku.

"Tungguin, Man." Tarjo berteriak mengejarku. Nafasku sampai tak beraturan. Jantungku masih berpacu cepat. Aku kelelahan berlari sampai tiba-tiba sampai pada kerumunan banyak orang. Rupanya kami sudah sampai.

Masih diliputi rasa takut yang sulit diartikan. Aku didekati seorang wanita berbaju merah. Seketika kututup wajahku dengan kedua tanganku. Keringat dingin bercucuran.

"Man, kamu diajak naik panggung sama penari yang paling cantik," bisik Tarjo seketika menyadarkanku.
Aku mendongak. Benar, ada penari jaipong cantik di depanku. Dia tersenyum lalu mengalungkan selendang merah ke leherku. Aku naik ke atas panggung bersamanya.

Irama musik jaipong seperti menghipnotisku. Seumur hidup, aku tak bisa menari, tapi tiba-tiba tanganku bergerak begitu lihai.

Tarjo dan teman yang lain ikut naik ke atas panggung. Menari dan menggoda para penari cantik jelita.

Lama-lama terasa ada yang aneh. Kulihat wajah beberapa tukang gendang dan penonton nampak pucat seperti Zombie. Mungkin hanya perasaanku saja. Kukucek ke dua mataku. Anehnya kini para penari yang semula nampak cantik, sekarang berubah sangat mengerikan. Sama seperti wanita kebaya merah yang ku temui di jalan.

Badanku serasa dingin dan susah digerakkan. Aku menarik tangan Tarjo kuat-kuat. Aku berlari menjauh diikuti Tarjo.

"Stop! Ngopo, to, Man?" Tarjo menepuk pundakku.

"Mereka semua adalah setan. Teman-teman kita juga wajahnya pucat. Mereka adalah setan," bisikku. Tarjo mengucek matanya lalu menatap mereka dari jauh.

"Se-se-setan...."

Aku menarik lenganya berlari menjauh.

"Jo, aku nginep di rumahmu, yo?"
pintaku memelas.

"Iyo, man. Aku juga takut. Mana aku tinggal cuma sama emakku."

Malam ini aku menginap di rumah Tarjo. Dia seorang bujang lapuk yang tinggal dengan ibunya.

Malam ini terasa begitu mencekam. Bayang seram wajah setan membuatku susah tidur.
***
Aku tenggelam dalam gemerlap dunia fatamorgana. Kini aku mulai jauh dari Sang Penguasa alam.

"Pak. Kata Bambang, kamu suka main judi. Apa benar?" Parni murka, wajahnya menakutkan, lebih menakutkan dari setan-setan Kampung Kembang Kantil.

Aku berpindah duduk di sampingnya.
"Jangan percaya sama Bambang, dia 'kan masih anak-anak," elakku bohong.

"Bambang denger dari Si Nono, anaknya Pak Supriadi! Nggak mungkin anak-anak berbohong." Parni makin meradang.
Nyaliku menciut. Aku memegang tanganya.

"Parni... maafkan aku. Aku janji nggak akan mengecewakanmu lagi, Parni...."
Parni memalingkan muka.

"Tolong jangan marah, parni. Aku dibujuk Tarjo dan kawan-kawan."

Parni melihat wajahku dengan raut kekecewaan.

"Kalau kawanmu membuatmu jadi keliru, maka mulai sekarang jauhi mereka," perintahnya.

"Iya...aku janji, parni."

Kami larut dalam tangis haru. Aku memeluk erat Parni.

Sekelebat kain selendang merah melintas di depanku.

Deg! Jangan-jangan itu selendang milik penari hantu itu. Aku melepas pelukan lalu beranjak keluar mencari terbangnya selendang merah itu.

Selendang berhenti pada sebuah pohon pisang di kebun pekarangan. Aku hendak mengambilnya. Aku akan membakarnya supaya hantu itu berhenti menerorku.

Tiba-tiba muncul seorang wanita cantik dengan rambut hitam terurai panjang.

"Sundari?"

Sundari tersenyum, tanganya melambai agar aku mendekat.
Aku mendekat, kupeluk tubuhnya.
'Aww' pekikku. Keningku kejedut pohon pisang. Sundari hilang.

"Sundari, kamu ke mana? Kenapa sudah lama tidak menemuiku?"

"Aku selalu mengikutimu, Mas." Sebuah bisikan mengerikan terdengar di telingaku.

"Jangan dekati mereka yang ingin merebutmu dariku, atau akan kubunuh saja dirimu!" bisikan mengancam membuatku semakin takut.

Aku terperanjat. Menoleh ke mana arah sumber suara. Tapi Sundari tidak dapat kutemukan.
Beberapa pertanyaan muncul dalam benakku.

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang