"Makasih ya?" ucap Rinai lalu memberikan helmnya pada Anggara. Karena saat pulang dari rumah Anggara, Rinai merengek minta diantarkan pulang oleh Anggara. Awalnya Anggara menolak, tapi berkat paksaan mamahnya, ia melunak.
"Hm."
"Jutek banget sih. Jangan jutek-jutek nanti kamu gak punya temen loh."
"Gue bukan anak kecil."
"Mau mampir dulu?"
Anggara melongok ke arah rumah Rinai yang sepi. Hanya lampu bagian depan yang menyala.
"Lo tinggal sendiri?" tanya Anggara.
"Sama mamah. Papah udah meninggal."
"Oh, sorry. Gue gak bermaksud."
"Iya."
"Gue pulang dulu."
"Gak mau mampir?"
"Lain kali."
Rinai mengangguk kecil dan menatap punggung Anggara yang mulai menjauh. Setidaknya, ada kemajuan pesat hari ini. Rinai mendesah pelan. Lelah, sampai kapan ini akan berakhir. Mau tak mau, esok ia akan menyatakan kembali perasannya pada Anggara. Semoga saja Dewi Fortuna berpihak padanya, agar Anggara mau menerimanya. Rinai berbalik lalu memasuki rumahnya yang sangat sepi. Mamahnya belum pulang. Mamahnya akan pulang saat Rinai sudah tertidur.
Ini yang membuat Rinai seakan tak betah berlama-lama di dalam rumah. Selalu sepi seperti tak berpenghuni.
🎗️🎗️🎗️
"Darimana bro?" sapa Aksa saat melihat Anggara yang baru saja datang.
"Nganterin nenek sihir," ketus Anggara.
"Ck, sekarang nenek sihir. Besok pake 'sayang'," ledek Aksa.
"Diem lo playboy."
Aksa melirik Zain yang mukanya sudah seperti menahan amarah. Zai pasti menahan cemburu. Aksa menyeringai, ide bulus terlintas dibenaknya.
"Babas, lo tau gak sih? Rinai tuh suka sama lo, lo nya aja yang gak peka."
"Udah tau," balas Anggara jutek.
"Terus kapan lo mau pacaran sama Rinai? Dia kan baik, cantik, manis, badannya .... bagus," Aksa dengan takut-takut mengatakan dua kata terakhir.
"Iya Bas, gue dukung lo deh supaya jadian sama Rinai," timpal Radhit yang mulai mengerti permainan Aksa.
"Kalian apaan sih? Kok jadi bahas Rinai," sahut Zain nyolot. Cemburu mas?
"Yeh, kenapa? Orang Babas aja biasa kok. Kenapa lo yang sewot? Cemburu lo?"
"Enak aja. Udah lah, gue mau buat minum dulu," elak Zain lalu bangkit menuju ke dapur.
Setelah Zain pergi, Aksa dan Radhit saling berhigh five. Anggara yang melihat itu hanya menggeleng pelan. Kapan sadarnya mereka berdua, batin Anggara.
"Kalian kenapa?" Anggara menegur.
"Gak papa. Anak pinter gak boleh tau. Nanti bisa goblok," sahut Aksa.
"Heh, berarti kita goblok?" ujar Radhit.
"Gue sih engga. Lo aja kali," jawab Aksa enteng.
Tak lama, Zain muncul dengan empat gelas minuman berwarna orange lalu meletakkannya di atas meja. Mereka sepakat untuk belajar bersama malam ini. Meskipun akhirnya Aksa dan Radhit malah bermain game di ponselnya.
"Dit, tau gak?" ujar Aksa mulai mengoceh.
"Apa?"
"Tadi kan gue main cacing ya, masa tiba-tiba ada cacing kecil yang nabrak cacing gue yang udah besar dan bikin cacing gue mati. Dia punya akhlak gak sih? Jahat banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
NABASTALA [COMPLETED]
Teen FictionIni kisah klise tapi sebenarnya penuh permasalahan. Bagaikan bulan yang mengharapkan taburan bintang agar bisa menghiasi gelapnya malam. Si pelanggar peraturan dan si jenius. Dua kepribadian yang sangat berbeda, namun ada maksud di dalamnya. Tentang...