MOPDB berlalu.
Minggu ini, para murid baru resmi berseragam sama seperti kakak kelas mereka. Tanpa atribut topi, nametag, dan rambut yang dikuncir banyak. Lihat saja, mereka terlihat mulai dewasa.
"Kamu sudah ngerjain latihan soal Matematika, Al?" tanya Eri begitu ia sampai di kelas, sepuluh menit setelah Alka.
Alka lebih suka datang pagi, terlalu pagi bahkan, oleh sebab menghindari keramaian. Ia lebih suka berjalan di lorong yang sepi diiringi udara pagi yang masih sejuk.
"Sudah. Kamu?" Alka mengeluarkan buku latihannya.
"Sudah. Tapi aku kurang yakin. Boleh cocokin nggak?"
Alka mengangguk.
"Oh ya, kamu mau ikut ekskul apa, Al?" tanya Eri yang matanya bergantian menatap dua buku tulis di hadapannya.
"Nggak tahu. Aku belum kepikiran." Alka menghela napas berat.
Minggu kemarin, tepatnya hari terakhir MOPDB, mereka diperkenalkan ekstrakurikuler yang berada di sekolah ini. Setiap ekskul membagikan selembaran yang nantinya akan diisi oleh siswa yang berminat. Alka pikir ia tidak akan masuk ekskul apa pun, tetapi Bunda mendesaknya supaya ikut kegiatan di sekolah.
"Alka nggak mau ikut, Bun. Alka mau belajar saja," kata Alka malam itu.
Bunda yang duduk di ruang tamu sibuk menatap beberapa selembaran dari masing-masing ekskul yang Alka terima.
"Alka, kamu sudah SMA. Kamu harus ikut kegiatan, bersosialisasi itu penting, Nak. Sekalian melatih ketahanan tubuh kamu." Bunda membolak-balikkan selembaran.
Dulu, Alka buka tipe anak yang menarik diri seperti ini. Ia gadis yang ceria dan aktif. Akan tetapi, menjadi korban pembully-an sewaktu SMP tentu meninggalkan trauma psikis yang cukup mendalam baginya. Kalau bukan karena dorongan keluarga dan sahabat baiknya, mungkin kondisinya lebih parah dari sekarang.
"Kamu 'kan suka baca novel sama nulis puisi. Ini ikut mading aja. Ada kegiatan literasinya, nih," kata Bunda menatap anak gadisnya yang kini tiduran di atas karpet bulu.
"Nggak mau."
"Ya udah, paduan suara aja gimana? Kan suara kamu cukup bagus."
"Big no!"
"Ya udah, deh. Kamu maunya apa?"
"Aku maunya kegiatan yang nggak terlalu capek, bisa menyendiri, dan nggak berhadapan dengan terlalu banyak orang."
"Ya mana ada?" Bunda geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Nah, ya udah. Kalau ada, aku ikut. Kalau nggak ada, ya nggak ikut."
Baik. Bunda menyerah dengan keinginan Alka yang sepertinya sulit untuk dibujuk. Baginya, selama Alka menikmati kegiatan belajarnya di sekolah, ia akan mendukung. Dan selama Alka baik-baik saja, itu lebih dari cukup.
Di sisi Alka, ia juga bingung memilih ekskul mana yang sesuai dengan keinginannya itu. Setahu Alka, setiap ekskul pasti dituntut untuk mengukir prestasi, berarti setiap anggotanya kemungkinan akan mengikuti lomba. Setiap anggotanya mempunyai tuntutan untuk memajukan organisasinya.. Alka tidak yakin ia bisa.
"Oy, Alka!"
Tepukan Eri menyadarkan Alka dari lamunannya. "I—iya?"
"Aku mau ikut ekskul basket, kamu mau ikut apa?"
Kini Eri sedang mengisi form ekskul basket. Sepertinya ia sudah mencocokan jawabannya dengan Alka.
"Aku... kayaknya nggak mau ikut ekskul, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKA (dan 10 Permohonan)
General FictionAku Alka Senarya Al Lail, seorang perempuan pengidap kanker tulang. Kata dokter, hidupku tidak akan bertahan lama. Oleh sebab itu aku membuat sepuluh permohonan sebelum aku tak ada lagi di dunia ini. Semoga semesta mengabulkan ke sepuluh permohonan...