Chapter 5

40 9 2
                                    


"Secara fisik, mungkin aku terlihat bahagia. Namun secara batin, aku terluka,"

-Adinda Bulan Azalia

---

Bulan memandangi Al, bingung harus mengambil tindakan apa. Sedangkan Al yang ditatap sedemikian rupa hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh pada adiknya yang jelas tengah meminta bantuan padanya. Ia tahu betul adiknya tengah dilema, antara menerima panggilan itu atau menolaknya. Adiknya sekarang pasti malu berbicara dengan Aidan.

Al melemparkan pandangan menggoda pada adiknya lalu ia dengan santai melenggang meninggalkan kamar Bulan. Menyisakan Bulan yang dilema, ia ragu jika mengangkat panggilan dari Aidan, ia akan ditanyai macam-macam perihal kejadian di sekolah tadi.

Maka Bulan memilih untuk tak mengindahkan panggilan tersebut. Ia letakkan kembali posel miliknya di atas meja belajar dengan perasaan berdebar. Berdebar antara kasihan dengan Aidan karena ia membiarkan panggilannya, juga karena rasa malunya, bercampur juga dengan rasa senang... ya seperti itulah. Kalian mengerti rasanya ketika tiba-tiba ditelepon oleh lelaki yang entah kau sukai atau tidak bukan?

Dering telepon itu tiba-tiba mati, membuat Bulan menghela napas lega. Tapi sedetik kemudian, ponselnya kembali berbunyi. Dengan pemanggil yang sama seperti tadi. Dengan mengumpulkan keberanian, Bulan mengambil ponsel miliknya, lalu berjalan perlahan menuju balkon.

Beberapa detik, ia siapkan kata-kata untuk membuka percakapannya. Dalam dugaannya, ia menganggap Aidan akan bertanya tentang tragedi memalukan baginya tadi siang. Bulan menghela napas, lalu menggeser tombol hijau pada layar ponselnya.

"Dan, sumpah gue gak suka sama siapa-siapa!" ucapnya langsung sedetik setelah jemarinya menggeser tombol hijau.

"Lo ngomong apaan, sih?!" suara berat Aidan dari seberang sana. Nadanya tampak panik.

"Bukannya lo nelpon gue mau nanyain tentang kejadian tadi siang?" Tanya Bulan yang terdengar bodoh di telinga Aidan.

"Sifat kege-er an lo ilangin, kek!" ucapnya sambil tertawa kecil.

"Gue gak nanya tentang itu, Bulan," lanjutnya diselingi tawa geli. Perkataan Bulan yang polos membuatnya melupakan tujuan utamanya menelepon Bulan.

"Terus? Eh, by the way lo tau nomer gue darimana?" tanya Bulan, masih dengan nada kebingungan yang menggemaskan di telinga Aidan.

"Gue dapet dari Shafi, temen sekelas lo," ucap Aidan, lalu berhenti sejenak.

"Gue mau nanya tempat perban di UKS itu dimana?"

Bulan–yang barusaja menyadari hal menggelikan yang baru dilakukannya–segera berlari menuju kasur empuk miliknya, menghempaskan tubuh nya pada kasurnya. Ditenggelamkan kepala miliknya pada bantal. Ia memukul-mukul dahinya gemas, merutuki kebodohan yang baru saja ia lakukan. Pipi nya seketika memanas menahan malu.

"Harusnya gue gak langsung asal bicara di awal pembicaraan tadi! Ah, bego gue!" rutuknya kesal bercampur malu dalam hati.

"Bulan?" Aidan segera menyadarkan rutukan Bulan, membuat Bulan gelagapan malu.

"Eng.. itu.. Ada di lemari pojok bagian ke empat dari atas," Bulan menjawab seperti orang gagap seraya menggigiti ujung jarinya.

"Maksud lo lemari bagian paling bawah?" Aidan mengklarifikasi ucapan tidak efektif Bulan.

Bulan mendengar suara lemari terbuka.

"I-Iya.. itu maksud gue," sungguh Bulan sangat terdengar bodoh!

Bulan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang