chapter 2

7K 821 43
                                    

Taeyong tidak percaya dia membiarkan Jeong Jaehyun masuk ke apartemennya.

Lagi.

Semuanya berjalan begitu cepat; ia sedang berdebat dengan Yuta di telepon mengenai apakah seharusnya ia mewarnai rambutnya abu-abu atau biru – "Kau akan terlihat seperti nenek sihir dengan rambut abu-abu, bodoh."  Yuta berkata, momen berikutnya ia membuka pintu, Jaehyun dan seorang pria lain muncul di hadapannya. Taeyong hampir tidak mengenali Jaehyun; sudah hampir dua bulan sejak insiden hari terburuk dalam hidupnya terjadi, dan Jaehyun sekarang berambut pirang.

"Yuta," Taeyong bergumam, "Aku akan meneleponmu lagi," dan jika suaranya terdengar aneh, Yuta tidak berkomentar.

"Oke," Nada suara Yuta masih sama seperti tadi, "Yang jelas jangan cat rambutmu abu-abu –"

Taeyong tidak mendengar sisa kalimatnya dan mengakhiri panggilan teleponnya.

Matanya memindai Jaehyun di depannya; dia terlihat baik dan tidak terluka, jadi pandangannya ia ganti pada pria yang dirangkulnya. Pria tersebut tinggi, hampir delapan puluh persen kaki, walaupun mungkin dia pasti lebih tinggi jika berdiri tegak. Wajahnya aus dan tiap tubuhnya bergerak ia meringis, mata tertutup rapat.

"Dia ditembak," Jaehyun berkata, mulutnya berkerut. Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya tidak menentu, mungkin karena menopang berat temannya yang lebih tinggi.

Pandangan Jaehyun seperti baja ketika matanya bertemu Taeyong, seakan menantang apabila Taeyong menolak untuk membantu temannya. Ia menaruh temannya di atas sofa sebelum Taeyong dapat menyuarakan protes. Pandangannya melembut saat ia kembali melihat temannya.

"Tahan, Johnny," dia bergumam, mengusap dahi Johnny yang penuh peluh.

Dan setelah itu, indikasi bahwa seorang Jeong Jaehyun mempunyai emosi menghilang, dan ekspresi wajahnya berubah kembali menjadi tegas. Taeyong berkedip, sekali, dua kali, sebelum ia sadar bahwa ia tidak memiliki waktu untuk memahami apa yang terjadi di dalam apartemennya di yang seharusnya hari minggu yang menyenangkan, ia menggeleng, seketika memasuki mode perawat, berjalan menuju dimana Johnny terbaring di sofa.

"Ambil first aid kit dan handuk di kamar mandi," Taeyong memerintah, kepalanya menyentak ke arah dimana kamar mandinya berada, "Ambil kantung sampah di dapur juga."

Jaehyun dengan segera melakukan yang disuruh dan Taeyong memanfaatkan waktunya untuk menilai keadaan Johnny. Johnny terlihat pucat, lebih pucat dari seharusnya. Taeyong menemukan dua titik luka tembakan, satu di lengan kanan dan satu di paha kirinya. Johnny sudah kehilangan cukup banyak darah dan ketika Taeyong mengangkat kepalanya pelan, dia dapat merasakan benjolan di pangkal tengkoraknya. Johnny mengerang karenanya, kepala terkulai di tangan Taeyong.

Jaehyun kembali, membawa semua alat yang diminta oleh Taeyong. Taeyong mengarahkan tangannya pada meja kopi dan untungnya Jaehyun paham, dengan segera menata alat-alatnya.

"Basahi handuknya." Taeyong berkata. Jaehyun menghilang menuju dapur, tangan dipenuhi handuk putih.

Taeyong kembali memfokuskan perhatiannya pada Johnny, "Hei," suaranya rendah, "Johnny, ya?" 

Johnny tidak merespon dan Taeyong mengerut.

"Johnny, aku ingin kau tetap membuka matamu, ya?" Ia menunggu untuk sesaat dan untungnya, Johnny membuka matanya.

"Apa kau bisa mengikuti jariku tanpa harus menggerakkan kepalamu?" Taeyong menjaga nada bicaranya agar tetap tenang, mengulanginya sebelum dia mengangkat jari telunjuknya beberapa inci dari wajah Johnny.

Taeyong menggeser jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan beberapa kali di depan Johnny, menghela napas lega ketika melihat Johnny berusaha keras mengikuti pergerakan jarinya.

loveshot (jaeyong) [15/15]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang