Chapter 10

72 11 8
                                    

🍁🍁🍁

Entah mimpi apa aku semalam. Pikiranku tidak fokus sama sekali hari ini sehingga beberapa kali mendapat teguran dari teman-temanku karena katanya aku terlalu banyak melamun.

“Shafi! Fokus, dong! Jangan kebanyakan melamun gitu! Acaranya tinggal ngitung hari, lho! Gimana, sih?!” protes salah satu temanku yang mungkin sudah merasa kesal melihat aku yang seperti ini.

“I-iya, iya ... maaf,” jawabku singkat. Tidak ingin memperpanjang masalah.

Menyebalkan.

Tidakkah mereka tahu bahwa pikiranku sedang kacau?!

Sudah pernah kubilang bahwa aku tidak suka dibentak dan merasa pusing saat dibentak. Tahu seperti ini, aku tidak akan ikut latihan. Cukup mengumpulkan rekapan presensi pada Bu Sri, lalu kembali ke rumah.

"Udah, nggak usah dipikirin. Makan siang, yuk!" kata Linda yang sekarang sedang bersamaku.

"Enggak, aku belum laper,” jawabku dengan lesu. “Em ... kamu lihat Risa, nggak?” Dari pagi sampai sekarang, aku belum melihatnya sama sekali. Apa dia tidak datang ke sekolah?

"Risa ... tadi, sih, dateng ke sini. Dianter sama cowo malahan. Tapi abis itu dia pergi lagi. Aku aja ngga sempet nyapa. Soalnya aku pas lihat, dia keluar dari ruang TU. Terus cowonya nungguin di depan gerbang bawa mobil putih.” Aku hanya ber-oh ria mendengar itu. Mungkin lelaki yang dimaksud Linda adalah Kak Fajar. Dan ... mungkin, mereka sudah mulai sibuk mempersiapkan momen bersejarah dalam hidup mereka nantinya, yang acaranya tinggal beberapa hari lagi.

“Kalo gitu ... aku pulang aja kali, ya, Nda?”

“Ayo makan dulu. Baru pulang. Udah dzuhur 'kan?"

"Alhamdulillah, udah. Em, aku pulang dulu ya, bilangin ke Bu Sri," ucapku. Aku berniat untuk naik angkutan umum.

"Eh, kamu pucet banget gitu. Kamu nunggu aku aja, Fi. Kamu ngga ada yang jemput, 'kan? Ntar nebeng sama aku. Kita satu arah, Fi. Jangan keras kepala deh. Kalo ada apa-apa nanti aku juga yang kena," Linda mengoceh. Benar juga apa yang dikatakannya. Tapi, aku sudah tidak betah di sekolah.

"Santai aja. Nanti aku hubungin Kak Raffa kalo ngga ada angkot."

"Loh, katanya Kak Raffa ada kunjungan kerja ke Banjar?" Hadeuh! Aku lupa bahwa aku sudah bercerita padanya bahwa hari ini tidak ada acara antar-jemput karena Kak Raffa pergi dan menjadikanku naik ojol pagi ini—dan aku nyaris terlambat.

"Eumm ... yaa ... Nanti aku naik ojek aja. Ya udah, aku pulang dulu. Assalamu'alaykum," ucapku beralasan.

Sesudah mengucap salam dan jabat tangan ala-ala perempuan, aku berjalan keluar gerbang bermaksud menunggu angkutan umum. Namun, sampi sekitar sepuluh menit aku menunggu, tidak ada satu pun angkutan yang lewat. Sedikit kesal memang. Apalagi teringat kejadian-kejadian di sekolah.

Apa pertemuan dengan Kak Fajar yang menyebabkan ini semua? Ah, tidak mungkin. Itu hanya pikiranku saja. Tapi heran juga. Entah mengapa setiap pertemuan kami tak pernah memberi kesan baik.

Berawal di toko buku, berlanjut di tepi jalan. Kuharap tidak ada pertemuan lagi dengannya setelah ini, Yaa Rabb. Meskipun aku tahu, mungkin itu adalah salah satu 'ketidakmungkinan'.

Sedalam Makna Sujud Cintaku [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang