"Bintang dan bulan senantiasa ada hiasi kelamnya langit malam. Dan kuharap kau selalu ada untuk hiasi kelamnya duniaku,"
-Adinda Bulan Azalia
Bulir keringat basahi seragam gadis yang kini tengah berjemur–lebih tepatnya dijemur–di sudut lapangan. Ia sedekapkan tangannya kesal. Dalam hati ia tak henti merutuk. Seharusnya sekarang ia sedang bercanda ria bersama sahabatnya dibawah terpaan air conditioner kelas. Namun keadaan sekarang sangat berkebalikan. Ia dengan terpaksa menggantikan Tia, teman organisasi PMR nya untuk menjaga pertandingan futsal. Tia sedang sakit dan sialnya ketua PMR justru melimpahkan tugas ini padanya.
Sebuah bola kulit melayang dan terdampar di sudut. Wasit meniup peluit di mulutnya keras-keras, pertanda bahwa seseorang harus melakukan tendangan sudut. Sosok laki-laki berjalan kearah sudut lapangan. Sembari berjalan, ia usap rambutnya yang berlumur keringat ke belakang. Ia berdiri di sudut lapangan, mengambil ancang-ancang untuk menendang bola di depannya dengan memundurkan tubuhnya tiga langkah ke belakang.
Tepat pada ayunan kakinya yang kedua,
"WOI LO YANG DI SUDUT!"
Sebuah suara nyaring perempuan memecah atmosfir ketegangan yang yang mengukung suasana pertandingan. Pandangan seluruh orang yang memainkan maupun menyaksikan pertandingan tertuju pada gadis itu. Tangan kanannya menunjuk kearah lelaki yang sedang mengambil ancang-ancang tendangan.
"Gue?" lelaki di sudut lapangan menunjuk dirinya sendiri.
"IYA. LO JANGAN MUNDUR-MUNDUR!"
Lelaki itu tak bergeming, melemparkan pandangan pada gadis yang barusan dengan lancing mengganggu konsentrasinya yang kurang lebih berarti emang-kenapa?
"Alah udah, lanjutin aja! Tuh cewek cuman ganggu lo aja. Ato jangan-jangan dia mau caper ke elo! Lanjutin aja!" suara laki-laki bernomor punggung 24 memecah hening.
"GUE BILANG JANGAN MUNDUR ATAU LO BAKAL–– "
Belum sempat gadis itu menyalesaikan ucapannya, sang lelaki sudah memundurkan kakinya satu langkah, dan––
BRUK
Lelaki itu jatuh ke tanah, pasang tangannya memegangi kaki kanannya yang nyeri. Wasit meniupkan peluitnya. Temannya yang tadi menyuruhnya mengacuhkan gadis pengganggu menghampirinya disusul teman-teman yang lain.
"Lo kenapa?" tanyanya, menyiratkan gurat kekhawatiran.
"Kaki gue..." ujarnya memperlihatkan telapak kakinya.
Tergores paku 10 senti–yang untungnya tak berkarat.
"Nah kan gue bilang apa!" terdengar suara gadis yang tadi memperingatinya mendekat.
"Lo sih ngomongnya gak jelas! Gue kira lo mau caper!" lelaki yang tadi mengkhawatirkan temannya berkata ngawur.
"Enak aja lo! Gue bukan cewek murahan asal lo tau! Dan gue anak PMR. Udah semua minggir! Gue mau ngebawa bocah bandel ini ke UKS" ujar gadis itu seraya mengkode dua teman PMR nya, bahwa dirinya harus merawat laki-laki kepala batu itu.
"Lo bisa bangun gak? Atau perlu gue bawain tandu?" sang gadis menawarkan bantuan.
"Gue bisa sendiri," tolaknya.
-o0o-
"Pelan-pelan, Bego! Sakit!"
"Lo yang bego! Udah gue bilangin jangan mundur, lo malah ngelanjutin mundur!"
"Lo gak bilang kalo di belakang gue ada paku. Kalo lo ngomongnya setengah-setengah, orang lain gak paham lah!"
"Dih, Bawel. Orang tua lo ngajarin balas budi gak, sih? Udah ditolongin gak bilang terimakasih malah ngomel-ngomel"
"Ooh, jadi lo gak ikhlas nolongin gue? Oke fine gue balik lapangan––ADUH!" lelaki itu mengaduh kesakitan.
Niatnya untuk turun dari kursi dan kembali ke lapangan gagal. Nyeri di kakinya kembali datang. Dengan sigap, perempuan yang duduk di kursi sebelah untuk mengobati kaki sang lelaki dengan sigap memegang lengannya, menahannya agar tidak terjatuh. Posisi lelaki yang membelakangi perempuan tadi membuat si perempuan leluasa melihat punggungnya. Dipunggung lelaki tertulis nama Bintang dan di bawahnya tertera nomor 24.
Bintang?
Perlahan, lelaki bernama Bintang itu mendudukan tubuhnya kembali di kursi UKS. Tangan kanannya mengusap tengkuknya malu, ia salah tingkah karena sikap sok kuatnya tak berhasil. Bintang bertatapan beberapa detik dengan gadis yang menolongnya. Sang gadis cepat-cepat melepaskan pegangannya pada lengan Bintang. Cepat-cepat ia arahkan pandangannya kearah obat merah di tangannya. Jujur, bertatapan dengan lelaki dengan jarak sekira 30 senti membuatnya malu.
"Sori," ucapnya dan segera melanjutkan aktifitasnya mengobati luka pada telapak kaki Bintang.
Suasana UKS hening, keduanya bungkam. Tak tahu harus membicarakan apa untuk mencairkan suasana hening.
"Emm, nama lo?" Tanya Bintang menghadap perempuan. Yang ditatap masih canggung untuk menatap balik. Ia fokuskan pandangan kakinya pada telapak kaki lelaki yang memerah–campuran antara darah dan obat merah.
"Gue Bulan."
Sang lelaki ber-oh ria dan mengangguk-angguk pelan.
"Gak ada niatan untuk nanyain nama gue?" tanya Bintang.
"Udah tau." Jawab lawan bicaranya singkat.
"Udah tau? Darimana? Ooh, lo ngefans sama gue ya? Pantes tau nama gue" Bintang tertawa mengejek.
"Idih ge-er! Mana mungkin gue suka sama cowok kepala batu kayak lo," Bulan menyanggah.
"Lah, terus tau darimana?"
"Di baju futsal lo ada namanya," jawab Bulan sekilas menatap Bintang. Jemarinya menutup obat merah, lalu membuang kapas dan plester yang barusan digunakannya untuk mengobati dan menutup luka
"Bintang? Elah nama gue bukan Bintang,"
"Yang ngebuat baju lo salah ngasih nama?" sahut Bulan sembari mengenakan sepatunya, bersiap keluar dari UKS.
"Gak gitu. Nama gue emang Bintang, tapi lo gak boleh manggil gue Bintang. Cuma orang deket gue yang boleh manggil gue Bintang. Lo panggil aja Aidan," balas Bintang–Aidan.
"Emang gue nanya? Asal lo tau, gue males manggil nama kepala batu kayak lo." Bulan berjalan santai sembari berjalan meninggalkan UKS juga meninggalkan Aidan yang masih tertatih kesakitan mengenakan sepatunya.
"Cewek sialan."
-o0o-
Hai semuanya! ini cerita pertama yang aku buat. Jadi kalau ada kurangnya mohon maaf yaa.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Bintang
Teen FictionIni kisah tentang Bulan yang gengsi akui perasaanya. Juga tentang Bintang-panggil saja Aidan- yang memilih diam. Ini lembar kisah antara Bulan Bintang yang saling lengkapi satu sama lain. Akankah mereka dapat bersama? RANK 1 #pesona RANK 14 #bulanbi...