Dyah, gadis pemilik paras ayu yang memilih kabur dari rumah, karena menghindari paksaan papanya untuk masuk jurusan kedokteran yang sama sekali tidak dirinya minati. Diabaikan oleh sang papa membuat Dyah semakin membulatkan tekad untuk pulang ke neg...
Beberapa orang, mengucapkan maaf bukan karena sadar dengan kesalahan, tapi sebatas kata penenang.
_⋆.ೃ࿔・.♛.•࿔.ೃ⋆_
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Apa yang akan dirimu lakukan jika merasa kecewa? Marah? Sedih? Atau, biarkan saja toh ini bukan yang pertama.
Pembicaraan keduanya bagi Arthur mungkin hanya sebagai kiasan, itu yang ada di benak Dyah. Pasalnya, pagi ini harusnya dirinya berada di bandara, bukan di kamar milik Chelsea dan sibuk melihat taman dari balik jendela.
Harusnya pula, Dyah tengah berada di kawasan ramai dengan hiruk-pikuk manusia serta suara seretan roda koper. Bukan di temani semilir angin yang membuat perasaan sedihnya bertambah. Semua itu hanya sebatas 'harusnya', tapi kenyataannya Arthur lebih dulu berangkat tengah malam dengan dalih pekerjaannya membutuhkan dirinya secepatnya. Dan sekali lagi tanpa pamit pada Dyah.
Dyah merasakan segala emosinya terlampau lelah, entah harus bagaimana menyadarkan papanya itu. Memesan dua tiket kepulangan di jam berbeda, mungkin memang niatnya jika kesiangan bisa mengambil penerbangan pagi. Itu sisi positif dari pikiran Dyah.
Wah, sungguh, ini rasanya lebih menyebalkan ketimbang berhadapan dengan tugas dari Pak Kuno. Dan sepertinya hari itu, hari di mana Dyah di jatuhi kesialan, karena grup mata kuliah epigrafi tengah memberi tugas kelompok untuk melakukan penelitian langsung di tempat.
Tak lama pesan dari Pita masuk, bertanya apakah Dyah telah membuka grup.
"Sudah membuka grup? Kita satu kelompok," itu yang tertera di kotak pesan.
Sangat jelas nama lengkap Pita, Dyah dan Raja sebagai pendamping kelompok mereka selama melakukan penelitian. Apakah kamar mamanya ini kedap suara? Rasanya Dyah ingin berteriak agar emosinya terpuaskan, tapi jika tidak, mungkin mereka akan di datangi satpam komplek karena aduan tetangga.
"Aku benar-benar butuh hiburan," gerutu Dyah, setelah puas mengacak-acak rambutnya sendiri.
Suara notifikasi kembali terdengar di telinga Dyah, di sana Pita mengajaknya untuk membeli perlengkapan dan bekal selama pergi melakukan penelitian. Dyah yang memang butuh kesegaran langsung mengiyakan dan siap-siap untuk pergi.
"Mau kemana?" tanya Vena begitu melihat Dyah memakai sepatu di ruang tengah.
"Dyah ijin buat beli keperluan penelitian ya oma," pamit Dyah, sembari menunggu Pita dirinya menjelaskan tugas kuliahnya yang mengharuskan Dyah pergi beberapa hari ke Jawa Timur.
"Kapan itu?"
"Awal bulan, masih ada waktu 1 Minggu sih. Cuman Pita ngajak hari ini biar kalau barangnya gak ada bisa beli via online. Sekalian jalan-jalan biar gak jenuh, juga." Vena mengangguk paham.
Tengah malam, sewaktu Arthur akan pergi ke bandara dirinya sudah menawarkan menantunya itu agar berpamitan kepada Dyah terlebih dahulu. Namun, Arthur menggeleng takut menganggu tidur putrinya. Sudah Vena bilang jika hal itu tidak akan menganggu, tapi Arthur tetap kekeuh, mau tak mau Vena hanya mengangguk.