6

19 2 0
                                    

Bara seperti biasa melakukan hukamannya dengan santai.
Ia sadar apa yang sedang ia lakukan ini memancing mata murid-murid lain untuk melihat serta menggosipi dirinya.
Tetapi seperti biasa juga Bara akan tetap tidak peduli.

"Rafkaaaaaa, balikin kotak pensil gue"
suara nyaring itu membuat pergerakan Bara terhenti, ia melihat seorang gadis yang sedang berlari mengejar seorang laki-laki yang sedang membawa kotak pensil berwarna hijau gelap.

"Raf, gue cape. Balikin gak."

"Ambil aja kalau bisa"
Rafka memeletkan lidahnya sambil melihat raut wajah Viqa yang terlihat lelah.

"Raf balikin atau gue lempar pake sepatuh nih!"

"Lempar aja!"
Rafka menantang sambil terkekeh.
Tepat saat Rafka melewati Bara sepatu Viqa dengan cepat melesat tepat mengenai kepala.
Tetapi bukan kepala Rafka melain kan kepala Bara.

Viqa menutup mulutnya karena kaget sedangkan Rafka terdiam menyaksikan wajah laki-laki yang ada di belakangnya itu.
Bara memegangi kepalanya dengan sedikit meringis.
Ini lumayan membuat kepalanya nyeri.

"Aduhh Bara. Maafin gue ya."
Viqa menghampiri Bara dengan wajah panik.

"Raf pergi raf"
Tidak ada suara yang terdengar karena Viqa hanya membuka mulutnya dengan mata yang mengisyaratkan agar Rafka cepat melindungi diri.

"Raf pergi plissss" mohon Viqa.

Rafka pun menurut, sebelum pergi ia menyatukan kedua telapak tangan membentuk permohonan maaf.

Setelah Rafka pergi, Viqa memberanikan dirinya untuk memegang kepala Bara.
Belum sempat Viqa menyentuh kepala laki-laki itu, tangannya sudah di tepis lebih dahulu oleh Bara.
Viqa cukup kaget karena Bara menepisnya dengan kuat.

"Maafin Bara, gue enggak sengaja."

Bara berdecak menunjukkan ketidak sukaannya dengan ketara.

"Gue obatin ya, itu agak sedikit luka. Ayo ke uks."
Viqa hendak memegang tangan Bara tetapi gadis itu mengurungkan niatnya karena ia tidak ingin merasakan sakit di tangannya karena penolakan kasar Bara lagi.

"Pergi."
Suara Bara yang datar serta bulat memerintahkan Viqa untuk pergi berhasil memundurkan langkah gadis itu. Hanya dua langkah tidak lebih.

"Gue obatin dulu ya,"
Tawar Viqa dengan hati-hati.

Bara membanting pel-an yang sedang ia pegang dengan keras.
Matanya lurus ke arah Viqa.

"Gue bilang pergi ya pergi! Lo masih ngerti bahasa indonesia enggak?!"

"Tapi gue mau ngobatin luka lo Bara!" Suara Viqa tidak kalah lantang di hadapan Bara.

"Astaga" Bara menatap Viqa dengan geram. Ia berjalan melewati Viqa begitu saja sambil menabrak bahu gadis itu dengan keras.

Viqa terdiam sebelum akhirnya ia membalikkan tubuhnya untuk melihat langkah Bara yang mulai menjauh.

Viqa tersenyum miris sambil memegangi dadanya yang sedikit terasa sesak.
Ia menatap sepatu hitam yang tergeletak tidak jauh dari tempat Bara berdiri tadi. Ia melangkah dan memakai sepatu itu kembali.
**
Bara memasuki kelasnya dengan raut wajah yang tidak damai lagi.
Ada kemarahan yang ingin ia keluarkan. Bukan karena sakit di kepalanya tetapi tidak tau mengapa fikirannya penuh dengan nama Viqa.
Ada sedikit rasa bersalah yang menghantui Bara saat ia mengingag kejadian di lapangan Basket tadi pagi.

"Bar lo kenapa?"
Dimas bertanya dengan hati-hati.

"Bar kepala lo berdarah?"
Tanya Gema yang menyadari ada darah yang mengering di sudut kening Bara.

Bara mengalihkan padangannya tidak ada niatan menjawab pertanyaan teman-temannya.

"Kalau ada apa-apa tuh cerita Bar."

"Males"
Jawab Bara sambil duduk di bangku yang bersebelahan dengan Tomi yang
asik bermain game.

"Cerita Bar, nanti Gema kasih solusi." Ucap Tomi asal-asalan.
Telinganya memang mendengar percakapan sahabat-sahabatnya itu, tetapi mata laki-laki itu tetap fokus pada layar ponsel.

Bara memejamkan matanya sambil menikmati suara musing yang mengalir dari headset yang ia pakai
Hingga suara bel masuk berbunyi membuat semua murid-murid menghentikan kegiatan merak karena guru Geografi sudah memasuki kelas.
Guru tersebut menjelaskan tentang pesebaran peta yang pada akhirnya berakhir dengan mengerjakan tugas.
Bara termasuk golongan anak yang cukup pintar sehingga ia tidak berkeliaran untuk menghampiri murid-murid juara kelas untuk mencontek jawaban.
Bahkan sahabat-sahabatnya pun begitu, mereka mengerjakan soal masing-masing.
Kalau saja Bara tidak sering bolos dan membuat ulah ia bisa saja merebut rangking di kelas ini.
Tetapi Bara malah tidak ingin sama sekali hal itu terjadi pada dirinya.

***
Pelajaran Geografi pun berakhir hingga di gantikan bel istirahat.

"Woy Dimas, lo mau kemana?"
Teriak Tomi yang sedang mengikat tali sepatunya.

"Nyamperin pacar lah. Gausah ikutin gue!"

Tomi berdecak sebal setelah selesai mengikat tali sepatunya.

"Lo masih diem di kelas Bar?"

"Lo ngusir gue?"

"Enggak gitu Bar, lo engga nyamperin pacar lo kaya Dimas?"

Bara tidak lagi menanggapi. Ia berjalan keluar kelas meninggalkan Tomi dan Gema.

"Beda ya orang yang udah punya pacar! Gue kapan coba?"
Adu Tomi kepada Gema sambil memasamg wajah miris.

"Cewek juga milih-milih kali, mana ada yang mau di duain sama handphone."
Tomi langsung terdiam tidak lagi menimpali ucapan Gema.
Ada benarnya juga, ia belum bisa meninggalkan Game yang telah mendarah daging di tubuhnya sejaknia duduk di bangku SMP.

Bara berjalan menuju toilet, setelah sampai di toilet ia menghadap ke depan cermin.
Ia sedikit memajukan kepalanya agar lebih jelas melihat luka yang berada di sudut keningnya.
Bara menghidupkan kran wastafel untuk menghilangkan bekas darah yang sudah mengering.

Bara berharap tidak akan bertemu lagi dengan gadis yang bernama Viqa lagi karena ia tidak ingin di hantui rasa penyesalan atas perlakuannya yang bisa di akui kasar terhadap Viqa.
Sebenarnya sangat mustahil permohonan Bara akan terKabulkan. Sebab mereka masih satu sekolah, kecuali Bara rela pindah sekolah baru ia tidak akan bertemu dengan gadis itu lagi.

BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang