6 - Tempat

30 5 11
                                    

"Adikku!!"

Teriakannya membuat Zane tersadar akan hal apa yang sudah terjadi. Pikirannya kacau, adiknya sudah pergi meninggalkan ia beserta ibunya. Pandangannya terfokus ke depan, melihat sang kepala penyihir tiba-tiba muncul lalu menangis meratapi adiknya yang mati kehabisan darah.

Hujan mengguyur, melengkapi suasana di tengah malam ini. Tak ada perayaan, sungguh akhir tahun yang buruk. Zane penasaran akan pembantaian itu lantas ia memutuskan untuk pergi mencari ibunya---meninggalkan sang kepala penyihir tengah berduka akan kematian adiknya.

Sekejap Zane muncul di lapangan luas itu. Keramaian tadi sudah lenyap---hanya dia ditemani sepi juga darah yang terciprat dari potongan tubuh dimana-mana. Rupanya, sudah dilakukan pembataian saat Zane pergi tadi. Sial, Zane kehilangan tontonan menarik. Maka dengan membayarnya, ia menginjak potongan tangan yang tak jauh berada di depannya lalu berjongkok dan mematahkan tulang tangan itu membuat wajahnya terkena cipratan darah.

Setelah puas, ia putuskan pulang ke rumahnya dengan berteleportasi.

"Mana Ace?" tanya ibunya khawatir saat melihat Zane muncul dengan jubah hitam basahnya.

"Sudah pergi," gumamnya tak jelas. Mata cokelatnya menatap sedih ibunya. "Meninggalkan kita," sambungnya.

***

"Makasih," lirih Disa.

Pemuda misterius itu menolehkan kepala ke samping---tempat Disa berjalan lalu tersenyum membalasnya. Ia masih menggendong Daisy secara bridal style. Di belakang, Dias terlihat menjaga jarak dengan Ace namun otak bodohnya tak menangkap hal itu sama sekali, ia malah tetap berjalan lurus memperhatikan jalan di depan.

"Kalian jahat 'kan?" tukas Dias seraya menuding keduanya menggunakan telunjuk.

Pemuda bermata biru itu sekilas terlihat tidak suka dengan tudingan yang dilontarkan oleh Dias malah Ace tampak tak begitu merasa padahal kakaknya Zane sudah melakukan hal jahat---walaupun tak ada sangkut pautnya dengan Ace.

Disa tersenyum canggung menanggapi tuduhan saudaranya itu. "Ehm ... Maafkan adikku, sepertinya ia masih trauma akan kejadian yang menimpa kami."

Dias melototi kakaknya tak percaya. Aish, kakaknya memang terlalu gampang memercayai orang.

"Oh baiklah, aku mengerti," balas pemuda itu sambil tersenyum kecil.

"Namamu siapa?" tanya Ace penasaran.

"Azrael."

"Woah keren, bukannya Azrael itu artinya malaikat maut yah?" cicitnya bertanya pada dirinya sendiri sambil mengelus dagunya.

"Iya, rupanya kau tidak terlalu bodoh juga, haha," ejeknya pada Ace.

Tiba-tiba air berjatuhan dari langit dengan volume yang cukup besar, tak ada pilihan lain selain berlari menerobos hujan mengikuti pemuda yang mengenalkan dirinya sebagai Azrael itu.

"Kenapa tiba-tiba berlari?!" keluh Ace.

Disa dan Dias memutar bola mata mereka---mungkin sudah muak dengan kebodohan yang dimiliki Ace. Azrael memimpin di depan dengan berlari membawa Daisy, tentu saja ia merasa capek maka ia putuskan untuk tidak menjawab pertanyaan bodoh Ace.

Jalan yang mereka lewati itu penuh dengan pohon-pohon tinggi di sekitarnya sehingga mengharuskan mereka untuk berlari menerobos hujan demi menghindari petir. Lagipula, kondisi Daisy nanti bisa tambah buruk kalau terkena hujan di tengah malam ini.

Selang beberapa menit, mereka sampai di sebuah sungai. Dias melihat sekitar sungai itu, oh! ini merupakan tempat mereka pertama bertemu dengan Ace dan Zane. Tapi, sepertinya Ace maupun Disa tak menyadari hal itu mungkin karena keadaan sudah gelap.

Triplets [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang