Chapter 9

81 13 0
                                    

🍁🍁🍁

"Kemuliaan jiwa seseorang ada pada tiga perkara, salah satunya adalah: Menyembunyikan penderitaan hingga orang lain menyangka bahwa engkau hidup enak."

-Copy.paste-

•┈┈••••○○❁🍃🌺🍃❁○○••••┈┈•

"FI? Gue boleh masuk, nggak?!" Suara cempreng Kak Dinda mengalun tak indah sama sekali sampai ke gendang telingaku setelah ketukan pintu kudengar sebelumnya. Tumben sekali dia meminta izin untuk masuk. Biasanya juga tidak.

Aku buru-buru mengelap air mata kebodohan di pipi. Kertas undangan yang sekarang sudah sedikit basah karena air mata, kumasukkan kembali ke dalam plastik dengan kilat. Setelah itu aku memperbaiki suara yang agak aneh karena menangis.

“Buka aja, Kak! Ngga dikunci, kok!” sahutku sedikit berteriak. Pintu pun terbuka. Kak Dinda masuk dan menutup kembali pintu kamar. Dia berjalan ke arah di mana aku berada.

“Mata Lo kok sembab? Lo nangis?” katanya pertama kali saat dia sudah dekat denganku.

Hn? Enggak, kok. Ini tuh tadi aku baca cerita di novel baru. Sad ending, eh, malah jadi ikutan nangis. Keren, sih, feel-nya dapet banget!” Ya, se-exited itu aku menyembunyikan kebenaran. Aku tidak lupa sama sekali kalau bohong adalah salah satu dosa besar. Dan aku berharap Allah mengampuni dosaku kali ini.

“Oh,” sahutnya seperti tidak ingin tahu lebih. Sejak kapan Kak Dinda peduli padaku? Ah, ya. Lupa. Tidak ada kata 'peduli' dalam kamus besar hidup Kak Dinda saat ini dan yang telah berlalu.

"Nih." Kak Dinda menunjukkan kertas yang sama dengan yang kupegang. Maksudku, yang kusembunyikan. Aku berusaha tersenyum manis meskipun sebenarnya terasa hambar setelah membaca dua nama dengan font style dan ornamen-ornamen yang berpadu padan di atas kertas berwarna putih gading dan emas pada penggunaan font colour.

“Oh, Kakak diundang?"

Dia mengangkat bahunya dan mengambil posisi duduk di dekatku. Aku yang masih menyembunyikan kertas itu pun mulai was-was. Jangan sampai Kak Dinda melihatnya! Tapi sepertinya bahasa tubuhku mudah sekali ditebak. Kak Dinda bergerak cepat mengambil undangan yang kusembunyikan di belakang. Aku tidak sempat mengelaknya membuatku mati kutu sebab kertas itu sudah ada di genggaman Kak Dinda.

Kak Dinda diam cukup lama. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan.

“Lo mau dateng?” tanyanya diplomatis. Aku mengangguk ragu karena sejujurnya pikiranku menolak untuk datang. Kak Dinda memang tahu peristiwa fracture hepatica yang pernah kualami. Aku tidak apa-apa. Sungguh. Aku tidak menangisi pernikahan Kak Fajar dengan Risa—temanku sendiri. Aku hanya menangisi kebodohan yang bersemayam di dalam diriku. Mengapa masih saja berharap kepada makhluk-Nya sedangkan diri sudah tahu kalau konsekuensinya adalah kekecewaan?

"Ikuti kata hati Lo. Bukan pikiran Lo," ucap Kak Dinda yang lantas keluar dari kamarku. Aku belum paham dengan apa yang ia katakan. Pikiranku kacau. Logikaku berhamburan. Runyam. Sempit sekali untuk berpikir. Aku butuh solusi.

Haruskah sakit ini kuceritakan ke orang lain? Haruskah kekecewaan ini kuumumkan pada semua makhluk hidup di bumi ini? Haruskah aku menyebar brosur? Supaya aku mendapat solusi? Atau pasang spanduk di depan rumah yang tulisannya,

Sedalam Makna Sujud Cintaku [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang