Mahar

507 98 18
                                    

"Neng Ily!" seru wanita cantik berhijab longgar seperti Lili

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Neng Ily!" seru wanita cantik berhijab longgar seperti Lili.

Lili yang tadinya sedang berjalan di koridor madrasah, lantas menoleh dan berhenti, menunggu wanita itu mendekatinya.

"Asalamualaikum, Annisa," sapa Lili dengan senyum ramahnya.

"Wa 'alaikumus-salam, Neng," sahut wanita muda yang usianya tak jauh berbeda dengan Lili itu.

Mereka berteman baik, Lili kenal Annisa di pesantren. Mereka sering bersama, terpisah saat Lili kuliah di Kairo. Saat kembali ke Indonesia, mereka sama-sama menjadi guru di madrasah tersebut.

"Selamat, ya, Neng Ily? Aku dengar kamu sudah menemukan calon suami," kata Annisa turut berbahagia.

Mereka mengobrol sambil berjalan ke kantor. Senyum tak pudar dari bibir Lili. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini dia sedang bahagia.

"Terima kasih, Annisa. Semoga kamu juga segera menemukan pendamping yang tepat."

"Aamiin. Oh, iya, dengar-dengar calon suami kamu dokter, ya?"

"Belum. Masih dokter muda. Satu tahun lagi, insyaallah, setelah menyelesaikan ujian akhir, baru beliau bisa dikatakan dokter, Nis," papar Lili tak memudarkan senyuman manisnya ketika bercerita tentang Al.

"Masyaallah, Neng, aku ikut bangga. Semoga prosesnya dilancarkan sampai hari H, ya?"

"Aamiin. Makasih doanya, Annisa."

Sampainya mereka di depan kantor, mereka masuk dan duduk di tempatnya masing-masing.

***

Sore itu, kedua keluarga berkumpul di ruang tamu, rumah Kiai Dahlan. Sikap kedua keluarga yang bersahaja, memancarkan aura kesejukan. Setelah cukup basa-basi dan mengobrol santai, waktunya membahas tujuan utama.

"Maaf, Kiai Dahlan, terutama Neng Ily, tidak mengurangi rasa hormat kami," kata Ilham mengawali obrolan serius. "Untuk langkah selanjutnya, kami akan segera datang kembali untuk melamar Neng Ily. Tapi sebelumnya, kami ingin bertanya, dari pihak Neng Ily, menginginkan kami membawakan seserahan apa?"

Sebelum menjawab, Kiai Dahlan tersenyum tipis dan menoleh Lili yang duduk di belakangnya bersama Fatimah. Dia kembali menatap Ilham yang duduk berseberangan dengannya.

"Pak Ilham, sebenarnya hantaran atau seserahan sifatnya tidak wajib dalam Islam. Hantaran boleh saja diberikan. Namun, jika tidak diberikan pun bukan masalah. Tidak diberikannya seserahan atau hantaran, bukan berarti membuat pernikahan tidak sah. Hukum yang diatur oleh Islam merupakan hukum menerima hadiah. Niat yang lain untuk menyenangkan. Ini stigma yang sering kali salah beredar di masyarakat. Seserahan dijadikan ajang pamer rupanya bukan ajaran Islam," papar Kiai Dahlan sangat mudah dipahami oleh keluarga Ilham.

"Oh, begitu, ya? Baik, Kiai, kami sekarang paham," ujar Ilham sambil manggut-manggut, baru mengerti hal itu. "Lalu untuk mahar, apa yang Neng Ily inginkan?" lanjut Ilham agar lebih jelas dan tidak menjadi ganjalan di hati kedua belah pihak.

MENGEJAR SURGA (KOMPLIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang