Baru

15 0 0
                                    

Kunantikan kamu diujung jalan. 

Kuupayakan seluruh diri terus menanti.

Sayang, di persimpangan kamu memiih jalan lain.

---

Sewindu sudah berlalu. 

Bukan, bukannya sewindu pertemuanku dengan Maret dan teman-temannya. Sewindu aku memperhatikan kaka kelasku semasa SMPku. 

Bukannya aku so puitis, setelah aku pikir pikir memang benar 8 tahun atau sewindu aku memperhatikan kaka kelasku itu. 

Namanya Hafiz, orang Ciwidey. Dia bukan laki-laki yang tinggi, ataupun mampu merespon orang lain dengan menyenangkan. Saat SMP dulu dia senang main futsal bersama teman-teman kelasnya. 

Setiap waktu aku berkesempatan, senang sekali diam di jendela lantai dua gedung sekolah. Memperhatikan kak Hafiz yang sedang tertawa atau sesekali menggaruk tengkuknya ketika berlalu lalang bersama temannya. Kalau Agnes bilang cinta tak ada logika, nampaknya ketika itu aku akan setuju. 

Tau perasaan seperti ingin melihatnya setiap aku bisa, ingin tahu hari-harinya bahkan saat harimu sendiri entah berjalan layak atau tidak, atau sekedar tahu mie ayam yang dia makan habis atau bersisa. Hafiz tidak istimewa, tidak ada hal yang melekat padanya yang memenuhi standar untuk disukai. Sayangnya, standar yang tanpa sengaja aku buat akan seseorang yang aku sukai tidak berlaku padanya. Yup! Aku menyukai laki-laki itu! Kaka kelasku ketika SMP yang selalu tertawa cerah dan bersinar ketika berpidato setiap kamis di mimbar sekolah.

Tak terasa, Hafiz lulus lebih dulu dariku, bedanya dua tahun. Hafiz kelas tiga dan aku kelas satu. Aku ingin sekali merasa bahagia tanpa ada hal yang sedikit mengganjal dihatiku saat Hafiz lulus. Sayangnya, tidak bisa. Meski Hafiz yang kulihat dari segi kelebihan seperti itu. Hafiz sempat punya pacar waktu SMP, namanya Dina. 

Ka Dina putih dan cantik, juga terlahir dari keluarga kaya. Apalah aku yang hanya anak baru kelas satu dengan wajah pas pasan dan tidak seputih kak Dina. Hatiku cukup sakit ketika mengetahui fakta itu, merasa sangat rendah diri, tidak layak dilihat dunia, tidak percaya diri meski sekarang pun begitu, tapi tidak separah dulu. Sebut aku lebay, tapi begitulah kenyataan susah jadi  gaul. Singkatnya, Ka Hafiz dan Dina putus saat akan lulus. 

Anehnya, aku tidak merasa senang. Aku sadar diri, aku tidak sepantas itu untuk berpeluang disukai oleh kak Hafiz. Saat kak Hafiz masuk salah satu SMA negeri di Ciwidey yang aku risaukan adalah pasti banyak perempuan cantik yang mendekatinya. Dugaanku tidak sepenuhnya salah, meski tidak banyak, Hafiz akhirnya punya pacar lagi namanya Mira. 

Hatiku kembali sakit, bodohnya ketika itu aku sempat mengirim pesan melalui facebook dan bilang aku menyukainya. Entah dimana harga diriku, otaku ketika itu entah kutaruh dimana. Sesuai ekspektasi, hasilnya tidak akan menyenangkan. 

Hafiz menolak perasaanku, lebih memalukan lagi Mira mengirim pesan padaku tentang penolakan Hafiz padaku. Meski kandas tanpa sempat memulai, sulit bagiku melupakan Hafiz. Setelahnya, aku jalani hari-hari seperti biasa, makan tiga kali sehari dan berolahraga ketika mau, meski hatiku tak sama. Perasaan rendah diri dan tidak percaya diriku semakin parah. 

Selamatnya aku, ketika SMP, SMA dan semester awal perkuliahan ada beberapa laki-laki yang mendekatiku. Rasa percaya diriku aga bertambah dan mengurangi rasa rendah diriku. Beberapa laki-laki itu kiranya tak perlu ku ceritakan, meski mereka cukup berjasa mereka tidak cukup memberikan kesan.

Hari-hari penuh luka itu berakhir begitu saja. Mungkin karena tahap perkembangan juga menuju remaja, aku mulai menggunakan pikiran rasional selain dari pikiran emosionalku.

Pikiran emosional akan lebih cepat diproses melalui amigdala sehingga respon yang diberi meski lebih cepat terkadang juga memberi penyesalan. Pikiran emosional ini mestinya disertai pikiran rasional yang melalui beberapa tahap penyerapan dalam otak sehingga tentunya sudah dipikirkan sematang mungkin sehingga resiko memberikan respon yang berakhir penyesalan lebih sedikit. Belajar dari perasaanku untuk Hafiz, yang begitu bodoh mencurahkan semua untuknya. Kukutuk diriku yang bodoh itu. 

Aku menyesal, kebanyakan laki-laki memiliki standar tertentu untuk perempuan yang ingin dia jadikan pasangan. Kebanyakan laki-laki juga, meski memiliki standar demikian tidak menerapkan standar tertentu untuk dirinya. Aku tidak munafik, begitupun kebanyakan perempuan. Sayangnya aku sadari, Hafiz merupakan salah satu dari kebanyakan.

Aku lelah menyukai Hafiz yang tak kunjung mengapresiasi sedikit saja perasaanku padanya. Setidaknya tolong beri aku pengertian seperti bilang "mundur aku tidak suka kamu" semua penolakan perasaanku padanya hanya sebatas dia memberi respon dingin. Mungkin aku bodoh dengan ucapan yang hanya sebatas itu tidak lantas membuat aku menyerah dulu, karna-pun ku sadarai terkadang Hafiz sempat membalas chat tidak pentingku. Bodoh memang aku ini, harus sampai dia tegaskan atau jahat padaku baru aku mengerti a-ku-mau-kau-pergi-dari-hidupku.

Ketika aku SMA laki-laki di kelasku berprinsip perempuan bagaikan sebuah benda, sebuah piala bergilir bagi mereka yang mau berkompetisi mendapatkannya dan bisa menikmati hasil pencapaian itu. Teman-temanku sering berkata bahwa perempuan sebatas dimanfaatkan memenuhi harga diri laki-laki seperti pujian bisa menaklukan perempuan cantik atau perempuan populer. Atau memanfaatkan dalam arti lain baik secara fisik atau psikis perempuan itu.

Ketika aku kuliah, aku tidak bisa egois menganggap kebanyakan laki-laki yang menginginkan perempuan untuk dijadikan pasangannya berdasarkan fisik. Begitupun perempuan, kebanyakan menginginkan memiliki pasangan yang menarik secara fisik. Menurutku, itu masuk akal karena pertama kita bertemu seseorang yang terlihat adalah fisiknya. Tidak mungkin awal melihatnya kamu tahu seberapa menarik isi otaknya atau seberapa tulus hatinya. 

Selain itu, hari demi hari aku memiliki kesadaran bahwa jika aku mengingikan laki-laki dengan standar tertentu aku pun mesti memiliki kualitas yang baik.  Aku tahu ini kelihatan seperti transaksi, tapi faktanya yang kulihat saat itu demikian. Akupun berfikir untuk meningkatkan kualitasku dengan catatan bukan itu satu satunya alasan. Come on zaman itu dinamis, sebagai individu kita pun harus selalu berusaha bergerak menjadi manusia yang lebih baik kan?

Dalam prosesnya, aku memiliki beberapa laki-laki yang mendekatiku. Aku tidak mau memiliki hubngan dengan komitmen dengan mereka, karena itu berarti menutup potensi aku ataupun dia memiliki pasangan yang lebih kualitasnya dimasa yang akan datang atau bahkan menutup jodoh. Tapi aku cukup berterimakasih pada mereka, karna membuat rasa percaya diriku meningkat perlahan. 

Intinya adalah tak apa dia yang dulu begitu kamu suka lantas tak membalas sukamu, kamu masih bisa menjadi semakin baik dan orang lain akan menyukaimu.

---------

Terimakasih, 

Kalau misalkan suka, kasih vote ya!

Rencananya, aku mau up cerita ini dua hari sekali hehe

luvv 

ProtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang