Bagaimana?

672 55 22
                                    

Kini Archad mengerti kenapa ada seseorang yang memintanya membimbing Alania.

"Udah, gak usah diterusin kalo gak sanggup," ucap Archad memberhentikan Alania. Yang disuruh berhenti tentu saja menurut.

"Gue gak pernah ceritain ini ke siapapun, lu yang pertama kali, gue gak tau siapa yang ngajuin permintaan itu dan darimana dia tau gue....sedikit abnormal," Alania menyeruput choco latte-nya, tenggorokannya terasa kering karena menceritakan kejadian itu.

"Dan gue baru pindah ke sini sama keluarga baru gue pas masuk SMA. Disini jauh dari tempat tinggal gue yang dulu, gue gak yakin ada temen SMP yang pindah ke sini juga," Alania mencoba menerangkan bahwa ia benar-benar tak tau siapa yang mengajukan permohonan itu.

"Apa keluarga lama lu juga ikut?" Archad menelan ludahnya karena merasa ngeri dengan pertanyaannya sendiri.

Alania mengangguk, "Iyalah, mereka tempat gue berbagi. Orang tua asuh gue udah tau kalo gue indigo, tapi mereka bersyukur karena gue jadi masih bisa komunikasi sama keluarga lama gue. Gue beruntung bisa dapat keluarga baru yang ngertiin gue."

Archad juga sedang mencoba mengerti perasaan Alania, dia sungguh gadis yang kurang beruntung. Kehilangan keluarga dan penglihatannya dalam suatu kecelakaan. Ketika penglihatannya kembali, ia malah mendapat kekuatan lain untuk melihat hal gaib.

Pikirannya langsung berimajinasi jika seandainya Ivi, adiknya, yang ada di posisi Alania, sudah pasti ia sebagai kakak juga akan merasakan penderitaan adiknya.

"Lu gak usah takut sama gue, gue gak bakalan bilang kalo ada yang ngikutin elo kok," Alania membuyarkan lamunan Archad.

"Lah itu tadi lo bilang ada yang ngikutin gue," Archad langsung bergidik ngeri.

Merasa salah bicara, Alania segera meminta maaf, "Oh iya ya, maaf. Tapi beneran deh ada yang ngikutin elo. Dia cewek cantik, tinggi, putih pucat, ada bekas robekan di pipinya..."

"Sekarang gue tau kenapa temen-temen lo dulu ngejauhin lo," kesal Archad.

"Eh?"

Mereka berdua kini sudah berjalan-jalan di taman kota.

"Apa pernah ada arwah penasaran yang minta bantuan elo?" Archad memulai percakapan baru mereka.

"Mmmm... Lumayan sering sih. Lu mau denger satu cerita?" Tawar Alania. Sebenarnya Archad takut, tapi ia mencoba memberanikan diri, karena Alania hanya punya dia sebagai teman berbagi.

"Bulan lalu gue pernah beberapa hari gak masuk sekolah. Sebenernya bukan karena gue sakit, tapi...tubuh gue dipinjam sama arwah," Alania menceritakannya dengan tenang seakan itu hal biasa, berbeda dengan Archad yang langsung takut tapi tetap berpura-pura berani.

"Kalo lo takut, gak gue lanjutin," Alania tentu saja bisa membaca ekspresi Archad.

"Tapi gue penasaran." Jawaban Archad membuat Alania terkekeh geli.

"Waktu itu gue bangun pagi-pagi dan hal pertama yang gue liat itu kepala berdarah-darah muncul di depan gue. Udah mau jerit kalo aja kepalanya gak buruan dijauhin," Alania melanjutkan ceritanya. "Dia itu polisi yang meninggal karena ditabrak penjahat yang mau ditangkap. Dia langsung bilang mau meminjam badan gue buat nangkep itu penjahat. Gue takut kan gimana kalo nanti badan gue yang gak selamat, soalnya gue gak pernah minjemin badan gue sekalipun."

Arwah polisi itu langsung menenangkan Alania, "Tenang. Penjahat itu gampang luluh sama cewek. Jadi dia gak mungkin nyangka kalo badanmu bakalan bunuh dia."

Masih setengah ragu akhirnya Alania menyetujui pertukaran jiwa itu. Tubuhnya merasa sangat sakit ketika melepaskan jiwanya dari badan. Segera setelah jiwanya lepas, arwah polisi itu langsung masuk ke tubuhnya.

Alania baru pertama kali terbang bebas di udara tanpa sayap. Ia merasa mungkin seru jika hal ini dilakukan berulang-ulang, tapi perjuangan untuk keluar dari tubuhnya itu sangat sakitt.

Jadilah siang itu Alania dan tubuhnya yang dimasuki arwah polisi berkeliaran di sekitar markas sang penjahat.

Tubuh Alania mengetuk pintu markas itu, kemudian muncullah anak buah sang penjahat yang sangat sangar. Badan besar bertato dan lidah serta hidungnya ditindik.

Mereka bertanya mau apa Alania datang. Tubuh Alania langsung mengedipkan matanya dengan sok imut dan berbicara lemah lembut. Alania yang melihat kejadian itu menganggap sang polisi semena-mena menggunakan badannya.

Archad yang mendengar cerita itu tertawa terbahak-bahak karena membayangkan Alania dengan gaya sok imutnya. Alania langsung menjitak kepalanya.

"Udah, gak usah di lanjutin. Ntar ngakak geli sendiri gue," Archad masih tertawa meledek.

Memang cerita itu sebenarnya berhenti sampai disitu karena Alania ditolak masuk ke dalam markas.

Tak jauh dari mereka, seorang gadis cantik sedang memerhatikan mereka. Afrodit, gadis itu menatap tajam pada Alania.

"tu cewe sialan mau apa sekarang? Kemarin dimarahin, sekarang malah ketawa bareng, dasar gak tau malu," Afrodit menyentakkan kakinya dan beranjak pergi.

Malamnya, Alania tersenyum-senyum dan salah tingkah sendiri di depan meja belajar. Ia mengingat semua kejadian sore tadi bersama Archad. Tiga makhluk di pojokan kamar yang memerhatikannya bertanya-tanya sendiri.

"Itu si anak setan lagi ngapain?" Arwah Kakak Alania, Kahzi, bertanya pada ibunya.

"Ibu emang udah jadi setan, nak." Balas ibunya dengan memberi jitakan ke kepala anak lelakinya.

Kahzi langsung meminta ampun.

Sang Ayah menghampiri Alania dan melayang di sampingnya. "Lagi jatuh cinta, ya? Cieeee...," ledek Ayahnya.

"Yah, dia itu cowo baik-baik kok," Alania menanggapi ledekan Ayahnya. Ayah membelai rambutnya, walau itu sama sekali tak terasa karena mereka ada di alam yang berbeda. "Tapi kayanya dia benci deh sama aku," sambung Alania.

"Kalo udah tau dia benci sama lo, kenapa masih di kejar? Bego jangan di pelihara," teriak kakaknya yang langsung dihadiahi jeweran sang ibu.

Alania membalikkan badannya, menoleh pada Kahzi, "Kakak mau mati dua kali?"

--------------------------------------------------

Voments nya ditungguuuuuuuu~~~~ ^^ untuk selanjutnya mungkin pake author pov ya wkkk~~

A L A N I ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang