1;Benteng

68 5 0
                                    

"Okay. Jadi Fabricia, lo mau kan temenin gue ke kantin?" Tanya seseorang yang duduk disamping Ricia.

Tanpa menoleh Ricia menjawab jengah, "Gak"

"Hampir dua tahun lo sekolah disini, tapi ke kantin aja bisa dihitung"

Ricia tidak menanggapi, memilih membereskan buku bukunya yang diatas meja lalu berdiri hendak ke perpustakaan. Menatap datar satu satunya sahabat yang dia punya di sekolah ini. Atau mungkin di dunia ini? Wajahnya datar dan dingin, melunturkan aura lucu karena mata bulat dan pipi gembulnya.

"Ra, minggir" Ra atau yang lebih jelasnya adalah Ovra, mendelik kesal.

Setiap hari dia membujuk supaya Ricia mau diajak pergi ke kantin. Dan setiap hari juga dia mendapat balasan yang mengecewakan.

"Emang kenapa sih sama kantin? Lo trauma? Atau sebenarnya lo indigo dan bisa lihat kalau di kantin banyak setan?" Tanya Ovra beruntun, menyingkir memberi jalan untuk Ricia lalu dia mengikuti dari belakang.

"Ck. Emang ya, kalau di kantin perasaan gue suka gak enak gitu. Kayak ada feeling jelek" menatap Ricia yang sedari tadi hanya diam.

"Tapi Caa-Okay" menciut saat melihat delikan tajam dari Ricia.

"Habis nama lo susah. Gue harus manggil apa? Fab? Ric? Cia? Apaan dah" Ovra dengan kesal mengabsen panggilan untuk Ricia, sahabatnya itu sangat tidak suka jika dipanggil Ca olehnya. Kan biar pendek maksudnya.

"Fabricia" jawab Ricia tegas. "Kenalan ulang?" Ricia sarkas.

"Lupain" mengibaskan tangannya acuh. "Jadi lo beneran bisa lihat setan?" Tanya Ovra kembali, masih penasaran apakah Ricia indigo atau bukan.

Saat mendengar deheman dan anggukan samar dari Ricia, Ovra hampir menjerit. Tidak menyangka jika selama ini ia berteman dengan seorang indigo. Saat akan bertanya lebih lanjut, Ovra kembali memakan hati dengan jawaban tajam tetapi diucapkan dengan santai dan mata datar seolah mengejek oleh Ricia.

"Tiap hari gue lihat lo"






**






"Temen lo yang songong itu masih gak mau diajak kekantin?"

"Siapa dah?" Tanya Ovra bingung, teman? Songong? Siapa?

"Yang suka pake barang barang mahal"

"Fabricia? Dia nggak songong. Emang mukanya dari pabrik udah begitu" jelas Ovra sedikit ketus, dia sangat tidak menyukai jika ada yang menjelekan Fabricia.

"Ck. Ra, setiap gue senyumin malah cuma angkat alis sebelah. Gimana gak gue bilang songong? Padahal siapa sih yang bisa nolak pesona kakak basket?" Sombong lelaki yang sedari tadi duduk di depan Ovra. Wajahnya tampan, tinggi dan berprestasi.

Ovra yang sibuk memakan mie pedasnya jadi terbatuk, menatap jijik kearah lelaki yang mengaku memiliki sejuta pesona itu.

Lelaki yang menganggap dirinya adalah yang paling berharga di dunia itu memang selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan sejak kecil. Memiliki keluarga yang harmonis, dan juga kaya raya. Ibunya yang mengajarkan untuk bahagia dalam hal apapun membuatnya menjadi seorang yang ceria. Pintar dalam bidang pelajaran maupun olahraga, postur tubuhnya tinggi tegap dan memiliki otot yang kekar. Wajahnya berkarismatik, dalam sekali kedip dia akan mengencani gadis manapun yang ia sukai.

"Tin, lo boleh minta tolong gue buat deket sama cewek manapun, tapi jangan Ricia"

Justin Salaman atau kerap disapa Justin, menatap heran. Memangnya kenapa dengan Fabricia?

"Ovra Qeisa, kalau gue pacaran sama Fabricia pasti elo juga kena getahnya. Lo bakalan terkenal dan langsung banyak cowok yang mepet"

"Sekarang gue udah terkenal ya" sarkas Ovra,

See The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang