2;Luka Masing Masing

47 5 0
                                    

Memasukan motornya ke garasi rumah, Beltran mengacak rambutnya sebentar. Yang tadinya sudah berantakan kini semakin berantakan. Menaiki tangga menuju pintu yang langsung pada ruang keluarga. Belok kanan menuju tangga utama naik ke kamarnya.

Merebahkan diri diranjang kingsize bedcover abu abu. Menatap langit langit kamar yang berwarna putih. Menghela nafas, menoleh kiri kanan.

Krik krik

Ini, terlalu hening.

Biasanya memang seperti ini, tetapi rasanya kali ini berbeda. Hening sekali. Lelaki yang masih lengkap memakai seragam futsal itu bangkit, membuka tirai pintu kaca menuju balkon. Tidak ada apapun. Biasanya, jika terlalu hening seperti ini akan ada sesuatu terjadi.

"APA APAAN INI"

Beltran menoleh cepat, berjalan cepat keluar kamar menuju pembatas tangga. Melihat adik perempuannya yang kembali dimarahi.

"NILAI MACAM APA INI? KAMU PIKIR PAPA AKAN MENERIMA?"

Beltran menghela nafas, adiknya menunduk dalam. Mendengarkan segala caci maki yang dikeluarkan oleh papanya.

"Jika kamu tidak memperbaiki nilai saat ujian nanti, tidak usah berharap bisa kembali ke rumah ini" papa berlalu pergi setelah melempar kertas hasil ujian milik Helen.

Beltran berlari turun, memeluk erat Helen yang langsung menangis.

"Helen hiks nggak pinter kayak hiks kakak" Helen mencengkram kuat lengan Beltran, "papa hiks nggak hiks...sa...yang Helen"

Beltran diam. Mengeraskan rahang menahan segala emosi yang siap meledak. Mengelus kepala Helen sayang.






**






Ricia diam. Menatap hampa sang mama yang terbaring lemah di rumah sakit. Segala infus dan kabel entah apa yang Ricia tak mengerti terpasang dibadan wanita yang terlihat lebih tua dari usianya. Terlihat beberapa perban dan jahitan dikepala dan pergelangan tangan. Lagi lagi mamanya kembali mencoba bunuh diri. Semakin lama, mamanya semakin depresi dan lemah. Ia sering berteriak marah entah pada siapa. Ricia tak pernah kembali ke rumah, ia memilih menetap dengan segala kecemasan di Apartemen. Enggan melihat luka sang mama semakin jelas.

Menundukan kepala dalam menangis lemah menumpahkan segala sedih dan pedih yang selama ini ia pendam sendiri. Jika ada papa, ia akan dimarah habis habisan karena menangis. Persetan.

Bertanya penuh luka dalam hati kenapa ia harus menjalani hidup sulit seperti ini, kenapa semua hal bahagia harus menghilang begitu saja. Dulu, mama tidak pernah ingin melihat Ricia menangis. Sekarang? Mama adalah alasan mengapa Ricia menangis. Mama yang selalu menjadi alasan Ricia tersenyum bahagia bahkan sudah tak bisa menarik bibir. Selalu duduk termenung atau marah marah tak jelas. Mengabaikan Ricia yang juga sama rapuhnya. Mereka memiliki luka yang sama tetapi tak pernah menyembuhkan bersama. Ricia tertinggal jauh. Duduk disudut ruangan gelap membuat luka semakin menoreh dalam. Menarik diri dari gemerlap dunia. Membentuk dinding kokoh tidak ingin didekati. Ricia menjadi pendiam meniru mama, menjadi sulit tersenyum meniru mama, menjadi tak tersentuh meniru mama.

Bukankah anak paling hebat dalam hal meniru orang tua?

Ricia membuktikannya.






**






Ricia turun dari mobil barunya. BMW I8 berwarna hitam adalah hadiah dari papa karena nilainya sempurna diujian kemarin. Menarik perhatian para penghuni sekolah karena tidak ada yang pernah membawa mobil semewah itu sebelumnya. Beberapa mendecak kagum dan tidak sedikit yang mencibir iri.

See The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang