Chapter 14

77 4 0
                                    

Aromaterapi yang kuhirup membuatku tersadar. Semburat cahaya sedikit demi sedikit masuk ke dalam retina mataku. Langit-langit rumah seolah berputar sehingga mataku enggan terbuka sempurna. Kepalaku terasa sakit seperti dihantam benda keras. Tulang-tulang yang ada pada tubuhku seperti remuk.

“Tiga puluh delapan koma sembilan, Yah.”

Astaghfirullah. Kita bawa ke rumah sakit aja, Bu.”

Kupaksakan diri untuk membuka mata meskipun pada akhirnya seperti menyiksa diri sendiri.

“Fi? Alhamdulillah, Yaa Allah. Akhirnya sadar juga,” ucap seseorang dari sampingku. Tidak ada respon selain berkedip dan embusan napas dariku. Telingaku mendengar tetapi mulutku seperti terkunci sehingga sulit untuk berbicara. Ah, sebenarnya bukan hanya mulut saja yang sulit digerakan. Seluruh badan terasa nyeri sekali sehingga aku tidak ingin melakukan pergerakan sedikit pun. Yang kuinginkan hanya menutup mata dan membiarkan diri terlelap dengan segala pikiran runyam di dalam otak. Bahkan sekadar minum saja harus dibantu duduk oleh Ibu. Sungguh, badanku seperti molusca.

Jilbab yang kupakai sudah basah oleh keringat padahal dari tadi aku menggigil kedinginan. Beberapa kali, aku merasa sesuatu yang basah menempel di dahi. Dan seringkali kudengar suara sensor benda di dekat wajahku. Sering pula aku mendengar suara perempuan menyebut sebuah bilangan.

“Tiga puluh delapan koma tujuh,” katanya untuk yang kesekian kalinya.

“Kita bawa ke rumah sakit aja,” kata Ayah dengan cemas.

“Engga, Shafi ngga mau. Shafi ngga pa-pa, kok,” sanggahku sambil berusaha bangkit dari tidur dan mengambil posisi duduk. Ibu membantuku untuk bersandar di tumpukan bantal.

“Tapi kamu demam tinggi, Nak.”

“Nanti habis minum parasetamol juga turun, kok, Yah. Shafi ngga pa-pa. Paling cuman masuk angin aja. Soalnya tadi ujan-ujanan.” Aku langsung teringat dengan kejadian tadi sore. Bagaimana keadaan Kak Dinda sekarang? Bukankah seharusnya Ayah dan Ibu lebih khawatir padanya daripada aku? Aku masih bisa mereka jangkau sedangkan kakakku entah ada di mana sekarang.

“Kak Dinda mana?” tanyaku. Berharap perempuan itu sudah berada di rumah dalam keadaan baik-baik saja. Tapi rupanya Kak Dinda memang benar-benar pergi dari rumah ini. Karena kedua orang tuaku mengatakan kalau mereka tidak tahu di mana Kak Dinda sekarang.

“Tadi ... ba'da Ashar. Waktu Shafi lagi baca Qur'an, Kak Dinda masuk kamar Shafi. Dia nangis, Yah, Bu.”

“Dia kelihatan banget lagi sedih. Tapi waktu Shafi tanya kenapa, Kak Dinda ngga jawab. Malahan Kak Dinda pergi gitu aja. Dia bawa koper, Shafi sempat ngejar, tapi ... Kak Dinda masuk mobil dan pergi.”

“Shafi udah manggil-manggil Ayah sama Ibu. Tapi ngga ada yang jawab sama sekali.”

Tidak ada yang berkata sepatah pun. Ibu menenangkanku sedangkan Ayah hanya bergeming. Air mataku mengalir dengan sendirinya.

“Yah?” sambil mengusap air mata, kuberanikan diri untuk bertanya kepada Ayah.

“Iya, Fi.”

“Shafi boleh tanya sesuatu?”

Kedua manusia di sampingku terdiam cukup lama. Bahkan sepertinya enggan mengeluarkan suara sebab Ayah hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyum kaku. Aku menarik napas dalam sebelum melontarkan pertanyaan yang selama ini mengganjal pikiranku. Tentu, menyiapkan kekuatan sebanyak mungkin untuk mendengar jawaban yang akan kudapatkan. Yang bisa saja melemahkan pertahananku.

"Apa yang sebenarnya terjadi?”

Ayah menunduk begitu dalam seperti sedang menahan sesuatu yang akan keluar dari kedua matanya. Aku beralih pada Ibu.

“Bu?”

“Iya, Sayang?”

“Ini Ibu Shafi, 'kan? Surga Shafi ada di sini, 'kan?”

Air mataku terus saja meleleh meski sudah kutahan sebisa mungkin bahkan sampai suaraku gemetar karenanya. Ibu menatapku lekat. Kedua bola mata itu menampakkan kilatan kaca. Menggambarkan betapa dalamnya kesedihan yang tersembunyi.

“Kenapa kamu tanyakan itu?” jawab Ibu sambil terus menatapku penuh selidik. Harap-harap aku mengatakan alasannya.

“Apa benar yang Kak Dinda katakan? Shafi cuma anak pungut?” Ibu menatapku semakin lekat. Sedangkan aku sibuk mencari jawaban di dalam bola matanya.

“Kamu anak Ayah, Fi,” katanya penuh keyakinan. Mataku mengalirkan sesuatu yang hangat di pipi. Sehingga membuat Ibu memelukku dengan erat. Membiarkanku menumpahkan tangis di dalam pelukannya. Perkataannya semakin membuatku merasa teriris. Otakku menangkap dua makna.

Pertama, aku memang anak Ayah.

Kedua, aku anak Ayah tapi Ibu bukanlah ibu kandungku.

Entah mengapa logikaku lebih berat pada makna yang kedua. Apa karena aku sudah mendengar secara langsung dari mulut Ibuku? Tapi, mengapa mereka setega itu menyembunyikan hal seperti ini dalam waktu belasan tahun lamanya? Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Sudah ribuan detik yang dilalui bersama. Sudah ribuan hari yang diisi bersama. Lantas, tidak adakah satu hari saja mereka mengatakan yang sebenarnya?

Aku tidak tahu rencana Allah bagaimana. Sehingga kenyataan pahit ini harus kutelan begitu saja.

•┈┈••••○○❁🍃🌺🍃❁○○••••┈┈•

🕊SujudCintaku🕊
~@diksifaa_


Author Menyapa :

Bissmillah,
Assalamu'alaykum, Readers! Allhamdulillah, part 14 publish! Semoga ngga bosan sama alur ceritanya, ya^^ Semoga setia sama Shafiyah juga. Dan semoga bermanfaat🌼 Jika tulisan ini melalaikan, ada baiknya tinggalkan saja.

Belum bosan untuk mengingatkan :
Vote,
• comment, and
• share!

[Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk!]
📌Sudah baca Al-Quran hari ini?📌

📖📖📖

Hadist:

“Semangatlah dalam menggapai apa yang manfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan bersikap lemah. Jangan pula mengatakan: Andaikan aku berbuat demikian tentu tidak akan terjadi demikian namun katakanlah: Ini takdir Allah, dan apapun yang Allah kehendaki pasti Allah wujudkan karena berandai-andai membuka tipuan setan.”

(HR Muslim 2664)

📖📖📖

Banjarnegara, 28 Desember 2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sedalam Makna Sujud Cintaku [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang