Ketika itu usiaku 18, tengah menempuh semester 1, aku tinggal di kosan depan kampus yang kalau jalan seperti dari gedung perkuliahanku ke gedung sebelah. Aku dan Maret merupakan mahasiswa rantau, aku dari Bandung dan Maret dari Likeearth, ya biar keren aja pake english nama tempat aslinya Sukabumi.
Kita bertemu ketika masa orientasi. Entah bagaimana, bertahan sampai sekarang masih jadi partner jajan baso aci cantik yang di Tebet itu. Kita sama-sama sunda, sedangkan kebanyakan mahasiswa disini kalo enggak jawa tengah, jawa timur, ya JABODETABEK dan sekitarnya, sisanya minoritas. Barangkali karena bahasa yang sama, jadi kultur dan bercandanya juga sama jadinya sama-sama nyambung sampai sekarang. Kita selalu merasa gabut di kampus. Daerah, kultur, suhu, cuaca, panggilan, dan sebagainya merupakan hal baru bagiku dan Maret.
Merasa tidak gaul padahal ingin jadi anak gaul Jakarta, seperti teman-teman SMA yang merantau di daerah lain jadi anak gaul disana dan populer. Karna enggak tau mau ngapain dan enggak punya kenalan yang tau jakarta, ya begitu habis kuliah malas pulang merasa semua penyesalan memenuhi kepala kalau sendiri di kamar. Jadi? Yang paling tepat adalah duduk ngadem di bawah pohon rindang ditemani satu cup eskrim yang dibeli di minimarket depan kampus.
Sekilas info, entah fakultasku ini segitu tidak kerennya atau aku saja yang kamseupay tidak bisa mencari, kampusku ini tidak punya kantin. Masalahnya adalah kampusku perfakultas beda tempat jadi satu fakultas bisa dikelilingi dalam waktu sehari dan itupun enggak seluas universitas negri yang aku impikan. Aku pernah melakukannya, iya keliling kampus dan tidak menemukan secuil pun kantin jadi aku bisa menyimpulkan bahwa aku tidak se kamseupay itu. Kejadian itu terus terulang dan lama-lama kami pun bosan, hari demi hari merasa semakin insecure dan membosankan.
Candaan kami setiap hari adalah saling menceritakan teman SMA yang semakin gaul saja di kampusnya dan mentertawakan tidak mampunya kami untuk jadi anak gaul. Bukan hanya itu, teman pun jadi suatu hal yang lucu untuk kami tertawakan karna kami sama-sama tidak bisa punya teman baru yang gaul bahkan, karna memang kampusku sekeren itu mungkin. Diam-diam setiap malam aku tau maret selalu menangis, akupun begitu. Setiap malam ketika sendiri aku menangisi penyesalanku tidak bisa masuk negri, tidak gaul, tidak keren, tidak populer, tidak punya pencapaian apa apa, tidak tinggal di apartemen mewah seperti teman-teman, tidak bisa bicara lo gue tanpa canggung dan merasa kampung, masuk kampus yang bahkan enggak punya kantin, dan merasa diri begitu payah. Tapi ya sudah mau bagaimana lagi. Mirisnya kegiatan dan perasaan itu aku biarkan terus.
Aku merasa Maret sangat beruntung karena masih punya teman SMA di Jakarta yang sampai kini selalu mengajak Maret main bersama atau sekedar bertemu. Selain itu, banyak yang igin berteman dengan Maret karna orangnya memang bisa bercanda dengan siapapun dan punya kemampuan memasang persona setebal mungkin di depan orang lain. Sementara aku? Temanku hanya sedikit yang melanjutkan kuliah di Jakarta itu pun bukan teman dekat. Ya memang salahku tidak bisa bersosialisasi dengan baik sehingga tidak dekat dan diperparah kemampuan sosialku yang buruk.
Suatu hari, Maret bilang teman dekatnya mau main ke fakultasku. Dia satu universitas tapi beda fakultas, yang kampusnya lumayan jauh dari kampusku. Aku cukup kaget Maret punya laki-laki dihatinya. Ketika bertemu, keduanya terlihat sangat bahagia dan saling rindu satu sama lain disitulah aku kenal Soni. Kesan pertamaku bertemu Soni adalah dia tinggi, udah gitu aja enggak berkesan hehe. Soni melibatkan aku dalam pembicaraan mereka tapi sekali lagi kemampuan sosialku tidak sebaik itu, aku canggung dan malu setengah mati bingung mau bilang apa. Karena merasa bagai lalat aku permisi pulang duluan, finally aku sangat merasa sperti lalat terbang menuju bantar gebang. Akupum sadar, malang sekali aku ini teman satu, pacar tidak punya.
Seminggu kemudian Maret minta ditemani menemui temannya yang juga temannya Soni. Yap, betul sekali itu Mawang. Kata Maret Mawang ini temannya dari SMP, mereka selalu bersama yaitu Maret, Soni, Mawang. Mawang mau meminjam kamera Maret karena itu Mawang repot-repot kesini. Aku ke depan kampus menemani Maret, teman maret ini sama-sama tinggi seperti Soni, entah karena aku pendek mungkin jadi yang selalu kulihat pertama kali adalah tingginya. Maret mendatangi laki-laki dengan hodie putih itu dan saling menyapa lalu mengenalkan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Proton
Chick-Lit"Keja bodoh! tidak ada hal baik dalam dirimu," ucapku di depan cermin. Seandainya saja aku proton, barangkali elektron mau mengelilingiku, mencari keseimbangan yang bisa kuberi. Sayangnya, bahkan aku tidak lebih baik dari hal sekecil proton. Tidak a...