Sepulangnya aku dari Singapura, kabar demi kabar berdatangan menyapaku yang tertinggal banyak berita. Eri masuk universitas swasta bagus di Jakarta, jurusan psikologi. Satria berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri di Jakarta, mengambil jurusan sastra. Mungkin Satria mau jadi penyair kondang. Vero kuliah di Singapura, mendapat beasiswa. Jerome berkuliah di Jepang. Dan aku... tentu saja tidak kuliah. Aku menyibukkan diri dengan berbagai macam kursus.
Aku mematut diri di depan cermin, tersenyum kepada sosok berambut kecokelatan yang juga ikut tersenyum. Baru-baru ini aku beranikan diri mewarnai rambut dengan warna cokelat. Aku pun memakai lensa kontak sesekali. Asal kalian tahu, dua hal itu sangat ingin kulakukan sejak aku masuk SMA. Teman-temanku sebagian besar berpenampilan cantik, memakai make-up ini itu, memakai baju ini itu, mereka modis sekali. Bertolak belakang denganku yang... kayaknya membosankan. Bukan berarti aku menghilangkan jati diriku, aku ingin mencoba hal-hal baru. Dan ternyata semenyenangkan itu.
Kakiku melangkah ringan ke dapur, membantu Bunda menyiapkan makan malam.
"Are you fine today? Where are you going?" Bunda menahan senyum melihat penampilanku yang lebih rapi dari biasanya.
Kepalaku mengangguk cepat. "Tadi Haruka-sensei bilang aku dapat nilai tertinggi menulis hiragana dan katakana."
"Wah, selamat! Apa kita harus merayakannya dengan membuat barbeque?"
"Ide bagus, Bun. Tapi nanti aja, kalau Koko pulang. Minggu ini dia nggak pulang. Tugas kuliahnya banyak."
Hampir dua bulan yang lalu aku mengambil kursus Bahasa Jepang. Dalam Bahasa Jepang, sensei berarti guru. Haruka-sensei yang mengajariku. Sesekali kami berkunjung ke kedutaan Jepang di Indonesia. Aku mengikuti kursus bukan tanpa alasan. Ini semua termasuk amunisi rencana gilaku.
Aku membawa panci berisi sup panas ke meja makan. Ayah sedang berkutat dengan gawainya sementara Army masih merebahkan diri di sofa menonton film.
"Kak! Makanannya sudah siap!"
Kami berempat melingkari meja makan. Suasana hangat kembali menyelimuti. Selain karena asap yang mengepul dari wadah, kehangatan itu timbul dari obrolan ringan dan guyonan receh keluargaku. Dua tahun lamanya suasana penuh kebahagiaan ini absen mengisi hari-hariku. Terima kasih, semesta, aku kembali merasakannya.
***
Matahari menguning di ufuk barat saat aku bermain gitar di balkon kamar Army. Kamarku tidak punya balkon sedangkan kamar Koko memiliki balkon yang tidak menyuguhkan pemandangan sebagus balkon kamar Army.
Ada satu pesan masuk di Instagram. Begitu aku mengusap layar, nama Jerome terpampang.
Jantungku mencelus. Bahkan setelah tiga tahun berlalu, degup jantungku tetap sama acap kali melihat atau mendengar namanya. Dia membalas insta story-ku yang memotret pemandangan senja barusan.
Jerome:
Pemandangannya bagus, AlBibirku tersenyum. Aku membalasnya setelah lebih dulu mengatur napas.
Alka S.A:
Thanks, JerJerome:
Apa kabar, Al?Alka S.A:
Baik. Kamu?Jerome:
Baik jugaAlka S.A:
Bagaimana di Jepang?Jerome:
Loh kok kamu tahu aku di Jepang? xDAlka S.A:
Nggak mungkin nggak tahu kan kalau kamu upload YouTube kegiatanmu dan sering snapgramJerome:
Hehehe. Di sini enak, Al. Aku mulai terbiasa. Kamu gimana? Aku udah lama nggak dengar kabar kamu
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKA (dan 10 Permohonan)
Fiksi UmumAku Alka Senarya Al Lail, seorang perempuan pengidap kanker tulang. Kata dokter, hidupku tidak akan bertahan lama. Oleh sebab itu aku membuat sepuluh permohonan sebelum aku tak ada lagi di dunia ini. Semoga semesta mengabulkan ke sepuluh permohonan...