15. Raka pergi selamanya?

3.4K 208 16
                                    

Jangan pergi ....
Aku belum siap kehilanganmu

-


Sudah tiga club malam ku datangi, tapi gak keliatan juga batang hidung si Raka. Padahal setahuku Raka itu mancung. Salahku juga, gak nanya di club mana dia berada.

Aku mengusap wajah frustasi, detak jantungku tiba-tiba meningkat, jangan-jangan aku jatuh cinta. Tapi kayaknya tidak, lebih mendominasi rasa khawatirku terhadap Raka.

Kupukul stir dengan kuat untuk melampiaskan segala amarah dan rasa frustasi ku karena tak kunjung kutemukan keberadaan Raka. Gak peduli ini mobil orang, kan aku juga orang.

Anak itu gak bisa minum banyak tapi sok banget pergi ke club segala, pasti dia lagi mabuk dan gak bisa pulang sekarang.

Ingatanku melayang ke kejadian waktu itu, dimana Raka menciumku dalam keadaan yang mabuk berat. Sungguh kesialan bagiku waktu itu, gak mungkin bagiku untuk mukul dia yang lagi kobam parah.

Apa jangan-jangan Raka ke club itu lagi?

Gak mau berpikir panjang lagi, langsung saja ku tancap gas menuju club yang terlintas dalam benakku.

Sekitar setengah jam lamanya, akhirnya aku sampai di club rose, langkah kaki jenjangku menuju club. Baru saja sampai di depan pintu, aroma alkohol langsung menyengat indra penciuman ku. Pandanganku menyapu seisi club, siapa tau dapat gaji.

Perhatikan ku menuju ke arah seseorang yang sepertinya terduduk lemah di lantai, memegangi perutnya. Wujudnya semakin nyata ketika jarak di antara kami semakin menipis. Itu Raka, dia terlihat meringis kesakitan sambil memegang perutnya.

Aku langsung menghampirinya, mensejajarkan tubuhku dengannya. "Kenapa lo?"

Dia menggeleng lemah, wajah dan bibirnya terlihat pucat seperti mayat hidup, pandangan matanya yang sayu terus menatap ke arah perutnya yang sudah di banjiri darah segar.

Club macam apa ini, yang membiarkan pengunjungnya terluka begini! Akan kutuntut mereka jika Raka terluka parah.

"Ayo, gue gendong." Aku jongkok di depan Raka dengan posisi badanku membelakanginya agar dia dapat naik ke punggungku.

"Ayo naik." Ulangku, menepuk punggungku yang masih terasa kosong.

"G-gak ... bisa," ucapnya lemah.

Yaelah, ni anak lemah juga ternyata.

Dengan sigap, ku putar tubuhku menghadapnya. Ku rengkuh punggung dan lututnya, menggendong Raka ala bridal style. Beberapa pasang mata sempat melirik ke arahku, memandang dengan berbagai ekspresi, ada yang memandang jijik dan ada pula yang mengungkapkan ekspresi kekaguman. Masa bodo lah sama mereka, toh aku tak kenal mereka.

Setelah masuk ke dalam mobil, ku lajukan mobil seperti orang kesetanan. Canggih juga sih kalo setan beneran bawa mobil.

Sungguh, saat ini aku khawatir pada keadaan Raka, ku genggam sebelah tangannya, menyalurkan kekuatan padanya.

Mungkin, begini lah rasa takut yang sebenarnya, rasa takut kehilangan pada sosok yang selalu berada di sampingmu, orang yang tak pernah meninggalkanmu barang sedetikpun.

Inikah yang di rasakan oleh Raka ketika aku terluka? Sungguh aku panik menghadapinya yang terus merintih, bibirnya terlihat bergetar.

"Tahan dikit ya, bentar lagi sampe." Ku coba menenangkan Raka yang menatap ke arahku. Sudut bibirnya terangkat sedikit.

"Kalo emang ini hari terakhir gue sama lo." Raka terlihat menjeda ucapannya, "gue ikhlas."

Anak itu menarik napasnya susah payah. "Karena ... gue udah liat semua yang gue mau." Raka merintih, semakin menekan perutnya, membuatku bertambah panik. Senyum lemah kembali terukir di wajahnya yang pucat.

"Rasa khawatir lo, gue pengen liat itu dari dulu, asal lo tau." Air bening terlihat menetes dari sudut mata Raka.

Aku sangat terharu mendengar semua yang di katakan Raka hingga sudut mataku terasa basah.

Benarkah selama ini aku terlalu dingin terhadapnya?

Dengan kasar, kuusap air mata yang sudah menetes menuju daguku.

"Ngomong apa sih lo, itu luka kecil, gak akan buat lo mati, jangan buat usaha gue sia-sia."

Aku memfokuskan pandangan ke arah jalan. "Dan ... jangan pernah mikir kayak gitu, gue gak suka."

Aku tak ingin melihat ekspresi yang Raka ungkapkan. Satu yang pasti sekarang, wajahku memanas, antara menahan emosi dan ... aku tak tau pasti rasa apa ini, sudahlah.

Saat menoleh ke arah Raka, ia terlihat ingin memejamkan matanya.

"Heh, jangan tidur lo. Gue pukul nih." Ancamku padanya, hanya tak ingin dia terlelap. Mungkin dia tak tau ini, tapi jika dia tertidur dalam keadaan seperti ini, itu membuat rasa khawatirku bertambah berkali-kali lipat.

Tak selang berapa lama, kami sudah sampai di rumah sakit terdekat, ku gendong Raka, meminta pertolongan pada suster ataupun dokter yang ada di dalam rumah sakit.

"Dok, tolongin temen gue," ucapku pada dokter yang ingin menangani Raka.

"Tolong anda urus semua administrasinya."

Ck, dalam keadaan genting gini masih aja mikirin uang dan uang.

"Baik Dok, tapi kalo sampai temen saya kenapa-kenapa karena gak dapet pertolongan pertama, jangan salahin saya kalo saya tuntut rumah sakit ini!" Ku usap wajah ku dengan gusar.

Aku kesal, frustasi dan takut kehilangan, semua rasa ada pada diriku sekarang. Aku sadar tak dapat menyalahkan tindakan dokter yang ada di depanku ini, karena memang itulah peraturan rumah sakit.

Dokter itu segera masuk ke dalam ruang penanganan, sedangkan aku menuju kasir untuk mengurus segala administrasi dan kawan-kawannya.

Sudah sekitar dua jam lamanya, namun sang dokter tak kunjung keluar dari ruang itu. Apa sebenarnya yang terjadi pada Raka? Tiba-tiba jantungku berpacu lebih cepat, rasa khawatirku makin menjadi.

Ya Tuhan, jangan ambil Raka. Cuma dia orang yang selalu ada buat hamba, di saat suka maupun duka. Tolong jangan cabut nyawanya.

Aku terus berdoa dalam hati, mengharapkan kabar baik yang datang dari dalam ruangan tempat Raka di tangani.

Melirik jam di pergelangan tanganku. Ah, sudah larut rupanya, pantas saja mataku terasa berat dan lelah, namun rasa kantukku tak dapat membuatku lupa akan keadaan Raka.

Cklek!

Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang dokter dan beberapa suster yang ada di belakangnya.

"Maaf Nak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Apa ini?

Kaki ku meluruh, tak sanggup menopang berat di tubuhku. Aku terduduk di kursi, mengusap wajah yang sudah sembab.

Masihkah aku sanggup mendengarkan semua kata-kata dokter ini yang terasa begitu menyayat hatiku? Perih, sakit, sangat sakit rasanya. Ku remas kuat dadaku yang bergemuruh, menahan rasa sakit yang mendera.

Pandanganku tiba-tiba menggelap, seiring dengan tubuhku yang ambruk ke lantai.

───────•••───────
Akankah Raka mati?
Aku pengen cepet kelarin ini cerita
Kira-kira bakalan sad ending atau happy ending, hayo yang mana?

Vote dan komen ya


Kamis, 14 Mei 2020

Out Of ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang