Langit sepenuhnya gelap, malam sepenuhnya hening tatkala aku bertarung mempertaruhkan nyawaku yang ketiga kalinya. Di kala sebagian besar manusia tertidur dalam lelapnya, aku berpeluh keringat, bersimbah darah, menjerit sekaligus mendorong satu makhluk agar segera keluar dari tempatnya bersemayam selama sembilan bulan. Rahimku.
Sebuah teriakan nyaring mengantar kesadaranku yang kian menurun. Samar-samar... kulihat bayiku yang masih basah berwarna kemerahan menggeliat di tangan seorang perawat. Di sampingku, Sena mencium keningku.
Diletakkannya bayiku di atas dadaku. Matanya terpejam, bibirnya begitu kecil. Jemari tangan dan kakinya mungil.
"Namanya Alka," bisik Sena.
Aku, yang waktu itu dalam kondisi terlemah, menyerahkan nama bayi ini kepadanya.
"Alka Senarya Al Lail," sambungnya lagi.
Di sentuhan pertamaku dengan Alka, aku berdoa semoga semesta selalu bersahabat baik dengannya. Pertama kali menyusuinya, aku berdoa semoga ia tumbuh menjadi gadis yang baik, yang selalu menghargai orang lain, dan bisa menjadi pahala yang mengalir untukku dan Sena ketika kami kembali nantinya.
Alka, dunia tidak akan selamanya baik ke kamu. Tetapi, jangan pernah berhenti berbuat baik.
Ia tumbuh sehat seperti kakak-kakaknya. Meskipun ia tidak setangguh kedua kakaknya, namun ia kuat dengan caranya sendiri.
"Coba ulangi. Bun-da..." Aku menimangnya. Waktu itu umurnya satu tahun lebih. Rambutnya masih tipis dan air liurnya membasahi sekitar bibirnya.
"Nda..." Dia mengikuti.
Kami semua tertawa.
"Yang ini siapa?" Sena menunjuk dirinya sendiri.
"Yah..." jawabnya melihat Sena dengan matanya yang bulat.
"Yang ini?" Aku menunjuk Army.
"Kak..."
Army, yang masih berumur empat tahun, tertawa.
"Yang ini?" Sena menunjuk Koko.
Anak itu diam, matanya menatap Koko bingung.
"Ko-ko," kata Koko mengarah ke Alka.
"Ko..." Alka mengikuti.
Selalu ada keceriaan saat aku dan Sena membesarkan ketiga anak kami. Tidak bisa dipungkiri kalau terkadang aku senewen sendiri karena mengurus tiga anak yang jarak umurnya berdekatan sangatlah memusingkan, menguras tenaga, emosi, pikiran dan batin.
Belum kelar aku mengganti popok Alka, Koko dan Army bertengkar di ruang tamu. Belum kelar aku menyusui Alka, Koko memberantaki pakaian yang baru selesai aku setrika. Belum rampung aku memandikan Koko, Alka sudah menjerit di kamarku, meminta susu. Belum tuntas aku menyuapi Army, Koko malah iseng membangunkan Alka yang tengah tertidur pulas.
Melelahkan. Akan tetapi membahagiakan di waktu bersamaan. Aku menikmatinya lebih dari aku menikmati pekerjaan mana pun.
Aku mendapat cibiran dari teman-temanku. Entah teman kantor dulu, atau teman sekolah. Mereka bilang, aku menyia-nyiakan pendidikanku dan berakhir menyedihkan di rumah menjadi ibu rumah tangga. Aku menanggalkan kemeja kantor hanya demi daster lusuh. Aku meninggalkan karirku dan menggantinya dengan mengurus dan merawat anak juga suamiku.
"Gelar M.Si kok ujung-ujungnya di dapur."
"Magister Fisika cuma ngurus anak?"
"Kenapa nggak nerusin karir? Padahal bisa dapat gaji tinggi, loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKA (dan 10 Permohonan)
Tiểu Thuyết ChungAku Alka Senarya Al Lail, seorang perempuan pengidap kanker tulang. Kata dokter, hidupku tidak akan bertahan lama. Oleh sebab itu aku membuat sepuluh permohonan sebelum aku tak ada lagi di dunia ini. Semoga semesta mengabulkan ke sepuluh permohonan...