7. Mengubur Mimpi

2.5K 534 140
                                    

"Alka, kalau sudah dewasa mau jadi apa?" Bunda mengepang rambutku yang lurus dan legam. Hari itu, aku genap berumur delapan tahun. Bunda mengadakan syukuran secara sederhana di rumah kami. Beberapa kerabat dekat dan teman-temanku akan hadir. Tak lupa anak yatim dari panti asuhan ikut meramaikan. 

"Alka mau keliling dunia, Bun," jawabku sembari mengunyah cup cake yang kupegang. 

"Kalau Alka mau keliling dunia, Alka jadi pramugari aja."

"Plamugali apa, Bunda?" Aku menengok ke belakang.

"Pramugari itu, orang yang bekerja di pesawat. Membantu para penumpang, melayani mereka selama penerbangan." 

Aku mengangguk setuju seakan saran Bunda bisa kumengerti dengan baik. Padahal, belum terbayang pula waktu itu bagaimana profesi pramugari. "Aku mau jadi plamugali." 

Bunda memelukku. "Kalau Alka jadi pramugari, Alka akan sering ninggalin Bunda." 

"Enggak, 'kan Alka pulangnya sore kayak Ayah." 

Bunda tersenyum, menangkup kedua pipiku, menempelkan hidungnya ke hidungku. "Kalau nanti mimpi Alka tidak berubah. Tetap ingin jadi pramugari. Bunda selalu dukung Alka." 

Seiring berjalannya waktu, pramugari menjadi tujuanku melangkah. Aku mempelajari beberapa bahasa hingga kemampuanku dalam berbahasa asing di atas rata-rata anak seusiaku. Aku pun berusaha menjadi seorang yang ramah dan terbuka, persis seperti pramugari-pramugari yang sering kulihat di internet.

Semua terasa dekat dan mudah, sebelum vonis kanker jatuh kepada diriku dan merobohkan mimpi yang bertahun-tahun kubangun.

***

Bayangan masa kecil yang indah menari-nari di pantulan jendela kaca, membias di antara cahaya dari luar dan padatnya gedung-gedung. 

Aku menatap kaki yang terbungkus selimut dan tidak bisa aku gerakkan. Di samping ranjang besiku, Koko sedang berkutat dengan laptopnya. Di luar sana, Bunda dan Ayah tengah berbicara serius dengan Dokter Riza. Bisa kutebak, Bunda pasti sedang menangis dan berusaha meredakan air matanya sebelum masuk ke dalam ruangan ini. Dia akan bersusah payah memasang mimik wajah paling ceria agar aku tidak bersedih. 

"Alka!" Eri masuk ke dalam ruangan bersama seseorang. Aku menyipitkan mata. Di belakangnya ada Satria. 

"Hai, Er." Tanganku merentang menyambut pelukan Eri. 

"Woy, ngapain lo di sini?" Koko bertanya kepada Satria. 

"Ma--Mau jenguk Alka, Kak." Satria terlihat gugup. 

"Sorry ya, Ka. Aku nggak tega sama dia. Abis, tiba-tiba dia ke rumah aku dan mohon-mohon gitu buat ketemu kamu. Nekat banget," jelas Eri padaku. 

Aku mengulum senyum, mengangguk. "Santai aja, Er."

Koko bangkit dari duduknya. "Koko mau pulang dulu, ambil baju ganti. Eri tolong jaga Alka dulu boleh?"

Eri meletakkan kelima jarinya di ujung alis. "Siap, Komandan." 

"Saya juga siap, Komandan!" Satria ikut-ikutan. 

"Alka jangan terlalu dekat sama Satria. Dia fakboi." Koko berdiri, melambaikan tangannya lantas beranjak keluar ruangan menenteng jaketnya asal-asalan. 

"Wey, Kak!" Satria berseru tertahan. 

Oh iya, sebenarnya Satria dan Koko saling kenal, sebab mereka satu ekskul. Futsal. Jadi, aku tidak kaget kenapa Satria tahu aku adiknya Koko. 

"Fakboi itu apa?" tanyaku tidak mengerti ke arah Eri. 

Eri mengibaskan tangannya. "Kamu jangan tahu artinya. Oh iya, gimana kondisi kaki kamu?" 

ALKA (dan 10 Permohonan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang