Untuk Anakku (Sena)

2.1K 383 125
                                    

"Ayah, nonton Reply 1988, yuk!" 

Pertama kali ia menawarkanku menonton drama kesukaannya ketika aku baru pulang kantor selepas malam. Aku menolak mentah-mentah ajakannya. Kubilang padanya bahwa aku tidak terlalu menyukai film, apalagi drama yang satu episodenya menghabiskan waktu lebih dari satu jam. 

Dia terlihat kecewa, tapi setelahnya kembali ceria. 

Selalu begitu. 

Dia tidak pernah memaksa keinginannya terkabul di detik setelah ia meminta. Akan tetapi, ia akan terus meminta pada hari esok, esok, esok, sampai aku lelah mendengarnya dan mau tidak mau menuruti permintaannya. Begitulah anak bungsuku.

Kuingat-ingat lagi...

Di hari pertamanya memakai seragam sekolah, ia terlihat sangat bahagia. 

"Hore! Alka sekolah! Alka sama kayak Koko dan Kak Army!" serunya saat istriku menguncir rambut Alka. 

Aku yang kebetulan lewat di depan kamarnya, berhenti sebentar, menyender pada pintu yang terbuka. 

"Kalau udah mulai sekolah, jangan rewel, ya. Nanti ada Koko dan Kak Army yang jagain Alka."

Gadis kecilku mengangguk patuh mendengar nasihat bundanya. Aku tersenyum. Semenjak ketiga anakku lahir, pemandangan seperti ini yang membuat beban di pundakku seakan menguap begitu saja.

"Ayah! Alka pakai seragam!" Dia menatapku sembari tersenyum bangga.

Aku mengangguk, menghampirinya, lalu duduk di sisi kiri Alka yang kosong. "Wah! Anak Ayah udah besar, udah sekolah!" Aku mengelus kepalanya. 

Pipinya yang gembil berwarna kemerahan. 

"Ayah! Ayo berangkat." Koko dan Army keluar dari kamarnya masing-masing. Aku pun menggandeng Alka keluar, lalu menyiapkan mobil untuk mengantar ketiga anakku sekolah. 

Di belakangku, Alka digandeng oleh kedua kakaknya. 

Sewaktu mereka masih SD, aku selalu mengantar anakku sekolah. Memastikan mereka sampai di  gedung sekolahnya dengan selamat, lalu pulang begitu pintu gerbang tertutup. Setelah itu, aku akan bersiap-siap pergi ke kantor, dan urusan ketiga anakku kuserahkan kepada Kena. Dia yang akan menjemput mereka. 

Sebagai seorang Ayah, tidak banyak yang bisa aku ceritakan. Aku hanya berusaha yang terbaik memenuhi segala kebutuhan anak-anakku. Yah, seperti kebanyakan ayah pada umumnya. 

Namun, terkadang hidup punya rencananya sendiri. 

Alka menderita kanker tulang. Aku dan Kena, sebagai orang tua yang belum pernah mengalami hal sepahit ini, sempat bingung harus bagaimana. Aku melarikannya ke rumah sakit. Kebetulan di sana ada temanku spesialis kanker namanya Riza. Dia bilang, kalau Alka harus dioperasi. 

Kena terpukul mendengarnya. Sementara aku yang saat itu tidak mengerti apapun, hanya bisa menyerahkan segala keputusan terbaik kepada Riza. 

"Lakukan apa pun. Asal anakku sembuh," kataku pada Riza. 

Aku tidak mengerti pula bagaimana takdir hidup Alka atau anak-anakku yang lain. Melihatnya sakit tentulah membuatku kehilangan semangat. 

"Ayah, kaki aku bakal diamputasi?" tanyanya di malam sebelum operasi. 

Aku menggeleng, "Enggak. Kaki Alka cuma diambil sel kankernya. Jadi, setelah operasi Alka bisa berjalan normal lagi." 

"Alka takut, Ayah..." Dia meremas tanganku. 

Aku mengelus tangannya, berkata segalanya akan baik-baik saja. Mungkin, sebagai Ayah, aku gagal menghiburnya. Karena aku bukan orang yang pandai mencari hal-hal lucu untuk mengalihkan rasa takut. Bahkan untuk anakku sendiri, aku tidak bisa membuatnya tersenyum. 

ALKA (dan 10 Permohonan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang