#Bab5_Teror

450 12 1
                                    

Aku mulai menjauhi Tarjo. Tarjo seperti mencari-cari cara untuk membujukku dalam kesesatan.
Selama aku masih kerja di sana, Tarjo selalu mendekatiku.

Aku berhenti bekerja karena permintaan Parni. Untungnya uang yang terkumpul sempat di belikan beberapa petak sawah, letaknya kebetulan bersisihan dengan sawah mertuaku.

Hari ini aku ke sawah bersama Parni dan Sri, anak bungsuku. Sri sudah lancar berbicara. Usianya sudah empat tahun.

Mertuaku, Pak Kliwon dan Mak Jum sudah sampai lebih pagi. Beliau tengah menunggui padinya dari hama burung pipit.

Kami bertiga duduk di atas gubuk panggung setinggi satu meter. Sri begitu senang diajak ke sawah. Hari ini, kami akan membersihkan rumput liar yang tumbuh di sawah kami. Sekaligus mengumpulkan keong sawah untuk di bawa pulang ke rumah.

"Mak, Pak, monggo sarapan rumiyen," ajak Parni seraya mengangkat rantangnya. (Mak, Pak, mari sarapan dulu)

Pak Kliwon yang berada di ujung sawah langsung berjalan di antara tanaman padi, menghampiri Mak Jum yang berada di tengah-tengah sawah.

"Ayo, Mak. Diajak sarapan sama Parni," ajak Pak Kliwon pada istri tercinta.

Perlahan mereka berjalan melewati lumpur. Tak lupa mereka segera membasuh tangan dan kaki di irigasi pinggir sawah.

Aku sempat tertegun melihatnya. Mereka begitu bahagia dengan rasa syukur di masa tua. Bahkan kulihat Pak Kliwon mencucikan tangan istrinya begitu mesra.

Aku melihat diriku sendiri. Dulu, aku dan Parni juga begitu. Semenjak menjadi mandor, aku seolah hidup dengan duniaku sendiri.

Kami sarapan bersama diiringi gelak tawa mendengar celoteh ria Sri.
"Man, kamu nggak nyesel mengundurkan diri dari sana? Kerjamu kan enak, man." Bapak mertuaku bertanya di sela makanya.

"Parni nggak suka. Kerja di sana temenya suka ngajak yang nggak bener," celetuk Parni.

Aku masih diam menikmati lezatnya sayur pepaya muda.

"Nggak bener gimana?" Pak Kliwon menatap intens ke arahku.
Segera kutelan nasi dalam mulut.

"Tarjo sama kawan-kawan suka ngajak main judi, Pak," jelas Parni lagi. Hampir saja aku tersedak makanan.

"Yo jangan mau, man-man...." sahut Mak Jum sambil menyuapi Sri makan dengan lauk tempe goreng.

"Ya mereka itu selalu menertawakan aku, terpaksalah aku mau," jawabku beralasan.

"Yang penting kamu jangan deket-deket Tarjo. Dia itu anaknya Rukminah. Suaminya mati gara-gara Rukminah." Bapak mulai bercerita, membuatku penasaran.

"Maksudnya, Pak?" tanya Parni. Aku masih fokus memerhatikan saja.

"Rukminah mempelajari ilmu awet ayu, tapi digagalkan suaminya. Ritual mandi kembangnya di gagalkan suaminya. Jadi, Rukminah membunuh suaminya," lanjut Pak Kliwon.

"Awet ayu biar apa?" sahutku masih tak berkedip.

"Dulu dia adalah penari jaipong. Karena semakin banyak persaingan. Dia kalah saing dengan gadis-gadis kampung. Dulu mereka masih tinggal di Kampung Kembang Kantil. Jasad suaminya di kubur di belakang rumahnya. Karena merasa bersalah dia pun bunuh diri dengan cara yang tragis."

Tiba-tiba aku teringat ucapan Tarjo. Dia tinggal dengan emaknya saja. Lalu berarti wanita tua itu siapa?

"Tapi, kata Tarjo, dia tinggal dengan emaknya saja," lirihku.

Mata mereka terbelalak tak percaya.

"Ha ha ha ... kamu ada-ada saja, emaknya kan sudah nggak ada sejak dia masih kelas enam SD. Setiap hari budenya, Hartatik mengantar makanan buat Tarjo." Emak Jum menimpali.

Aku menelisik wajah Mak Jum. Sepertinya dia tidak bohong. Aku jadi bingung sendiri. Seketika bulu romaku terasa berdiri, membayangkanya aku merinding.

Aktifitas kami lanjutkan. Pikiranku masih tak tentu. Kenapa aku sekarang malah berdekatan dengan hal-hal ghaib.
****
Aku melamun di atas dipan kamarku. Menerawang kejadian aneh waktu itu. Aku ingat sekali. Saat mengantarkan Tarjo ke rumahnya, ada seorang wanita tua yang tengah duduk di kursi malas. Posisinya memunggungiku sehingga aku tak dapat melihat wajahnya. Dia juga tidak berkata sepatah katapun.

"Pak, dipanggil emak," ucap Bambang yang sudah ada di sampingku.

"Di mana?"

"Di dapur," jawab Bambang kemudian dia berlalu melanjutkan belajar.

"Ada apa, Parni?" Kudekati Parni yang berdiri mematung menghadap pintu kamar mandi.

"Hati-hati, Mas. Dewi Kantil datang lagi," jawabnya tanpa menoleh. Aneh, suara itu adalah suara Sundari.
Ku tepuk pundaknya. Aku terlonjak kaget hingga terpental ke tembok.
"Se-setaaan!!" Kenapa tubuhku susah digerakkan.
Bukan Parni atau Sundari, melainkan hantu Dewi Kantil yang kutemui. Wajahnya menyeramkan di penuhi darah dan belatung. Tawanya melengking seram sekali.

"Hi-hi-hi-hi... jangan takut, Mas."

Lidahku terasa kelu. Aku ingin memanggil Parni, tapi suaraku tercekat seolah telah membeku.

"Mas ... bukalah matamu, jangan terpejam begitu," ucap Sundari lembut.

Aku membuka mata. Benar, Sundari. Apa tadi aku salah lihat?

"Tadi siapa, Sundari?" tanyaku lirih.

"Tadi adalah Dewi Kantil yang ingin membunuhmu. Dia adalah musuhku. Aku sudah mengusirnya. Ayo ikut ke istanaku," ajak Sundari lembut.

Aku mendekat. Antara berani dan tidak. Takutnya Sundari yang ini adalah Dewi Kantil.

"Pejamkan matamu," perintahnya.

Mataku terpejam. Setelah terbuka, seketika aku sudah berada di istana zaman kuno. Kami sudah berada di atas tempat tidur berhiaskan kelopak bunga mawar merah.

Sundari begitu cantik. Digerainya rambut hitam panjang yang tergelung tusuk konde emas.

Madu cinta kembali kuteguk bersama Sundari. Benar-benar malam yang indah.
**
Beberapa ekor lalat hinggap di wajahku. Aku terbangun lalu mengucek ke dua mataku. Sungguh kaget bukan kepalang. Tubuhku dipenuhi tanah liat kotor. Mataku menatap ke sekeliling. Deretan batu-batu nisan menyeramkan seolah menertawakan keadaanku. Susah payah segera ku bangkit berdiri dan lari terbirit-birit.

"Bapak dari mana saja?" Parni nampak panik melihat kondisiku yang acak-acakan. Bajuku juga kotor.

"Mungkin aku ngelindur semalam, jadinya bangun-bangun sudah di tengah kuburan," ucapku lemas.

Aku menuju kamar mandi lalu mengguyur tubuhku. Aku menemukan bekas gigitan pada beberapa bagian tubuhku. Bahkan ada luka lebam membiru di sekitar pangkal paha. Rasanya pedih sekali. Ini lah resikonya bercinta dengan setan yang liar.

"Sundari, jangan kau bawa aku ke sana lagi. atau aku ceraikan kamu!" gumamku saat mandi.

Tiba-tiba muncul bayangan wajah Sundari dalam cermin. Dia tersenyum.

"Itu adalah istanaku di dunia ghaib, Mas. Lain kali aku akan mengembalikanmu ke kamar. Tapi ingat, jangan sampai kau menghabiskan malam dengan Parni!" gertaknya.

"Parni adalah istriku. Aku wajib memberikanya kasih sayang. Jangan larang aku melakukanya."

Wajah Sundari tiba-tiba menyeramkan. Aku segera mengalihkan pandanganku untuk mengambil handuk.

"Sudahlah. Jangan marah-marah, nanti jelek," celetukku sambil berlalu.

Tarr!! Tiba-tiba cermin pecah berceceran. Sundari marah. Tak kuhiraukan dia dan buru-buru keluar.

Nikah GhaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang