Abrisam Lesamana

9 4 0
                                    

Adela sedang membereskan barang-barangnya untuk pulang, ia menghela napas lega setelah disuguhi palajar matematika di jam terakhir membuatnya pusing, begitupun Syasya, yang mulai memasukan beberapa buku yang berserakan. Ya, meja mereka berdua yang selalu berantakan dengan buku dan pena. Tapi keberuntungan masih memihak, tak pernah mereka kehilangan pena-nya.

“Sya, gue nebeng lagi, ya?” Adela melirik Syasya. Syasya berdehem pelan dan mengangguk.

“Boleh-boleh aja sih, tapi lu kan bareng Abrisam,” sindir Syasya sembari terkekeh membuat Adela sebal saja. Adela memutar bola matanya malas.

“Lo yang gak bantuin gue kemaren!” cebik Adela kesal.

“Del, menurut gua, ya. Si Abri keknya gak sepenuhnya mainin lo. Bisa aja dia tulus, gak tau sih gue,”

“Lu sendiri yang bilang jangan percaya si Abri, lah,” celetuk Adela membuat Syasya cengengesan.

Adela hanya diam saja malas jika harus membahas orang itu.

“Tapi tetep aja dih, dia banyak pacarnya,” tutur Syasya lagi. “yauda ayo kalo mau nebeng, cepetan, nanti kalah cepet sama si Abrisam. Mumpung dia lagi molor,”

Adela refleks menengok ke arah Abrisam yang sedang dibangunkan oleh Anton. Ia menghela napas sembari mengangguk dan mengambil tasnya menyusul Syasya yang seperti dikejar hewan buas. Adela terkekeh sebentar dan melanjutkan perjalanannya.

Syasya melirik Adela dan melirik jalannya lagi “Ibu lo?” tanya Syasya tiba-tiba.

Adela mengernyitkan alisnya, dia sedikit tersentak. Bagaimanapun, pembahasan ini terlalu sensitif baginya. Ia menghela napas sebelum menjawab, “kemaren abis kontrol, katanya harus operasi,”

Syasya melotot sempurna, ia terkejut mendengarnya. Padahal, jika dilihat oleh penglihatan biasa. Ibunya terlihat sehat-sehat saja. Adela tersenyum tipis. Syasya sangat khawatir dengan keadaan Adela. Ia mengerti betul bahwa Adela yang sok senyum itu benar-benar cengeng. Syasya takut dia melakukan apa-apa saat berlarut sedih. Syasya menghela napas pelan menyesal telah bertanya “Lo, yang kuat ya,”

“Kalem aja sih, gue gak papa.” Adela menyengir memamerkan giginya. Di dalam hatinya, ia merasa sakit sekali. Hei, bagaimana tidak? Ini menyangkut orang terpenting dihidupnya. Tapi, Adela tidak bisa menangis di tempat umum. Dia tidak mau orang lain berasumsi bahwa dia cengeng. Tapi, ada kalanya Adela tidak dapat menahan air matanya yang memberontak untuk keluar. Itu di luar kontrol-nya. “Bapak gue sih masih sehat-sehat aja ya. Cuma kadang darah tingginya kambuh,”

Syasya mengangguk sembari tersenyum hambar. Demi apapun, akting Adela buruk sekali di mata Syasya “Main dulu, yuk, di rumah gue. Mumpung orang tua gue gak ada. Kita ngapain kek gitu.”

Cahaya melintas di mata Adela membuatnya bersemangat, ia meloncat kecil seperti anak-anak yang akan diberi lolipop “Setuju! Lagian mama sama papa gue lagi gak ada,”

“Bagus kalo gitu,”

“Izin dulu tapi.” Adela mengangguk dan meraih ponselnya untuk mengirim pesan singkat “Udah? Yuk!”

Adela mengangguk dan memakai helm Syasya. Mereka segera menuju ke rumahnya.

*

“Kapan, ya, terakhir gue nginep di rumah lo?” Adela menghempaskan tubuhnya di ranjang Syasya yang empuk dan luas. Ia meregangkan tubuhnya leluasa.

Syasya yang santai saat melihat Adela melotot kesal “Adela, ih! Buka sepatunya. Karpet gue kotor,”

Adela terbangun dan memamerkan giginya “Sorry,” ujarnya.

ABRISAM AURORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang