#Bab10_Kembali

332 12 1
                                    


Aku berlari tunggang langgang menuju Masjid. Anak dan istriku bahagia menyambut kedatanganku. Melihat tanganku kosong Parni langsung bertanya, "Nasi berkatnya mana, Pak?"

Aku masih gugup tak karuan.

"Sudah, jangan banyak tanya. Ayo kita cepat pergi dari sini!"

"Besok saja, Pak. Masih gelap." Bambang menyahut.

"Dengarkan bapak. Ini bukan alam manusia. Ini adalah alam ghaib. Tadi nasi berkatnya bapak buang karena isinya bukan nasi, tapi kotoran sapi," jelasku lirih.

Parni dan anak-anak nampak kaget. Secepatnya kami bergegas menaiki sepeda dan menjauh dari tempat ini.

"Pak. Kita mau ke mana?" tanya Sri bingung.

"Kita mau pulang, Nduk. Ayo kita baca do'a. Semoga Allah memberikan kita kemudahan dalam perjalanan," sahut Parni.

"Bismillahirrahmanirrahim."
Sepeda terus kami kayuh menembus gelapnya malam dan udara yang semakin dingin.

Aku lelah dan berhenti sejenak. Menatap ke sekeliling hanyalah hamparan tanah kosong ditumbuhi ilalang. Lalu ke mana kita harus pergi?
Parni ikut menepi.

"Pak. Bagaimana ini?" tanya Parni.

"Aku juga bingung. Harus bagaimana." Tiba-tiba aku teringat bahwa aku punya istri di alam ini. Mengapa aku tidak minta bantuan Sundari saja.

"Kalian tunggu di sini. Bapak mau cari jalan keluar dari alam ini. Jangan ke mana-mana," pesanku.

Aku menjauh dari mereka. Bambang tak kubolehkan ikut.

"Sundari ... datanglah. Aku membutuhkanmu," panggilku ke sembarang arah.

Tiba-tiba dia datang. Wajahnya masih saja tetap ayu. Saat marah, wajah itu berubah menyeramkan seperti setan yang ingin memangsa manusia.

Sundari tersenyum lalu menjawab, "Ada apa, Mas?"

"Aku tersesat bersama anak dan istriku. Ayo bantu kami agar dapat pulang," pintaku.

"Aku memang sengaja membawamu ke sini, Mas. Ini kampung halamanku. Namun, aku memilih tinggal di istanaku agar dekat denganmu," jawabnya lalu ia mendekat dan memelukku. Menurutku yang dimaksud istana baginya hanyalah kuburan berbau mayat.

"Sudahlah. Ayo bawa kami pulang. Aku tidak bisa hidup di alam ini, aku manusia." Pelukanya kulepas.

"Aku akan membantu memulangkan anak istrimu asal dengan satu syarat."

"Apa?"

"Tinggalah di sini selama seminggu. Aku rindu padamu, Mas. Lihatlah ... aku hamil anakmu." Sundari membuka baju bagian perutnya. Perutnya nampak sedikit membuncit.

"Mana mungkin aku menghamilimu? Aku manusia!" elakku.

"Baiklah. Kalau kamu tidak mau mengakui ini anakmu. Akan kubunuh anak dan istrimu sekarang juga!" ancamnya.

"Ja-jangan. Baiklah akan kuturuti maumu. Ayo kembalikan mereka," pintaku.

"Suruh mereka berjalan lurus tanpa menoleh kebelakang. Nanti mereka akan tiba di belakang rumahnya dengan selamat."

"Baiklah." Aku segera pergi menemui anak istriku.

"Bagaimana, Pak?" tanya Bambang.

"Kita terus saja lurus ke depan dan jangan menoleh ke belakang."

Semua mengangguk paham. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Sampai ahirnya kami menemukan cahaya terang. Anak dan istriku pulang dengan selamat, tapi aku terseret kembali dalam alam gelap.

Selama seminggu pula aku harus tinggal bersama Sundari.

Konon, jin berumur panjang dan tak bisa mati. Orang tuanya saja masih hidup meski usianya sudah ribuan tahun. Sundari sendiri juga sudah berusia ratusan tahun. Ah. Bodohnya aku. Menjalin cinta dengan nenek-nenek.

"Mas. Tinggalah di sini lebih lama. Aku tak bisa jauh darimu," bujuknya dengan menggelayut manja di dadaku.

"Maaf Sundari. Aku harus pulang."

"Ini, Mas. Makanlah dulu. Sejak di sini tak pernah kau mau makan. Kenapa?" Dia menyodorkan pisang goreng yang aromanya lezat. Aku yakin, ini pasti kotoran manusia. Membayangkan saja aku mual.

Kata guruku, jika kita masuk ke alam jin, jangan sampai kita makan atau minum jika masih ingin bisa kembali ke alam manusia.

"Aku tahu. Itu bukan pisang. Ayolah antar aku pulang. Apa kamu tega membiarkan aku mati kelaparan? Aku manusia dan bisa mati."

"Kalau begitu makanlah, ini lezat," bujuknya lagi.

"Aku makan nasi, bukan kotoran. Pulangkan aku jika kamu mencintaiku," kataku penuh penekanan.

Sundari bangkit berdiri dengan wajah masam. Wajahnya menjadi seram menakutkan. Kuku panjang berwarna hitam mencengkeram leherku.

"Kamu ingin mati? Hah?"

"Ti-tidak. Baiklah akan kumakan," jawabku.

Wujudnya kembali ayu.

"Tak usah. Pulanglah, Mas. Sana lewat pintu belakang rumah. Nanti kamu akan sampai di depan rumahmu," ucapnya.

Kakiku melangkah melewati pintu kayu. Jantungku masih berpacu kencang. Sewaktu-waktu Sundari bisa membunuhku.

Lega rasanya kembali ke alam manusia.
Anak dan istriku menangis meraung-raung melihat kedatanganku.

"Lama sekali Bapak tak pulang." Anak-anak memelukku erat. Aku terharu merasakan kerinduan kami yang telah terobati.
Kata mereka, sudah sebulan lebih aku tak kunjung pulang.

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang