3 - Khianat

52 5 21
                                    

"Aku ingin memberitahukan kalian sesuatu."

Disa dan Dias langsung terfokus penuh pada wajah ketakutan Daisy.

***

Kini, mereka bertiga tengah duduk di satu-satunya tempat tidur di kamar itu. Setelah Daisy berkata seperti tadi dengan wajah ketakutan, nampaknya tak ada dari mereka lagi yang mau membuka suara walaupun sekedar membalas perkataan Daisy. Entah, mungkin mereka juga bisa merasakan hal yang sekarang Daisy rasakan, ingat mereka kembar.

"So, apa yang mau kamu bicara 'kan?" tanya Disa selaku kakak tertua. Meskipun, ia terkadang kekanakan tapi dia harus tetap bisa menjadi kakak yang bisa diandalkan bagi mereka.

Alih-alih menjawab pertanyaan kakaknya, ia kelihatan seperti tidak fokus dan beberapa kali ia malah terlihat melarikan pandangannya ke segala arah, seperti gelagat orang yang sedang was-was.

"Hei, Daisy, ada apa?" tanya Dias sambil memegang pundak Daisy berniat untuk menyadarkannya.

"Hah?! Astaga," kaget Daisy. Sementara Disa dan Dias hanya menatapnya heran. "K-kita harus keluar dari rumah ini," lanjutnya.

"Apa?!" teriak Disa kaget, Dias yang duduk tepat disamping Disa sontak mengelus bahu Dias sambil berbisik,"Sudah sudah, jangan teriak, ingat kita masih di rumah orang."

"Sekarang, jelaskan mengapa kita harus keluar dari sini?" tanya Dias secara tegas kepada Daisy. Bukannya, ia berniat menghakimi Daisy, hanya saja ia tak habis pikir dengan jalan pikiran unik milik adiknya itu. Lagipula, jika mereka keluar sekarang, mereka tidak akan bisa menembus gerbang rumah ini karena firasat Dias mengatakan bahwa gerbang rumah itu hanya Ally yang bisa membukanya.

"Nanti saat keluar dari sini, baru aku bisa memberitahu kalian," ujar Daisy sambil menunduk.

Dias dan Disa pun hanya dapat menghela napas mereka pasrah. "Baiklah, jika itu maumu," ucap Dias sambil mengelus bahu Daisy. Yang kemudian, Daisy mengangkat kepalanya dan secara tak sengaja bersitatap dengan Disa.

Disa langsung berdiri, memutus pandangannta dengan Daisy. Ia membelakangi kedua adiknya dan berucap, "Malam ini kita tidur disini dulu, besok baru kita pikirkan cara untuk keluar dari rumah ini." Kemudian dia berbalik dan menatap Daisy. "Ingat Daisy, apapun hal menakutkan yang kamu ketahui, kamu harus selalu berada di sisi kita."

Daisy yang mendengar hal mengharukan tersebut pun hanya mengangguk mengiyakan. "Tentu saja."

Mereka langsung saling berpelukan kemudian beranjak tidur.

***

Minggu pagi yang cerah, burung-burung berkicau dengan indahnya begitu pula dengan sinar matahari yang muncul dengan begitu malu-malu.

Ace sedang merapikan rambut merah menyalanya di depan cermin sedangkan Zane masih menyelam di dunia mimpi. Jadi, karena hari ini hari libur sekolah, maka mereka ditugaskan untuk membantu ibu mereka berjualan di pasar.

Ace yang sudah kelihatan rapi langsung menuju ke tempat tidur kakaknya, Zane dan menendang bokongnya. "Bangun, dasar pemalas!"

Sontak Zane langsung membuka matanya lebar sembari mengusap-usap bokongnya. "Ck, bodoh!" makinya kesal kepada Ace.

Ace yang memerhatikan muka lucu Zane hanya menanggapi makian tersebut dengan tertawa mengejek. Zane yang sudah kesal pun otomatis jadi tambah kesal, akhirnya ia melempar bantal bau ilernya ke arah Ace lalu berlari secepat kilat ke kamar mandi.

"AHHHH BAU!!" teriak Ace jijik.

Sial, padahal aku sudah wangi, umpatnya dalam hati.

"Cepat mandi! Hari ini kita ke pasar membantu ibu!" teriaknya. Omong-omong dia masih kesal. Syukurlah, ibu mereka sudah pergi ke pasar duluan sejak tadi pagi, jika belum, mungkin Ace sudah dilempari dengan segala bentuk panci. Ibunya sangat benci suara ribut.

Triplets [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang