•DELAPAN-"Percaya"

31 5 2
                                    

Sudah seminggu Kanaya mengurung diri di kamar. Setelah Rayan pergi dari rumah itu, Kanaya memilih untuk mengurung dirinya di kamar. Jika waktunya makan, bi Sri akan mengantarnya dan meletakkannya di nakas depan pintu kamar Kanaya. Tidak ada seorangpun dirumah itu yang berhasil membawa Kanaya keluar. Meski hanya sekedar makan bersama. Termasuk Azam. Sedangkan sang adik-Alvin, tidak mau tau-menau soal sang kakak.

Beberapa orang asing tampak keluar-masuk dari rumah tersebut. Beberapa diantaranya adalah seorang lelaki bertubuh besar yang menjaga rumah, selebihnya para perempuan bertubuh atletis dan wajah sangar yang menjaga pintu kamar Kanaya.

Azam melihat aneh ke semua orang berwajah datar itu. Dia penasaran. Dia sangat ingin bertanya, tapi tidak tau harus bertanya kepada siapa. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya.

'Kania? Apa aku bertanya padanya saja?' gumam Azam dalam hati.

Akhirnya Azam memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Kania. Kali ini Azam tidak permisi terlebih dahulu kepada Kanaya. Percuma. Kanaya tidak akan pernah mempedulikannya. Tapi tetap saja dia akan pamit walau hanya pada bi Sri. Setidaknya ketika Kanaya mencarinya, bi Sri yang akan menjawabnya.

***

"Kenapa?" tanya Kanaya pada seorang wanita yang berjalan ngos-ngosan ke arahnya.

"Reza tertangkap!"

"Rahasia tentangmu sudah di ketahui musuh! Ada orang yang sudah membocorkannya!"

Kanaya masih menatap keluar jendela. Dia terdiam sejenak. "Memang itu yang ku mau," jawabnya santai.

"Tapi, Reza dalam bahaya Mayra."

"Dia bukan orang biasa, Reya. Kau adalah saudarinya. Apa kau tidak mempercayai saudaramu sendiri?"

"Ya! Kau benar! Dia luar biasa! Tapi, tunggu. Apakah kau yang memberitahu orang yang sudah membongkar tentang apa yang kita lakukan selama ini?"

"Iya"

"Tapi kenapa? Semua tujuanmu. Hanya tinggal selangkah lagi"

"Aku tidak mau menjadi penjahat sepertinya"

Flashback on

"Aku tidak bisa melihat orang yang sangat berarti dalam hidupku membenciku karena sesuatu yang tidak ku lakukan," ucapan Kanaya terhenti, kini dia kembali mengukir senyum pahit di wajahnya.

"Kau bisa melihat semua bukti bahwa aku bukan seperti orang yang dibicarakan Kania kepadamu," sambung Kanaya sembari menyodorkan beberapa dokumen ke arah Rayan.

"Gue tau. Tanpa lo kasih bukti juga, gue selalu percaya sama lo"

"Baca aja dulu," balas Kanaya cepat. Rayan masih menatap lekat perempuan yang berada di depannya. Perlahan tangannya meraih beberapa berkas yang Kanaya bilang adalah bukti.

Rayan telah selesai melihat semuanya. Tapi Kanaya tidak memiliki bukti siapa pelakunya. Ya! Karena memang Kanaya sengaja merahasiakannya.

Mereka berdua terpaku menatap sendu keluar jendela. Baik Rayan maupun Kanaya, mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.

"Udah? Gue boleh ngomong?" tanya Rayan ketika melihat Kanaya yang tidak berbicara lagi.

"Gue masih ga ngerti sama maksud perkataan lo. Dan dari pernyataan lo, Gue bisa menyimpulkan 3 hal. Pertama, lo manfaatin gue. Kedua, lo benci sama Kania. Dan yang ketiga, lo mencintai Azam."

Kanaya tersenyum simpul mendengar perkataan Rayan, "Bagus,"

"Dan dari sikap lo. Gue punya sebuah kesimpulan," balas Rayan. Kanaya hanya memicingkan matanya, menunggu kalimat selanjutnya.

"Lo berkata jujur ke gue. Lo ga mau gue terjatuh lebih dalam lagi. Tanpa sadar, gue ngerasa Lo punya sesuatu yang seharusnya ga lo ceritain ke gue..

"Inget Ra. Gue ga peduli sama sekali dengan perasaan lo buat siapa, gue ga peduli lo benci sama siapa, dan gue juga ga peduli dengan masa lalu lo. Gue tau, Lo bukan orang yang jahat. Tapi inget satu pesan gue. Sejahat apapun perlakuan orang lain ke kita, kita ga boleh bales. Kalo kita bales, berarti kita sama jahatnya kaya orang itu."

Perkataan lelaki di sebelahnya membuat hati Kanaya tercubit. Dia tertegun cukup lama dan menatap mata Rayan lekat. Kanaya bisa melihat sebuah harapan yang telah hancur berkeping-keping. Bagaimanapun, Kanaya harus mengatakannya. Dia tau bahwa Rayan memiliki perasaan padanya. Sebenarnya, dia sangat ingin membalas perasaan lelaki itu. Tetapi, bayangan ketika kejadian empat tahun yang lalu terputar begitu saja di benaknya. Lagi-lagi dia menepis perasaannya.

Apa itu cinta? Dia sangat tidak percaya akan hal itu lagi. Cinta hanyalah ilusi. Bayangan. Menyedihkan. Dan lemah. Ya! Dia meyakini bahwa hanya orang-orang yang lemah lah yang percaya dengan cinta. Omong kosong! Begitu pikirnya.

"Gue permisi. Dan satu lagi. Lo harus inget, kalo gue selalu ada buat lo. Gue selalu bersedia menjadi tempat bersandar buat lo. Kalo orang-orang yang lo cintai pergi, gue selalu ada buat lo dan ga akan pernah ninggalin lo. Tapi gue ga bisa janji, karena gue ga pernah tau berapa banyak lagi sisa umur gue," ucap Rayan sembari melemparkan senyum paling tulus yang ia punya.

Kanaya masih diam tak bergeming. Menatap langkah Rayan yang kian menjauh. Ada rasa sedih dan egois melihat Rayan yang pergi menjauh.

"Btw, lo cantik pakai kerudung" ucap Rayan membalikkan badannya saat berada tepat di depan pintu.

"Gue kangen kita main hujan bareng lagi! Sampai jumpa!"

Tanpa sadar Kanaya mengulum senyum melihat lelaki itu tersenyum tulus ke arahnya. Rayan sangat baik padanya.

"Aku juga rindu semuanya. Jika saja aku memiliki waktu untuk bernapas di dunia lebih panjang," lirih Kanaya.

Lamunannya buyar ketika mendengar deringan ponselnya. Dia menatap layar ponselnya, membaca nama seseorang di sana. Dia sedikit bergetar dan cemas.

"Iya dok?"

"..."

"Aku sedang dirumah,"

"..."

"Aku akan mengirim seseorang untuk mengambil hasilnya,"

Flashback off

"Hasil itu ku biarkan tanpa ku ambil sejak seminggu yang lalu. Dan, aku ingin kau yang mengambilkan hasil itu ke rumah sakit, Reya. Bolehkah?" ucap Kanaya lemah. Sesekali ia melempar pandangannya ke atas, agar air mata yang berusaha ia sembunyikan tidak keluar di depan Reya.

Meski sepandai apapun Kanaya membendung air matanya. Seorang Reya tetaplah tau. Reya mungkin bukanlah siapa-siapa. Tapi Reya sudah mengenalnya selama lima belas tahun. Terlebih lagi, Kanaya selalu membantu dia dan adiknya-Reza.

Saat itu Reya dan saudara kembarnya tidak tau harus bermalam dimana. Rumah mereka di sita oleh bank, dan kedua orang tuanya meninggal dan entah karena apa. Reya dan Reza, mereka kembar. Saat itu umur mereka sembilan tahun. Mereka memilih untuk beristirahat di jalanan sepi pinggir kota. Kemudian, entah anak perempuan dari mana yang mengajaknya untuk pergi dan memberi mereka tempat tinggal. Mereka adalah sosok Ayah dan putrinya-Kanaya. Paman Hanan, ayah Kanaya. Mengasuh mereka seperti anaknya sendiri.

Reya masih ingat. Masih ingat semuanya. Jika tidak karena keluarga Kanaya mungkin mereka akan menjadi gelandangan sekarang.

"Aku akan mengambilnya. Berjanjilah padaku Kanaya. Bagaimanapun hasilnya nanti, kau tetap harus berjuang. Aku menyayangimu," jawab Reya sembari merengkuh tubuh Kanaya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

Kanaya hanya tersenyum dan berusaha untuk tidak menangis di depan Reya. Dia bersyukur, masih banyak orang yang menyayanginya.

JUDULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang