•TUJUH-"Kenangan"

26 4 0
                                    

Seketika Kanaya terdiam, kenangan itu kembali terputar di otaknya. Dia hanyut dalam memori masa lalunya, tanpa memikirkan ada Rayan yang sudah lama menantikan penjelasan darinya.

##

"Naya pulang.." ucapnya, namun sepertinya tidak ada orang di dalam.

Di saat seperti ini seharusnya dia senang, karena tidak akan ada yang mengomelinya lagi. Tapi, dia merindukan sosok kedua orang tua yang sangat perhatian padanya. Walaupun, ia hanya mendapatkannya dari ayahnya saja. Karena di rumah itu papanya adalah orang yang sangat protektif terhadap anak-anaknya. Aneh memang, dimana dalam sebuah keluarga yang protektif seharusnya adalah seorang ibu, tapi ibu Kanaya itu adalah sosok pendiam dan irit bicara. Sepertinya sifat itu menurun padanya seperempatnya saja. Karena papa Kanaya tidak menyukai anak perempuan semata wayangnya itu menjadi dingin. Akan sangat bagus jika sifat mamanya itu menurun seratus persen pada Alvin-adiknya. Tapi sayangnya, Alvin hanya mewarisi lima puluh persen sikap mamanya itu. Wajar saja, Alvin anak bungsu. Dia akan terlihat lebih manja didepan keluarganya tapi di luar, dia terkenal sebagai lelaki cuek dan dingin. Kanaya tau itu dari Azka-teman dekatnya Alvin.

Dan lebih disayangkan lagi, saat ini semua kehangatan keluarganya sudah tidak ada lagi. Perhatian dari papanya tidak lagi ia dapatkan semenjak kejadian dua tahun yang lalu. Saat mengingat itu ia menjadi sangat membenci Kania-sahabatnya. Oh! Sangat busuk jika dia masih menganggapnya sahabat. Karena dia begitu sangat membenci Kania.

Sekarang, hanya Alvin lah yang ia punya. Karena sekali lagi, seseorang yang begitu sangat ia sayangi juga ikut membencinya sama seperti kedua orang tuanya.

Ini bukan tentang orang tua yang berpisah, atau ini bukan tentang Kania yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga papa dan mamanya. Tapi tentang dirinya yang dibenci oleh semua orang. Ini tentang Kania yang berusaha ingin menjadi dirinya. Mendapatkan keluarga yang sempurna, status sosial yang bagus, seseorang yang mencintainya dengan tulus, kasih sayang dari seorang sahabat, prestasinya yang gemilang, serta wajah dan tubuh yang indah. Membuat seorang Kanaya tampak sempurna.

Itulah yang membuat Kania membencinya. Dari mana dia tau? Ohh, jangan ditanyakan lagi. Kanaya tentu tau dari Kania langsung. Mana mungkin dia mengada-ada. Lagipula, Kanaya bukan sosok yang suka membual atau menceritakan kebohongan agar menarik perhatian orang. Karena Kanaya tidak seperti Kania.

"Sangat rendah! Cih!" umpatnya.

Dia masih mengingat begitu jelas, saat Kania membuat kedua orang tuanya kecewa terhadap anaknya sendiri-Kanaya, saat Kania ingin berhasil merebut posisi Kanaya dalam karirnya, saat Kania ingin membuat Azam membenci Kanaya, saat Kania ingin membunuhnya. Dia tau setiap niat buruk mantan sahabatnya itu.

Wanita itu benar-benar gila. Bahkan setelah di perlakukan tidak baik seperti itu Kanaya tetap diam. Diam sampai dia memiliki kekuasaan penuh agar bisa membalas Kania.

Dia sadar bahwa saat ini ia masih memiliki amanah yang diberikan oleh Diana-ibu Azam. Dia sadar bahwa dia masih memiliki Alvin yang begitu sangat menyayangi, dia sadar dia masih memiliki Hana meski dia harus menjaga jarak dengannya untuk beberapa waktu sampai Kania benar-benar mendapatkan hukuman yang setimpal.

##

"Ternyata lo masih inget semuanya," ucap Rayan saat tidak lagi mendengar kelanjutan ceritanya.

Rayan melihat Kanaya menatap sendu ke arah luar jendela. Mungkin Kanaya begitu merindukannya, sampai-sampai begitu ingat detail kejadian saat pertama kali mereka bertemu. Rayan begitu berharap, semoga dugaannya itu tidaklah salah.

"Ra.. kenapa? Kenapa berenti?" tanya Rayan membuat Kanaya tersadar dari lamunannya. Kanaya seperti orang linglung yang menatap bingung sekelilingnya.

"Gue pikir lo bakal lupa saat pertama kita ketemu, ternyata lo inget bahkan sampai detailnya"

"Jangan terlalu berharap. Aku harus mengingatnya. Bukan mengingatmu, tapi permainanku. Jadi berhentilah berharap, aku akan kembali menjadi Mayra yang dulu!"

Deg!

Bagaikan batu yang menghujam keras di dadanya. Mendengar perkataan Kanaya membuat senyum Rayan berganti menjadi kerutan di keningnya. Sedangkan di lubuk hatinya, dia merasa begitu tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Kanaya.

"Baiklah. Aku tidak akan basa-basi lagi seperti tadi. Nanti kau malah semakin berharap yang tidak-tidak. Tingkat kepercayaan dirimu itu begitu tinggi," Rayan hanya mengangguk dan memaksakan senyumnya.

"Pertanyaan pertama, kau pasti bertanya kenapa aku meninggalkan dunia seniku.. itu karena aku ingin memiliki kekuasaan agar aku tidak lagi seperti pengemis yang berusaha meyakinkan orang-orang bahwa aku tidak berbohong.. karena dengan kekuasaan, aku bisa melakukan apa yang aku inginkan. Intinya aku tidak ingin menjadi anak perempuan lemah yang hanya bergantung kepada keputusan ayahnya saja."

Dahi Rayan kembali mengernyit, apa maksud Kanaya sebenarnya. Mengatakan dia adalah bagian dari permainannya. Lalu permainan apa yang dia maksud?

"Pertanyaan kedua, kau pasti bertanya permainan apa yang aku maksud. Maaf, kau harus tau satu hal. Bahwa aku sebenarnya hanya memanfaatkanmu saja. Maaf mungkin aku egois tapi aku harus melakukan ini. Kau hanyalah umpanku untuk mengalihkan perhatian Kania, dengan begitu-" Kanaya belum usai dengan perkataannya namun Rayan sudah menyelanya.

"Maksudnya? Kania? Apa ini? Kenapa-"

"Karena aku ingin mengambil apa yang sudah ia ambil dariku dan aku tidak suka jika perkataanku di cela sebelum aku selesai mengatakannya, dan yang terakhir jika kau masih ingin mendengarkannya tetaplah diam dan cermati setiap apa yang ku katakan. Aku tidak akan mau mengulangi ucapanku. Kau mengerti?" Rayan hanya bisa terdiam dan menatap tatapan tajam yang diberikan Kanaya.

"Kania adalah sahabat- emm tidak, mantan sahabat- oh tidak, lebih tepatnya orang yang sangat membenciku. Kenapa dia membenciku? Karena sejak aku berhasil memenangkan posisinya sebagai juara umum di sekolah, semenjak itu dia membenciku. Semakin aku banyak mengalahkannya dalam kompetisi semakin besar rasa bencinya. Aku belum menyadarinya karena dia bersikap melindungi ku, menemaniku dari sejak awal aku menjadi murid baru di sekolah itu. Itu tidak penting. Kita lanjut ke intinya saja,

"Tapi benarkan? Kau sudah mencurigai diriku sebagai dalang dibalik bangkrutnya perusahaan papamu?" Rayan terkesiap mendengar pertanyaan Kanaya. Memang benar dia mencurigai Kanaya, tapi dia ingin mendengar penjelasan darinya langsung.

"Bukan aku dalangnya, tapi teman barumu itu" jawab Kanaya sedikit tertawa meremehkan. Rayan berusaha mengingat siapa teman barunya.

"Kania. Ingatlah satu hal Rayan, kau harus tau. Penjahat yang paling kejam sebenarnya adalah penjahat yang bermuka dua. Senjatanya bahkan lebih menyeramkan daripada sebuah pisau, pistol, atau senjata lainnya. Dia akan memutar balikan segalanya, dan mengambing hitamkan musuhnya yang berusaha mengungkapkan tentang dirinya. Tapi sayangnya, orang-orang dengan bodohnya langsung mempercayai karangannya."

"Kau pasti bertanya apa tujuanku menggunakan dirimu? Itu karena aku ingin Azam kembali. Sama seperti Azam yang dulu, sama seperti kau yang menginginkan aku yang dulu." Rayan terdiam dan berusaha untuk mencermati setiap apa yang dikatakan Kanaya dengan baik.

"Pertanyaan selanjutnya, kenapa harus dirimu? Itu karena takdir mempertemukan aku dengan dirimu. Sebenarnya aku tidak ingin menarikmu dalam permainanku, karena aku tau konsekuensinya. Kau akan tersakiti, maafkan aku Rayan. Tapi aku tidak punya pilihan lain, Karena Kania sudah lebih dulu menemukan dirimu"

"Aku tidak bisa melihat orang yang sangat berarti dalam hidupku membenciku karena sesuatu yang tidak ku lakukan," ucapan Kanaya terhenti, kini dia kembali mengukir senyum pahit di wajahnya.

JUDULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang