Siapa Dia?

41 2 0
                                    

Dari sekian banyaknya orang, yang paling sering aku temukan adalah warna bola mata kuning, IQ dominan. Dan tak sedikit pula warna Oranye, EQ dominan.

Namun kali ini ada yang aneh dengan penglihatanku. Di sudut ruangan perpustakaan aku mendapati seorang wanita dengan bola mata berwarna ungu, duduk manis seraya membaca Novel yang digenggamnya.

Aku penasaran, kira kira kecerdasan apa yang ia miliki. Aku perlu menyentuhnya. Namun bagaimana caranya?. Aku bisa dianggap lelaki brengsek jika salah gerakan.

“Nik, menurut lo buku ini gimana?” tanya Sohas yang baru saja menemukan buku berjudul Terapi kecerdasan Otak. Sontak aku mengambil buku itu dilanjut membaca cover belakangnya dalam hati.

Sedikit sekali insan yang mampu mengembangkan kecerdasannya.
Setiap manusia memiliki tipe kecerdasannya masing masing.
Tapi semua akan baik –baik saja ketika anda membaca buku Terapi Kecerdasan Otak. Buku ini membahas berbagai perawatan otak, seperti cara mengembangkan IQ seseorang, langkah langkah menanam Mindset yang baik dan benar, dan lain sebagainya.
Terdapat 50 cara dari setiap kecerdasan yang terdiri dari
Intelligence Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient.
Jangan biarkan rasa penasaran menghantui pikiran anda.
Selamat membaca ;)

Aku mengangguk menandakan setuju dengan buku pilihan Sohas.

“Oke, auto keep” katanya seraya matanya mencari buku lain di rak buku.

“hmm” kataku yang terus menatap wanita itu. Sohas mencari objek kemana
mataku memandang.

“Oh dia, kenapa?. Naksir yah” katanya menggoda ku. Aku masih menatap
wanita itu seraya berpikir.

“Jika iya, memangnya kenapa?. Tidak boleh” kataku dengan iris mata melirik ke kanan. Sohas menatap tajam mataku, seakan ia sedang memikirkan sesuatu tentang ku.

“kalo gitu cari tau aja sendiri?. Kan lebih gentle tuh” kata Sohas seraya melipat kedua tangannya di bawah dadanya yang lebar. Dirinya tersenyum licik.

“Ngga kok, ngga penting haha” jawab ku tersenyum ringan.

“Terus kenapa lo ngeliatin dia dalem banget. Logikanya orang ‘ngga suka’ tuh ngga bakal ngeliatin terus kaya gitu. Sampe sampe lo ngga sadar kalo lo udah buang bukunya ke lantai. Untung ada kaki gue yang nahan, huh” ucap Sohas menurunkan kedua tangannya.

kemudian mengambil buku di atas pangkuan kakinya. Aku hanya terdiam, tak tahu harus jawab apa lagi. Rasanya seperti tertangkap basah. Ia masih menatap ku dalam.

Sepertinya Sohas tau jika aku hanya membual. Makanya dia berkata
seperti menyudutkan ku agar aku berbicara kenyataannya.

“Sorry Has, gue ngga sengaja...” kataku menggaruk garuk kepala yang tidak gatal.

“Nik, ayolah cerita aja, apa yang lo liat dari perempuan itu?” tanya Sohas mengusik ketenangan pikiranku.

Aku kembali menatap tempat duduk yang tadi diduduki wanita itu. Wanita itu menghilang. Kini aku mulai resah. Harus memulai darimana?, apakah dia akan percaya dengan apa yang kulihat?. Batinku meringis.

“Nik, gue tau lo bohong kan soal lo suka sama dia, iya kan!. Gue liat mata lo ngelirik ke kanan, haha. Hebat kan gue bisa nebak” tanya Sohas percaya diri.

“Apa hubungannya mata gue ngelirik ke kanan atau ke mana” kataku menatap aneh dirinya. Semua orang kan bisa melirik ke arah mana saja pikirku.

“Nih gue kasih tau yah. Dengerin baik-baik. Ketika lawan bicara mu
meirik ke arah kanan maka ia sedang berbohong, namun jika sebaliknya
maka ia sedang mengingat. Paham Nik!” katanya menepuk pundakku dan tangan kirinya masih bertopang pada pundakku.

“Wah, lo kata siapa. Darimana kosa kata begitu Has!, ngaco lo” kataku
tidak percaya dengan ungkapannya.

“Waduh ngga percaya?. lo bisa liat lotube Nik, atau ngga lo tanya aja
tuh ke psikolog” katanya menurunkan tangan kiri dari pundakku.
Psikolog?. Aku menyentikkan ibu jari kanan. Aku menemukan sesuatu.

“Bener Has, gue keinget EQ. Gimana kalo kita wawancara salah satu anak di fakultas psikolog. Secara psikolog itu yang bisa baca perasaan orang lain, ini ada hubungannya dengan EQ.” Kataku mengingatkan Sohas akan misi yang sedang di buat oleh kami.

“Hmm, ada benernya juga sih. Tapi gue rasa lebih baik kita wawancarain Ibu-Ibu deh” katanya berpendapat seraya kepalanya mengadah ke atas.

“Maksud lo psikolog yang udah Ibu-Ibu?” kataku menanyakan kepastian.

“Susah kalo nyari yang udah Ibu-Ibu di kampus. Rata-rata kampus kita kan isinya kebanyakan muda muda” tuturnya dengan iris mata ke kiri.

“Menurut gue ada baiknya wawancarain ibu ibu rumah tangga” lanjutnya kembali menatapku.

“Kok bisa kepikiran Ibu-Ibu sih?. Jangan-jangan lo mau ngegebet janda.
Haha” kataku balas dendam menggodanya.

“Amit-amit janda, gue lebih suka yang masih rapet. Haha” Sohas mengangkat bahunya.

“Daripada itu, gue pikir Ibu-Ibu itu lebih berpengalaman, lebih dewasa, lebih tau kondisi tetangga saking keponya. Lebih lama di bumi dari pada kita yang muda. Dan lebih mengerti akan lika-liku kehidupan.
Daripada para psikolog yang punya akses belajar mudah, maksud gue para
psikolog yang punya dana dari orangtuanya.” Ujarnya dengan kepala
mengadah keatas.

“Dan lagi kalo lo rasa lebih baik wawancara psikolog, mendingan cari
yang masuk lewat jalur beasiswa. Kemungkinan mereka punya sedikit
pengalaman lika-liku kehidupan” lanjutnya menatap mataku.

“Ada benernya juga sih pendapat lo barusan, gue sih setuju aja. Tapi, ngga tau kalo Dyera” aku mengangguk membenarkan ucapan Sohas.

“Lo ngga usah khawatirin Dyera, dia pasti bakal setuju. Kalo lo juga setuju” kata Sohas percaya diri.

“Eh, by the way Dyera kenapa ngga ikut kita ke sini?” tanya Sohas.

“Biasa, dia kan masuk siang, palingan lagi ngebo dirumah. Haha” ucapku
tertawa kecil.

Bicara tentang Dyera yang juga seorang wanita, kira-kira kemana wanita bermata ungu itu menghilang? Batinku bertanya.

The Power of HACKER Inside MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang