Sebuah mobil sedan hitam sudah bertengger di tempat parkir dengan
rapinya di depan rumah. Bukan masalah mobil itu berpijak di halaman rumah.Hanya saja pemilik mobil yang tak kuinginkan keberadaannya. Aku tidak mau pulang, lebih baik aku pergi menginap di rumah Sohas.
Suara bising kendaraan roda dua yang aku tumpangi sekarang, mampu membuat seisi rumah keluar datang menyambut. Tak terkecuali pemilik mobil sedan hitam itu.
"Mau pergi kemana lagi?. Nak" kalimat yang keluar dari mulut pria pemilik sedan itu sudah membakar emosiku.
Aku tak menjawab. Aku terus melanjutkan misiku untuk menginap di rumah Sohas. Tiba tiba misiku terhenti ketika suara orang yang kusayang bergema ditelingaku.
"Mamah,..." aku hanya menatapnya.
Didalam matanya tersimpan sebuah
tangisan. Aku jelas meihatnya. Semua perasaannya tertera di sebuah layar komputer tak terlihat. Hanya saja aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya."Sayang, berikanlah waktumu untuk papah" ucapnya dengan berat hati.
"Oke, demi mamah" kataku tak tega dengan emosi mamah yang telah ku
ketahui. Dari layar komputer tak terlihat. Tak ada yang dapat membacanya selainku.Di dalam rumah ku tepatnya di ruang tamu.
"Katakan, apa keinginan Anda, cepat dan jangan bertele-tele" kataku tanpa melihat wujudnya sekalipun.
Melihat barang yang dikenakannya
saja sudah membakar emosiku, apalagi jika melihat wajahnya dengan jelas. Entah bagaimana nanti.Aku mengalihkan pembicaraan dengan
menatap layar ponsel."Nak, papah disini bukan disana" katanya menunjuk nunjuk menyatakan
bahwa dirinya ingin dilihat."Sepertinya Anda tidak mengerti bahasa Indonesia, aku pergi" kataku beranjak keluar.
"Niko, cukup..." suara mamah terdengar lirih. Sontak aku menghampirinya. Memeluknya erat. Tanpa kusadari air matanya menetes mengalir pada pipinya.
"Mamah, jangan menangis" aku menyeka air mata yang membasahi pipi
chubby nya itu."Bisakah, anak mamah memaafkan papah?" tanya mamah yang masih menangis seraya memegang jari jemariku.
"Aku akan mengabulkan semua permintaan mamah..." aku menunduk.
"Tapi tidak yang satu ini" lanjutku menatap kedua bola mata mamah yang
berwarna Biru muda telak. Pertanyaan mamah tak dapat menerobos dinding
pertahanan egoku."Niko sampai kapan kamu seperti itu" jawab papah yang hanya mementingkan diri sendiri.
"..." aku terdiam bukan berarti aku membisu. Hanya saja aku malas menjawab. Sungguh tidak penting bagiku.
"Nik, gue bawain makanan kesuka...... Hai tante, hai om" tiba tiba Dyera
datang, langsung ia menyalami tangan kedua orangtuaku."kelihatannya saya mengganggu acara kalian" lanjutnya tersenyum kaku.
"Ngga kok Dy, bagus malah lo kesini. Kebetulan banget, sini duduk Dy"
kataku menyambut kedatangan Dyera."Eh ngga usah, ngga papa gue Cuma sebentar aja kok. Gue pamit Nik. Tante, om saya pamit dulu" ia menyalami punggung tangan kedua orang tuaku, kemudian beranjak pergi keluar.
Basa basi Dyera membuatku kerap kesal dengannya. Apa dia lupa dengan pesanku, aku mengutusnya kesini agar membawa ku pergi. Tapi kenapa dia malah pamit -_-
"Dyera, kenapa lo kesini?. Tumben malem-malem" Kataku memberikan kode.
"Oh iya gue lupa Nik" katanya berlari kecil mendekat ke arah kami. "Om tante boleh ngga saya pinjam Niko nya?" lanjutnya.
"Genteng di rumah saya bocor, saya butuh bantuan Niko" katanya dengan
iris mata mengarah ke kiri.Melihat iris mata Dyera mengingatkan ku pada Sohas tadi pagi. Teori Sohas salah, berbohong kesebelah kiri bukan ke kanan. Saat ini Dyera pasti sedang berbohong.
"kenapa tidak panggil teknisi atau ayahmu saja?" tanya papah curiga.
"Ayah saya sudah meninggal dan saya ngga kepikiran soal teknisi" kata Dyera hanya menundukan kepala, mungkin ia sedih dengan kematian ayahnya 5 tahun yang lalu.
Yang aku tahu Dyera itu pemberani. Tak
pernah menangis atau menunduk pada siapapun. Kecuali kedua orang tuanya."keluarga mu yang lain?" tanya papah lagi.
"hanya ada ibu saya di rumah, beliau sedang berusaha memperbaiki gentengnya" kata Dyera menatap papah.
"Kalau begitu mengapa tidak kamu bantu ibu mu saja, mengapa kesini?"
ucapan papah sudah membuat api amarah kecil ku berubah menjadi
kebakaran amarah besar."Cukup, Anda tidak pernah berubah. Mah aku dan Dyera pamit pergi"
kataku melangkah lebar dan cepat seraya menarik tangan Dyera kencang,
hingga membuatnya tersandung sandung."Niko, Niko.." panggil papah, namun tak mengikuti. Sepertinya mamah yang menghentikan.
Selama perjalanan ke rumah Dyera yang hanya 10 langkah dari rumah, kami tak berbincang sedikitpun. Dyera pun sangat mengerti kondisiku.
Aku bersyukur memiliki tetangga sekaligus sahabat seperti Dyera.
Setibanya di depan rumah Dyera, langkahku terhenti."Dy, makasih ya. Maaf gue udah bikin lo bohong soal genteng" kataku
yang masih tertunduk."Eh, ngga kok Nik. Genteng rumah gue beneran bocor. Haha"
Sontak aku menoleh ke arahnya, dan aku terkejut. Mataku melebar, aku menganga, tanpa sadar aku melangkah mundur melepaskan tangan Dyera dari genggaman ku.
"Eh Nik, lo kenapa?." Katanya khawatir. kepalanya memutar ke belakang secara perlahan untuk memastikan keadaan.
"Hmm, ngga ada apa apa tuh" kata Dyera menatapku heran.
Aku yang masih membeku, mencoba untuk tidak melihat informasi yang tertera di layar komputer tak terlihat. Terlalu banyak informasi yang kuterima.
Mengapa mendadak semuanya keluar secara bersamaan, bertumpuk tumpuk terlalu absurd. Sulit untukku membacanya. Satu hal lagi, teori yang dikatakan Sohas memang benar adanya.
. . . . .
Terimakasih untuk yang sudah berkunjung, semoga cerita nya dapat menghibur readers :)Salam hangat 🙏😊
KAMU SEDANG MEMBACA
The Power of HACKER Inside Me
Narrativa generaleNiko seorang mahasiswa fakultas ilmu komputer yang memiliki kemampuan mengakses seberapa besar kecerdasan seseorang melalui sentuhan fisik. Semua mata orang yang dilihat nya, punya warna berbeda. Namun akan berwarna hitam jika orang normal (awam)...